Mohon tunggu...
Sultan Ali Zaman
Sultan Ali Zaman Mohon Tunggu... wiraswasta -

Tak pandai bicara, tak pandai menulis...hanya dapat mengolah rasa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Selamat Tinggal Muharram ...

10 Februari 2010   09:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:59 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu bulan sudah kita, ummat islam, menapaki 1434 Hijriah. Dalam penanggalan islam, bulan Muharram adalah bulan yang mengawali tahun baru hijriah, setelahnya berturut-turut adalah Shafar, Jumadil-Ula, Jumadil-Ukhra, Rabi'ul-Ula, Rabi'ul-Ukhra, Rajab, Sya'ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqa'idah dan terakhir, Dzulhijjah. Selain menyimpan peristiwa-peristiwa penting yang dialami oleh para utusan Allah, di dalam bulan Muharram juga terekam momen bersejarah yang berhasil merubah wajah dunia hingga saat ini. Adalah peristiwa hijrah, sebagai peristiwa maha dahsyat sepanjang sejarah peradaban ummat manusia di jagat ini.

Peristiwa di mana kebenaran dipertaruhkan, keimanan diuji, keberanian dipertontonkan, emosi dikesampingkan. Peristiwa yang tidak saja mengandalkan naluri kenabian, tetapi juga mencurahkan seluruh kecerdasan seorang Muhammad SAW.

Hijrah bukan hanya sekedar “perpindahan tempat” dari Makkah ke Madinah, tetapi lebih jauhnya adalah kontrak politik antara Muhammad SAW dalam kapasitasnya sebagai seorang Nabi dan sekaligus seorang Muhajir di lain sisi, dengan penduduk Madinah sebagai kaum Anshor di sisi lain. Kontrak politik dengan Tauhid sebagai sandarannya melahirkan manifesto politik yang mengikat seluruh penduduk Madinah, tidak terkecuali dengan orang Yahudi dan Nasrani. Manifesto politik yang kita kenal saat ini dengan Piagam Madinah berhasil mengintegrasikan seluruh masyarakat Madinah baik kaum Muhajir maupun kaum Anshor dengan Muhammad SAW sebagai pemimpinnya. Hijrah pada fase ini telah berhasil melahirkan seorang sosok pemimpin politik baru di Jazirah Arab, dialah Rasulullah Muhammad SAW.

Namun, peristiwa bersejarah yang terjadi 14 abad yang silam tersebut kini direduksi sedemikian rupa sehingga hanya menjadi bulan yang dijejali dengan berbagai macam dogma yang sarat dengan nuansa mistis. Bahkan peristiwa hijrah yang seharusnya menjadi mommentum bagi proses rekonstruksi ummat menuju kearah ishlah (perbaikan), dewasa ini mengalami desakralisasi yang amat parah.

Peristiwa hijrah sebagai sebuah proyek Ilahiyah, dimana tiga dimensi berdiri dalam satu titik ordinasi yaitu, alam semesta sebagai faktor material, Allah SWT sebagai realitas subjektif dan manusia sebagai pelaku sejarah. Dimana, Muharram dewasa ini mengalami pendangkalan makna yang tidak berimplikasi apapun terhadap perbaikan ummat secara keseluruhan.

Dua term ini yang akan menjadi fokus saya dalam artikel ini, dan saya harap Anda tidak bosan membacanya, maklum tulisan saya terkadang memang membosankan, he …

MISTISISASI MUHARRAM

Dalam literatur sejarah Islam, ada banyak peristiwa penting yang dialami oleh para Nabi Allah yang terjadi dalam bulan Muharram. Diantaranya adalah ; Terbebasnya Nabi Yunus dari ikan paus setelah “mengendap” di dalam perut ikan tersebut selama berhari-hari, serta terbebasnya Nabi Ibrahim dari hukuman raja Babylon, Namrudz (Nebukat Nedzar), berupa jilatan api yang menggunung.

Dalam Islam, Muharram merupakan satu dari 4 bulan yang sangat disakralkan. Tiga bulan yang lainnya yaitu, Rajab, Djulqaiah dan Dzulhijjah. Sakralitas ini pernah dikemukakan oleh Rasulullah SAW dengan bersabda yang intinya bahwa ; “diharamkan mengadakan peperangan di Empat bulan tersebut”.

Karena memiliki kualitas historis yang sangat dalam, sehingga dalam literatur Islam bulan ini dikenal dengan nama Muhasabatun-Nafsi (penghisaban/evaluasi diri). Peng-gelaran nama ini tentu bukan saja men-simbolkan betapa dalam bobot sejarah yang dikandung oleh bulan tersebut, namun juga memberi pesan teologis kepada ummat Islam pada khususnya bahwa, semestinya bulan tersebut dijadikan sebagai bulan re-evaluasi (muhasabah) serta rekonstruksi (ishlah) bagi lemahnya kualitas nilai serta rapuhnya sistem persatuan ummat baik dalam kapasitasnya sebagai individu maupun masyarakat.

Tidak salah jika kita meletakan Muharram sebagai momentum strategis bagi bangkitnya bangsa dan negeri ini dari keterpurukan. Landasan sejarah menjadi argumentasi historis yang dapat kita jadikan acuan. Namun, realitas sosial ummat Islam dalam menterjemahkan makna historis Muharram belum memasuki ruang substansial. Semestinya makna Muharram diterjemahkan secara fundamental, yaitu sebagai momentum perubahan. Bukan diterjemahkan secara kultural yang akan melahirkan distorsi makna. Jika makna Muharram diterjemahkan secara kultural, maka Muharram hanya menjadi bulan yang menempati ruang tradisi yang hanya memperkaya khazanah kebudayaan Islam.

Distorsi makna Muharram dewasa ini menjadi fenomena yang tidak ter-elakan pada setiap pergantian tahun baru Islam. Pada tingkat ekstrim, distorsi makna ini menjadi paradigma yang membatu, menyeruak ke ruang dogma. Adanya pergeseran makna Muharram di kalangan ummat Islam dari Paradigma Historis Idiologis menjadi Paradigma Teologis Dogmatis pada gilirannya akan melahirkan budaya-budaya yang tidak Nyunnah dalam memaknai Muharram, sebuah prilaku yang keluar dari rel sejarah dan substansi Muharram. Prilaku yang tidak nyunnah ini dikarenakan adanya pembauran antara paradigma ummat tentang Muharram yang lebih bertendensi dogmatis teologis dengan tradisi lokalistik. Pembauran yang pada dasarnya merupakan hasil interpretasi terhadap makna Muharram pada gilirannya menemukan bentuk pada ruang budaya lokal yang cenderung lebih bersifat mistis.

Pada fase ini, umat Islam perlu melakukan klarifikasi historis terhadap makna Muharram jika tidak ingin terkungkung oleh dogma berkepanjangan. Pertama ; ummat Islam harus cerdas dalam membedakan mana budaya arab, budaya Islam dan budaya lokal. Ini menjadi perlu, karena proses akulturasi budaya dalam bingkai kacamata sosial menjadi sesuatu yang tidak mungkin terhindarkan. Kedua ; ummat Islam harus cerdas dalam melakukan pembongkaran terhadap makna Muharram itu sendiri yang sudah lama membatu, membius ummat Islam sehingga Muharram tidak hanya menjadi perhelatan budaya yang hanya meramaikan ruang-ruang seremonial belaka.

Upaya ini dilakukan dalam rangka mengembalikan Muharram pada posisinya semula, sebagai bulan pembebas bagi pribadi-pribadi yang tertindas serta sebagai bulan pencerahan bagi pribadi-pribadi yang terbodohkan.

DESAKRALISASI HIJRAH

Seperti biasa, pada setiap bulan Muharram, kita ummat islam suka memperingatinya walaupun dengan kadar perhelatan yang berbeda-beda tentunya. Seperti halnya Muharram tahun ini yang diperingati 3 bulan yang lalu. Hampir setiap tahun perhelatan seperti ini digelar, ditayangkan di tv-tv, tak ketinggalan para artis kita yang asik ber-ekspresi ria, mendendangkan lagu-lagu bernuansa islami lengkap dengan segala atribut keislaman yang “meramaikan” pakaiannya, mungkin agar terlihat sedikit “agamis”. Hmm… mudah-mudahan sangkaan saya salah, he ..

Fenomena seperti ini merupakan aktivitas rutin yang menjadi acara seremonial tahunan. Hijrah hanya kita terjemahkan kedalam bentuk peringatan seremonial yang tidak berimplikasi secara signifikan terhadap perbaikan nilai, moralitas dan keshalihan sosial yang dewasa ini terasa langka di negeri ini. Hijrah yang merupakan bangunan konseptual mengalami reduksi dan desakralisasi makna yang sangat jauh.

Semestinya hijrah kita jadikan sebagai warisan terbesar peradaban ummat manusia. Seharusnya konsepsi hijrah dapat kita jadikan sebagai sandaran teologis yang lebih elaboratif dan interpretatif sehingga menjadi konsep yang formulatif untuk membangun bangsa dan negeri ini yang sedang terpuruk. Sehingga hijrah bukan hanya sebatas gagasan yang menempati ruang yang kosong. Semestinya gagasan hijrah yang dipelopori oleh sang pembawa perubahan, Nabi Muhammad SAW, dijadikan sebagai parameter sejarah yang harus dilalui demi berdirinya sebuah tatanan sosial yang ideal, yaitu masyarakat yang berdiri di atas prinsip-prinsip keadilan.

Dewasa ini, gagasan hijrah baik secara konseptual maupun sebagai tindakan historis belum menjadi fenomena sosial yang konkrit. Untuk memerankan kembali gagasan hijrah, diperlukan beberapa interpretasi berikut :

Pertama ; secara subjektif, hijrah adalah konsep pembebasan, pembersihan diri dari suatu pandangan dunia, keyakinan keagamaan, prilaku individu yang membuat individu-individu teralienasi dari jati diri sejatinya (fitrah) dan masyarakat. Adapun secara objektif, hijrah adalah membebaskan masyarakat dari realitas kekuasaan yang zhalim, tirani yang menindas, memecah belah dan jahat baik secara ekonomi, sosial maupun secara politik.

Kedua ; adalah mengubah pemahaman yang a-historis menjadi historis. Selama ini disadari atau tidak, pemahaman kita mengenai kisah-kisah yang termaktub di dalam al-qur’an cenderung sangat bersifat a-historis. Padahal, maksud al-qur’an menceritakan kisah-kisah itu justru agar kita berfikir historis. Sebagai contoh, pemahaman kita tentang hijrah hanya kita pahami pada konteks Nabi SAW saja. Kita tidak pernah berfikir bahwa gagasan hijrah sesungguhnya signifikan di setiap kurun waktu. Hijrah tidak tersekat oleh ruang dan waktu. Pada setiap sistem sosial yang timpang, sistem politik yang menindas, zhalim dan tiran, zaman kolonial, zaman kapitalisme liberal, zaman orde lama, orde baru hingga di alam reformasi ini, hijrah senantiasa relevan dan kontekstual di setiap waktu.

Ketika hijrah sudah dipahami sebagai sesuatu yang relevan, maka ia dapat dijadikan sebagai sebuah alat untuk meneropong realitas dunia, awal dan akhirnya, unsur-unsur yang berpengaruh di dalamnya, sumber-sumber kekuatannya serta nasib kehidupan ummat manusia. Dengan kata lain, ia menjadi semacam pandangan hidup yang tidak hanya dijadikan sebagai unsur yang memotivasi tindakan dan perkembangan sejarah dalam masyarakat, tetapi lebih daripada itu, ia menjadi unsur paling utama yang menimbulkan motivasi dan evolusi itu sendiri. Pandangan hidup selalu berperan besar dalam mengarahkan, pembangkit energi, pemelihara visi serta parameter aksi.

Realitas dunia yang oleh DR. Ali Syari’ati, sosiolog fundamentalis Iran, dalam bukunya, Tugas Cendekiawan Muslim, dikatagorikan sebagai salah satu unsur yang memenjarakan manusia, haruslah dipandang secara integral dan menyeluruh. Dikotomisasi terhadap realitas dunia sebagai realitas obketif di sisi lain, dengan Allah sebagai realitas subjektif di lain sisi, akan melahirkan pemikiran yang sekuler, rigid dan jumud. Dalam wilayah ini, hijrah masih menurut Ali Syari’ati, diposisikan sebagai sebuah pandangan yang radikal. Karena interpretasi yang sempurna terhadap makna hijrah akan melahirkan pemutusan keterikatan manusia terhadap tanahnya, ia juga bisa mengubah pandangan manusia terhadap alam, dan mengubahnya menjadi pandangan yang luas dan menyeluruh yang pada akhirnya hilanglah kejumudan, kemerosotan sosial, dehumanisasi, dekadensi moral, kekotoran politik dan lain sebagainya. Dengan kata lain, hijrah dapat mengembalikan manusia kembali kepada “fitrah” nya, dapat memposisikan alam kembali sebagai “partner” manusia dalam mengarungi kehidupan ini, sehingga alam tetap dalam poros metabolismenya dan tidak merasa “gerah” dengan kehadiran manusia di sampingnya. Mungkin banyak terjadi bencana alam akhir-akhir ini dikarenakan alam sudah bosan bersahabat dengan kita, seperti kata bang Ebbiet, he ..

Pada dasarnya, hijrah adalah lompatan besar manusia baik dalam kapasitasnya sebagai individu maupun sebagai masyarakat atau suatu bangsa. Dalam bingkai kacamata sosial, manusia dalam kapasitasnya sebagai masyarakat atau bangsa, secara de-facto terdapat masyarakat yang “menguasai “di satu sisi dan masyarakat yang “dikuasai” di sisi lain. Selain itu, secara de-jure, mesti ada kelompok masyarakat yang saling berhadapan dikarenakan berbagai kepentingan yang mengitarinya. Masing-masing dari mereka berupaya sedemikian rupa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, kecenderungan-kecenderungannya, untuk dapat mempertahankan hidup (survive). Seperti,priyai dengan non-priyai, orang kaya dengan orang miskin, santri dengan abangan, islamologis dengan sekuler, pro demokrasi dengan anti demokrasi, pro status quo dengan pro perubahan, partai koalisi dengan oposannya, pejabat dengan rakyatnya dan lain sebagainya. Masing-masing mereka berusaha melakukan objektifikasi untuk saling meruntuhkan tatanan keberadaan masing-masing dengan berupaya merealisasikan pemikiran-pemikirannya terhadap ruang yang tidak mereka temukan (utopia). Pada gilirannya perbedaan tersebut dapat menimbulkan konflik yang berujung pada konflik idiologi dan politik.

Dalam pandangan Karl Mannheim, sosiolog Jerman, bahwa dalam heterogenitas sosial politik, terdapat prinsip hidup yang saling mempertalikan pemikiran utopia dengan perkembangan tatanan yang ada. Dalam artian, hubungan antara utopia dan tatanan yang ada berubah menjadi hubungan dialektis yang senantiasa muncul di setiap zaman. Gagasan-gagasan dan nilai-nilai yang terkandung dalam bentuk pencairan kecenderungan-kecenderungan yang tak terwujud dan terealisasikan merupakan kebutuhan-kebutuhan setiap zaman. Unsur-unsur intelektual ini kemudian menjadi unsur-unsur yang eksploratif dan material untuk mendobrak batas-batas tatanan yang ada yang pada gilirannya akan saling menghancurkan.

Sikap saling menghancurkan antara kelompok ini baik secara de-facto maupun secara de-jure pada dasarnya merupakan satu bentuk sikap politis dan idiologis yang tidak menemukan ruangnya.

Dalam pandangan al-qur’an, sikap politis dan sikap idiologis adalah merupakan sikap hijrah. seperti yang digambarkan oleh Allah dalam kisah Ibrahim dan ayahnya di dalam QS. 19:46 ;”… dan tinggalkanlah aku dalam waktu yang lama”. Hijrah dalam ayat ini memiliki arti meninggalkan dan berpaling. Hijrah juga bisa berarti memutuskan hubungan, seperti dijelaskan oleh Allah dalam QS. 16 : 41 ; “…Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya…”. Atau bermakna menjauhkan diri dari sesuatu, seperti firman Allah SWT dalam QS. 73 : 10 ; “ …dan jauhilah mereka dengan cara yang baik”. Atau bermakna berlepas diri dari Tuhan-tuhan selain Allah dan ikatan-ikatan sosial. Mengenai hal ini, Allah SWT menjelaskannya dalam QS. 6 : 19, 78. QS. 9 : 1,3. QS. 60 : 1, 4, 8, 9. Juga dapat bermakna berlepas diri dari amal perbuatan. Mengenai hal ini lihat QS. 10 : 41, QS. 26 : 216.

Jadi jelaslah, bahwa hijrah yang dijelaskan oleh al-qur’an baik dalam konteks Nabi Ibrahim as, Nabi Musa as, Nabi Yusuf as, maupun dalam konteks Nabi Muhammad SAW merupakan satu sikap idiologis politis dalam pengertian non-kooperatif dengan status quo yang zhalim, menindas dan syirik.

Sikap idiologis secara sederhana direfleksikan dengan menyuarakan keadilan, menuntut persamaan hak, memperjuangkan kemerdekaan, menghapus perbudakan, mempraktekkan keshalihan sosial, dan sikap-sikap konstruktif lainnya.

Jadi, sangat tidak relevan jika peristiwa hijrah hanya diramaikan dengan mengisinya dengan acara-acara seremonial. Acara-acara yang lebih merupakan “basa-basi keagamaan” yang tidak berimplikasi apapun terhadap perbaikan ummat secara keseluruhan.

Jika kita renungkan tentang realitas sosial politik yang terjadi dewasa ini, di Negeri ini, ternyata semangat hijrah belum begitu membumi dan masih dipersepsikan sebagai satu satu sikap keagamaan ritual an-sich. Semangat hijrah belum menjadi alat advokasi sosial bagi kaum yang tertindas baik secara sosial, politik maupun ekonomi. Hijrah belum menjadi alat advokasi bagi lingkungan yang rusak akibat ulah tangan manusia, hijrah belum menjadi alat untuk saling memahami, menyayangi antar sesama manusia, antar sesama makhluk Tuhan. Mungkin para aktivis jalanan yang tidak bosan-bosannya menyuarakan keadilan, mengkritisi pemerintah agar tetap berada “pada jalan yang benar” lebih meng-hijrah dibanding para pejabat sana yang asik ber-elitis ria, berkompromi dengan para maling berbaju priyai, bercengkrama dengan para mafia berkedok pendekar keadilan, berselingkuh dengan para perampok negara berwajah “shalih”. Mungkin para petani kecil di kaki bukit sana, di pelosok kampung yang jauh dari hingar bingar metropolitan, lebih memahami makna hijrah ketimbang para pejabat yang dengan atas nama bangsa dan negara menggadaikan tanah pertiwi ini ke tangan orang-orang jahat. Mungkin para guru SD di sudut kampung sana, di tengah-tengah himpitan kehidupan yang begitu menyesakkan dada, lebih arif dalam menyikapi makna hijrah ketimbang para pejabat di lembaga terkait yang atas nama kecerdasan bangsa justru berbuat sebaliknya, membodohi bangsa selama bertahun-tahun. Mungkin para kuli jalanan yang dengan sebongkah harapan, berjibaku dengan bau amisnya kehidupan lebih cerdas mendefinisikan hijrah ketimbang para anggota legislatif yang asyik berkoar ria di rumah rakyat, bercinta dengan para koruptor hingga melahirkan “anak jadah” bernama “Undang-undang”.

Hijrah, semestinya dapat meniupkan semangat perubahan dalam diri setiap individu yang pada gilirannya akan menggerakkan dan memindahkan mereka dari lingkungan yang beku menuju tangga kemajuan dan kesempurnaan.

Terakhir, saya sedikit mengutip perkataan Imam Khomaeni, pencetus Gerakan Revolusi Islam Iran, beliau mengatakan ;

Ada golongan orang-orang yang telah mencapai tujuan yang diinginkankannya setelah hijrah. Ada golongan lain yang telah berhijrah tetapi belum mencapai tahap paripurna dan bahkan ada juga golongan yang belum mulai berhijrah. Sesungguhnya, kita masih terperangkap dalam kegelapan. Dan kita masih menjadi tawanan dunia. Dan yang paling malang, kita masih menjadi tawanan diri kita sendiri (ego pribadi). Kita masih terkungkung dalam rumah kedirian kita sehingga yang ada bagi kita adalah diri kita sendiri. Apapun yang kita inginkan hanyalah masih diri kita sendiri. Keinginan untuk hijrah belum terpikirkan oleh kita. Segala fikiran kita tercurahkan untuk dunia kita. Kita belum memanfa’atkan karunia dan kekuatan energi yang Allah berikan kepada kita, namun semuanya kita curahkan untuk kepentingan duniawi. Waktu terus berlalu, dan kita semakin jauh dari asal-usul kita. Tempat yang seharusnya kita tuju dalam berhijrah … .

Catatan :

Ma’af bila dalam artikel ini saya tidak memperhatikan kaidah-kaidah penulisan yang baik dan benar ..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun