Mohon tunggu...
Sultan Ali Zaman
Sultan Ali Zaman Mohon Tunggu... wiraswasta -

Tak pandai bicara, tak pandai menulis...hanya dapat mengolah rasa

Selanjutnya

Tutup

Money

IDR, Sumber Malapetaka di Kasus Bank Century

8 Februari 2010   04:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:02 1888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Masih berkaitan dengan kerahasiaan The HEF, pada dekade 1964-1965 atau pada masa-masa awal berlakunya The Green Hilton Agreement, organisasi underground yahudi yang tidak setuju dengan kebijakan John F. Kennedy, berhasil menembak mati presiden Amerika tersebut. Tragedi masih berlanjut, keculasan agen-agen yahudi berhasil melobi CIA untuk meng-infiltrasi TNI-AD dan akhirnya seperti yang kita ketahui bersama, terjadilah peristiwa G-30 S/PKI yang amat menghebohkan itu. Tujuan dari serentetan operasi rahasia tersebut adalah jelas, menguasai account The HEF dengan cara "menghilangkan" para peneken The Green Hilton Agreement ...

Waktu berjalan, Orde Baru dengan pilotnya Jend. Soeharto berkuasa. Dengan segala daya upaya, Soeharto berusaha mencairkan dana ummat manusia se-jagat ini yang tersimpan di account The FED. Pada tahun 1995, Soeharto atas masukan dari sebagian para ahli waris yang dititipi dokumen yang berisi daftar asset raja-raja nusantara, mengajukan proposal ke The Bank International of Sattlement (BIS) untuk pengambil alihan kepemilikan asset. Otoritas keuangan dunia tersebut menolak pengajuan Soeharto dalam point pengambil alihan, hanya disetujui hak cetak uang dengan kolateral 6 dokumen daftar asset dengan nilai nominal 13.000 Trilyun. Tahun 1996, diadakanlah tender untuk cetak uang yang diikuti 3 negara, yaitu ; Jerman, Israel dan Australia. Tender ini dimenangkan oleh Australia. Maka pada tahun 1996, Soeharto mengintruksikan kepada 49 orang Jenderal yang terdiri dari para Jenderal bintang 4, 3 dan 2 serta para pejabat teras BIN untuk melakukan kontrol dan pengawasan yang ketat terhadap proses pencetakan uang yang dilakukan di dua Negara, Australia dan Thailand. Pada tahun 1997, proses pencetakan uang polymer pecahan 100 ribu-an bergambar Soekarno senilai Rp. 13.000 Trilyun selesai dilakukan. Namun, baru hanya 9% dari total Rp. 13.000 Trilyun yang sudah diregistrasi oleh BI sebagai uang sah yang dapat digunakan sebagai alat transaksi, George Soros dengan konsorsium yahudinya membom bardir rupiah dengan melarikan rupiah ke luar negeri. Maka, terjadilah pembelian besar-besaran rupiah atas dollar sehingga mengakibatkan krisis ekonomi yang melanda negeri ini yang kita kenal dengan krisis moneter. Nilai rupiah tidak ada artinya sama sekali dihadapan dollar US. Untuk membeli sebungkus kopi di warung saja, orang musti membawa 1 tas dengan setumpuk rupiah, he ..

Inilah awal malapetaka bangsa ini. Beribu-ribu peti uang yang belum diregistrasi oleh BI hanyalah lembaran kertas yang secara hukum merupakan uang illegal (uang tidak sah untuk dijadikan sebagai alat transaksi). Uang illegal yang kemudian dikenal dengan IDR (Instrument Deposit of Registered) ini banyak dikuasai oleh para pejabat teras TNI dan BIN serta para pejabat di lingkaran cendana. Secara kasat mata, tidak ada perbedaan mencolok antara uang yang sudah diregistrasi dengan uang IDR. Perbedaan yang paling mendasar hanyalah terletak pada serangkaian nomor seri. Namun, siapa yang perduli dan rajin mlototin nomor seri ?. yang masyarakat umum tahu, keduanya sama-sama uang, sama-sama merah, sama-sama polymer, sama-sama 100.000, sama-sama bergambar Soekarno. Masalah legal dan illegal itu masalah sistem, bukan masalah fisikly, berbeda dengan upal yang memang sudah bermasalah dari sisi fisik ...

Inilah celah yang banyak dimanfa'atkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Sebanyak hampir 12.000 Trilyun uang IDR menjadi ajang bisnis baru bagi orang-orang yang memiliki link dengan para Jenderal dan lingkaran cendana. Tidak hanya menggunakan tangan orang lain, tak jarang sang Jenderal pun turun langsung melakukan bisnis haram ini. Tengok kasus Brigjen (Purn) Zyaeri, mantan Kepala Pelaksana Harian Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu BIN yang terjadi pada pertengahan 2005 lalu.

Sejak kemunculannya pada tahun 1999 lalu hingga kini, uang IDR selalu menjadi lahan subur untuk dijadikan ajang bisnis yang menggiurkan. Tak heran, "dana cadangan" ini selalu muncul di setiap event pesta demokrasi baik pilkada maupun pemilu, sponsorshipnya? bisa si calon yang kebetulan pensiunan Jenderal yang mengetahui persis seluk beluk IDR, atau bisa tim pendukungnya yang memang lingkaran para Jenderal. Pertanyaannya, kok bisa? itukan uang illegal? hmm... yang mengatakan itu uang illegal kan sistem bung ! he..

Begini, untuk mendapatkan uang sah, para pelaku melakukan pertukaran 1:2, 1:3, 1:4 atau 1:5, tergantung kemampuan keuangan si korban. Artinya, 1 lembar uang sah bisa ditukar dengan 2,3,4 atau 5 lembar uang IDR. Siapa yang tidak tergiur? secara kasat mata, sama-sama uang, tidak ada yang aneh. Orang awam yang tidak mengetahui masalah legal dan illegal dalam hukum perbankan, saya jamin pasti akan setuju. Nah, ini pula yang terjadi pada Bank Century. Yang membedakan hanya caranya saja, modusnya tetap sama. Jika transaksi kisaran 100 juta - 1 milyar cukup dilakukan dengan face to face, maka untuk transaksi berskala 1 milyar ke atas, musti dilakukan dengan cara sistematis dengan BI sebagai fasilitatornya. Hmm ... canggih bukan ?

Kembali ke fokus kita, kasus Bank Century. Dengan iming-iming 1:2,3,4 atau 5, maka terjadilah deal antara dewan komisaris Bank Century dengan si Pelobi pemberi iming-iming (silahkan Anda berinterpretasi sendiri siapa si pemberi iming-iming tersebut). Celakanya, uang sah yang dijadikan pertukaran tersebut adalah uang nasabah yang berbentuk deposito, bukan tabungan biasa. Maka tak heran, 100% uang nasabah yang raib di Bank Century adalah nasabah yang menitipkan uangnya dalam jumlah besar. Disinyalir, praktek seperti ini tidak hanya dilakukan pada Bank Century saja, pada Bank-Bank konvensional lainpun kerap dilakukan. Indikasi ini diperkuat dengan banyaknya dana "cadangan" yang tersimpan di Yayasan yang dikomandoi Aulia Pohan. Dimana yayasan tersebut lebih berfungsi sebagai wadah untuk (ma'af) membuang hajat yang akan digunakan pada saat-saat terjepit, seperti kasus BLBI yang banyak meminta korban, diantaranya ; Aulia Pohan sendiri dan Burhanuddin Abdullah. Namun, kali ini Bank Century ketiban apes. Ini disebabkan adanya keputusan di tingkat global (baca ; World Bank) yang memutuskan bahwa keberadaan uang IDR tersebut musti diputihkan. Artinya, IDR yang sebanyak ± 12.000 Trilyun tersebut musti dihanguskan ! dan akan diganti dengan uang sah. Keputusan di tingkat global ini tidak terlepas dari lobi-lobi para tetua, pemilik asset amanah yang dengan ikhlas, sabar dan konsisten memperjuangkan hak-hak Rakyat Indonesia di forum-forum internasional.

Merujuk kepada masa sewa yang tertuang dalam The Green Hilton Agreement, semestinya masa sewa tersebut habis pada November 2004. Namun, karena berbagai interest Barat yang ditopang dengan kekuatan lobi yahudi, maka dengan Berkat Rahmat Allah YME, perjuangan para tetua dan pengemban asset amanah Rakyat Indonesia menemui titik terang pada pertengahan 2008 lalu. Efeknya? krisis ekonomi global terparah melanda dunia. Ini disebabkan harta kekayaan Rakyat Indonesia yang dijadikan sebagai fondasi kolateral ekonomi dunia ditarik oleh si yang Mpunya ...maka, terjadilah kekalutan luar biasa di kalangan para banker kelas dunia karena tidak ada lagi dokumen sebagai penjamin bagi eksistensi Bank-bank mereka. Tidak heran dalam berbagai kesempatan George Soros mengatakan bahwa, masa depan dunia perbankan yang hidup dari jamin-menjamin dokumen akan suram.

Dalam skala lokal, kekalutan luar biasa pun terjadi. BI sebagai fasilitator terjadinya pertukaran IDR dengan uang sah bak kambing kebakaran jenggot. Di sisi lain, dewan komisaris Bank Century yang merasa dibohongi oleh kebijakan BI-pun tidak ingin kecolongan (Robert Tantular selalu nguntit kemanapun Pejabat BI pergi, hatta rapat KSSK, Robert dengan setia menunggu di sekitar gedung BI). Uang IDR yang menumpuk di gudang Bank Century sebagai hasil pertukaran dengan uang nasabah menjadi sangat tidak berarti apa-apa, karena statusnya sudah dihanguskan. Padahal, perubahan kebijakan tersebut bukanlah keinginan BI. Secara internal, saya hakkul yakin para pejabat BI sangat menginginkan adanya win win solution yang bisa menguntungkan kedua belah pihak. Namun apa daya, kebijakan BI secara struktural menginduk kepada World Bank, bukan kepada kebijakan Presiden, apalagi mengacu kepada Bank-Bank lokal. he ..

Ibarat judul film, posisi BI sekarang maju kena mundur kena. Untuk menutupi praktek yang tidak lazim sejak tahun 2000, mau tidak mau BI musti mengganti kerugian Bank Century senilai 6,7 Trilyun. Makanya dalam berbagai kesempatan, baik Budiono maupun Sri Mulyani selalu menggunakan argumentasi yang sangat sulit dicerna oleh orang awam, yaitu ; Bailout dana Bank Century adalah sebagai antisipasi agar tidak terjadi krisis ekonomi sistemik yang bisa melanda dunia perbankan di Indonesia. Hmm, tambah Njelimet Pak'e, Buk'e.....

Sampai di sini, saya harap apa yang saya paparkan bisa menjawab penasaran kita tentang apa sebetulnya yang terjadi pada Bank Century ...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun