Mohon tunggu...
Sul Pandri
Sul Pandri Mohon Tunggu... -

Aktif pada Pemberdayaan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ramadhan Sarana Pendidikan Karakter

23 Juni 2015   18:16 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:39 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ibadah Puasa Ramadhan secara sepintas terlihat hanyalah berdimensi ritual yang universal. Dikatakan ritual sebab ibadah puasa ramadhan adalah merupakan perintah Allah Swt yang bersifat pasti dan telah digariskan tata cara pelaksanaannya, baik kepada ummat Muhammad Saw maupun kepada ummat-ummat sebelumnya. Perintah Allah swt dalam Q.S. al-Baqarah : 183 : ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. Perintah ini secara nyata menegaskan bahwa ibadah puasa ramadhan adalah merupakan satu ibadah yang bersifat ritual dan universal.

Puasa ramadhan selain sebagai ibadah ritual, merupakan sarana ideal untuk pendidikan karakter. Berbagai kajian ilmiah menunjukkan bahwa puasa ramadhan adalah saat yang tepat untuk membina dan membimbing mental ummat. Melalui penyelenggaraan puasa ramadhan ada beberapa karakter yang dapat terdidik diantaranya :
Pertama, mendidik manusia menjadi pribadi muslim yang bertaqwa. Ibadah puasa disyariatkan kepada orang yang beriman dengan tujuan agar menjadi bertaqwa. Muhammad Ibrahim At-Tuwaijiri mengemukakan bahwa ibadah puasa merupakan sarana untuk mendidik atau membentuk manusia, supaya dapat menjadi pribadi yang bertaqwa kepada Allah Swt.

Tujuan puasa utamanya meningkatkan manusia kepuncak kehidupan rohaniah yang paling tinggi dan mulia dalam pandangan Allah Swt. Imam As-sa’di dalam tafsirnya menjelaskan, puasa itu merupakan satu penyebab terbesar untuk taqwa. Karena puasa itu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah Swt. Di antara cakupan taqwa adalah bahwa puasa itu meninggalkan apa-apa yang diharamkan Allah Swt berupa makan, minum, bersetubuh, dan semacamnya yang nafsu manusia cenderung kepadanya. Itu semua untuk mendekatkan diri kepada Allah, Itulah di antara amalan taqwa.

Siapa orang yang menjalankan ibadah puasa berhak berlomba-lomba meraih derajat taqwa yang merupakan tujuan dari puasa ramadan. Taqwa tidak dapat diukur secara kuantitatif. Takwa akan tampak dalam perkataan dan perbuatan keseharian. Taqwa, kata Nurcholis Madjid (1995), merupakan kelahiran kesadaran ber-Tuhan. Setiap manusia setelah ramadan usai terlahir kembali menjadi “manusia suci” yang memahami Tuhan dan menaati-Nya.

Kedua, mendidik manusia berjiwa sosial. Puasa tidak hanya memiliki dimensi hablun min Allah (hubungan vertikal dengan Allah swt.) semata, tetapai juga hablun min an-nas (hubungan horisontal antar-manusia). Seseorang yang melaksanakan ibadah puasa dengan penuh keimanan dan keikhlasan (imanan wa ihtisaban), maka secara tidak langsung dalam pengabdiannya kepada Allah Swt juga akan termanifestasi pengabdiannya kepada kemanusiaan.

Dapat dilihat di sekeliling kita bahwa tidak semua orang hidup dengan kecukupan, banyak orang-orang yang butuh akan perhatian, bimbingan dan bahkan banyak orang yang wajib untuk diberikan bantuan. Puasa ramadhan ini merupakan momentum untuk memperbanyak sodaqah, beramal jariyah, menyantuni fakir miskin, menyantuni anak yatim dan memberi bantuan bagi yang membutuhkan dengan penuh keikhlasan dan mengharap keridhaan Allah Swt. Dalam mengimpelemtasikan hal ini tentu ada rintangan baik rintangan berasal dari diri sendiri maupun dari luar diri sendiri, namun bagaimanapun rintangan tersebut harus disadari bahwa kita mampu menanamkan secara teguh kesadaran akan kehadiran orang lain dalam diri kita, ada hak-hak orang lain dalam diri kita, yang hak tersebut harus kita berikan kepada orang yang membutuhkan uluran tangan kita.

Dalam Al-Qur`an Allah Swt sampaikan melalui sejumlah surah-Nya seperti Q.S al-Ma`un, al-Humazah, al-Takasur, dan al-Balad. Ayat-ayat tersebut sengaja diturunkan untuk mengaktualisasikan sikap-sikap kepedulian serta mengecam manusia yang kikir dan enggan membantu sesama manusia; mengutuk manusia yang asyik menumpuk harta, berlomba dalam kemewahan dan kekayaan. Al-Qur’an menjelaskan secara tegas misi utama Rasul adalah membawa rahmat bagi seluruh manusia (Q.S, 21:107) atau dengan ungkapan lain, membantu manusia mewujudkan tata kehidupan yang dipenuhi oleh nilai-nilai kepedulian dan kasih sayang.

Ketiga, mendidik manusia untuk hidup sederhana. Puasa ramadhan juga mendidik manusia untuk hidup dengan penuh kesederhanaan. Hidup sederhana bukan berarti hidup yang serba susah atau penuh penderitaan. Hidup sederhana adalah hidup yang cerdas dimana seseorang mampu memilah dan memilih, mana keinginan dan mana kebutuhan hidupnya, sebab, tidak semua keinginan sesuai dengan kebutuhan.

Puasa akan menyadarkan orang-orang yang beriman bahwa harta, benda, kedudukan, dan memperoleh kesempatan memperoleh kanikmatan dunia, semuanya adalah amanat Allah swt. Manusia jangan sampai lalai oleh kelezatan dan kemewahan dunia, meskipun diantara manusia ada yang mampu bahkan berkelebihan dalam mendapatkannya.

Selama menjalankan ibadah puasa, yaitu dengan menahan rasa lapar dan segala hal yang dapat membatalkan puasa, maka otomatis seseorang akan terlatih untuk bersyukur kepada Allah. Bahwa kemewahan hidup, seperti apapun, tidak akan pernah membuat seseorang merasa puas selama tidak memiliki jiwa syukur, rasa syukur kepada Allah Swt dapat diwujudkan dengan menjalankan pola hidup yang sederhana.

Fenomena berbeda terjadi pada bulan ramadhan, justru kita melihat pada bulan ramadhan prinsip kesederhanaan, hidup yang bersahaja, seolah tersisihkan oleh sikap yang berlebihan dalam menghadapi bulan suci Ramadan terlebih lagi menjelang hari raya Idul Fitri. Gaya hidup yang serba mewah merupakan bentuk nafsu yang seharusnya dapat dikendalikan sehingga esensi bulan ramadhan sebagai bulan yang penuh rahmat dapat dicapai, bukan sebaliknya, menjadi bulan yang sulit bagi masyarakat kebanyakan akibat tingginya kebutuhan.

Pada bulan ramadhan, konsumerisme seolah-olah menjadi kebiasaan sebagian masyarakat yang sulit dihilangkan. Meskipun berpuasa, pengeluaran finansial justru melonjak untuk memenuhi kebutuhan makan-minum sehari-hari. Ramadan yang seyogianya melatih kesederhanaan dan mampu menekan pengeluaran karena berpuasa malah memboroskan uang. Bahkan, tak jarang acara buka bersama yang sering kali dilakukan di bulan Ramadan mengeluarkan biaya yang sangat besar. Fenomana ini sangguh bertentangan dengan Firman Allah Q.S Al Isro: 26-27 ".. Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros, sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syetan dan syetan itu sangat ingkar terhadap Tuhannya".

Ayat lain dijelasakan : ".. Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (Al Anam: 141). "Dan orang-orang yang baik adalah yang apabila menyalurkan (hartanya) maka ia tidak berlebih-lebihan dan tidak terlalu pelit. Dan adalah di antara kedua itulah yang baik." (Al Furqan: 76). Semakin jelas bahwa Ramadan secara esensial mengandung nilai dan proses pembelajaran tentang hidup yang sederhana.

Keempat, mendidik manusia untuk bersikap jujur. Dalam ibadah puasa, kita dilatih dan dituntut untuk berlaku jujur. Kita dapat saja makan dan minum seenaknya di tempat sunyi yang tidak terlihat seorangpun. Namun kita tidak akan mau makan atau minum, karena kita sedang berpuasa. Padahal, tidak ada orang lain yang tahu apakah kita puasa atau tidak, Namun kita yakin, perbuatan kita itu dilihat Allah swt.

Orang yang sedang berpuasa juga dapat dengan leluasa berkumur sambil menahan setetes air segar ke dalam kerongkongan, tanpa sedikitpun diketahui orang lain. Perbuatan orang itu hanya diketahui oleh orang yang bersangkutan. Hanya Allah dan diri si shaim itu saja yang benar-benar mengetahui kejujuran atau kecurangan dalam menjalankan ibadah puasa. Tetapi dengan ibadah puasa, kita tidak berani berbuat seperti itu, takut puasa batal.

Orang yang berpuasa dilatih untuk menyadari kehadiran Tuhan. Ia dilatih untuk menyadari bahwa segala aktifitasnya pasti diketahui dan diawasi oleh Allah Swt. jika kesadaran ketuhanan ini telah menjelma dalam diri seseorang melalui puasa, Insya Allah akan terbangun sifat-sifat kejujuran. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda; ”Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh dengan puasanya.” (HR. Al Bukhari). Ketika kita dalam keadaan berpuasa namun tetap berdusta maka puasa tidak akan diterima Allah Swt.

Kelima, mendidik manusia untuk bersifat sabar. Menurut arti bahasa sabar adalah menahan atau bertahan. Bertahan atau menahan diri dari rasa gelisah, cemas dan marah, menahan lidah dari keluh kesah menahan anggota badan atau tubuh dari kekacauan. Secara umum sabar menggambarkan kemampuan seorang muslim mengendalikan diri dalam menghadapi segala peristiwa yang dialami sesuai dengan petunjuk agama Islam.

Bulan ramadhan disebut juga ”syahrul shabr”. Puasa ramadhan bermakna bulan penempaan kesabaran, karena menjalankan ibdah puasa itu sendiri butuh kesabaran. Bulan ramadhan adalah merupakan pembuktian terhadap kesabaran dalan menjalankan perintah Allah Swt. Menutut Imam al-Ghazali kesabaran itu ada 3 dimensi; sabar dalam ketaatan kepada Allah Swt, sabar dari kedurhakaan kepada Allah Swt dan sabar dalam mendapatkan ujian dari Allah Swt.

Abu Bakar Ibnul Anbari mengatakan puasa itu dinamakan sabar, karena puasa adalah menahan diri dari makan, minum, berkumpul suami-istri serta menahan diri dari syahwat. Puasa juga melatih diri untuk sabar dalam negendalikan amarah dan mampu memaafkan kesalahan orang lain. Q.S. al-Imran ayat 134 mengatakan : ”..dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.

Dalam hadits juga disampaikan : ”orang yang kuat bukannlah orang yang kuat mengalahkan lawannya, tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu menguasai dirinya ketika sedang marah” (Muttafaq `alaih). Orang yang mengerjakan ibadah puasa sama halnya dengan berjuang, berjuang untuk menguasai dan menundukkan hawa nafsunya. Jika hawa nafsu berhasil ditundukkan, mampu untuk mengendalikan diri dari segala hal yang merusak ibadah puasa maka itu artinya kesabalan telah terlaksanan dalam menaati Allah Swt. “..dan Allah beserta orang yang sabar” (Q.S. Al-Anfal:66).

Keenam, mendidik manusia untuk hidup disiplin. Puasa adalah menahan diri dari segala yang membatalkan puasa sejak dari terbit fajar sampai dengan terbenamnnya matahari. Puasa Ramadhan adalah ibadah yang sangat memperhatikan kedisiplinan dalam menjaga perjalanan waktu sejak makan syahur sampai dengan berbuka puasa. “Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai datang malam”. (QS. Al-Baqarah:187). Ayat ini mengajarkan untuk disiplin dalam penyelenggaraan ibadah puasa.

Tidak mudah bagi seseorang untuk berdisiplin masalah waktu, jika tidak dibiasakan atau dilatih beribadah tepat waktu. Orang yang merasakan kenikmatan puasalah yang mampu menjadi disiplin. Rasulullah Saw dalam sebuah haditsnya mengatakan; ”jika hari ini lebih baik dari kemarin termasuk orang yang beruntung, akan tetapi jika hari ini sama dengan kemarin maka termasuk orang yang merugi dan jika hari ini lebih jelek dari kemarin maka termasuk orang yang dilaknat Allah” (HR. Hakim).

Komitmen untuk tidak meninggalkan puasa disertai dengan tekad yang kuat untuk mempermanenkannya dan merasa terus diawasi oleh Allah Swt, maka seseorang yang beribadah tidak akan pernah mentolerir pencemaran ibadahnya dengan perilaku yang tidak baik seperti tidak tepat waktu menjalankan tugasnya dalam berpuasa. Ramadhan adalah saat yang tepat untuk melatih kedisiplinan diri maupun kedisiplinan hati untuk tetap istiqomah dalam menjalankan perintah kepada Allah Swt.

Secara keseluruhan, esensi pendidikan karakter untuk peserta didik semuanya ada dalam praktik berpuasa. Setidaknya dalam puasa ada tiga nilai pokok: Pertama, adanya sikap kritis dan peduli terhadap lingkungan sosial sekitar. Kedua, adanya pertautan antara kesalehan pribadi dan kesalehan sosial. Ketiga, lahirnya jiwa keagamaan yang inovatif, kreatif, dan efisien. Semoga tulisan ini mampu menginspirasi pembaca agar menjadikan puasa ramadhan sebagai sarana pendidikan karakter. Mudah-mudahan karakter yang terdidik selama ramadhan mampu diimplementasikan pada bulan-bulan lainnya setelah idul fitri.

Penulis : Sulpandri, S.Sos.I (Guru MAS Muhammadiyah Tamiang Ujung Gading Pasaman Barat-Sumbar)

    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun