Mohon tunggu...
Sulkhan Zuhdi
Sulkhan Zuhdi Mohon Tunggu... Lainnya - Pebelajar Filsafat

Founder Komunitas MADANI | www.madani.my.id

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mengapa Kita Mesti Beragama?

9 September 2020   15:05 Diperbarui: 9 September 2020   19:29 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Refleksi NDP HMI Bab I: Dasar-dasar Kepercayaan

Seiring dengan perkembangan sains modern, beragam misteri alam semesta sedikit demi sedikit mulai tersingkap. Beragam mitos dan khayalan masa lalu mulai ditinggalkan atau malah dikapitalisasi sebagai hiburan.

Misalnya, kisah epik mitologi Nordik tentang dewa Odin dan anaknya Thor yang digunakan bangsa Viking dan Skandinavia untuk menjelaskan fenomena semesta, seperti badai, hujan,  pelangi, dan berbagai hal lainnya kini digubah ke dalam kisah-kisah superhero atau merk dagang suatu produk.

Fenomena semesta berhasil dijelaskan secara memadai oleh sains. Kerentanan manusia di masa lalu surut seiring dengan kemampuan manusia mengolah data-data alam maupun sosial. Padahal, kerawanan dan ketidaktahuan manusia inilah yang dahulu melahirkan beragam kepercayaan dan agama.

Lalu, untuk apa manusia hari ini perlu untuk percaya kepada Tuhan apabila Subjek Adiluhung itu bisa digantikan oleh manusia itu sendiri?  Buat apa institusi agama ada bila semua pertanyaan dan misteri alam semesta bisa dijawab oleh sains?

 Cak Nur menulis dalam sebuah artikel berjudul 'Efek Pembebasan Semangat Tawhid', bahwa problem utama umat manusia bukanlah atheisme, paham seseorang yang tidak percaya akan adanya the true divine.

Namun, tema yang sering muncul dalam Alqur'an terkait politeisme, atau perilaku  menyekutukan Tuhan, menyembah lebih dari satu Tuhan.

Para ahli menyebut bahwa orang fitrahnya akan selalu percaya pada sesuatu Yang Kuasa di luar dirinya. Misalnya, meskipun Nietzche meyakini bahwa 'God is Dead', Tuhan telah mati,  namun ia di sisi lain meyakini bahwa manusia selalu butuh  percaya pada sebuah tatanan (order) tertentu agar tak mengalami krisis ke-diri-an dan menjadi gila.

Jadi, kurang lebih bagi seorang filsuf yang sering 'dituduh' membunuh Tuhan sekalipun, manusia dianggap membutuhkan kehendak untuk percaya (will to believe). Kita mungkin bisa mengelaborasi berbagai pandangan ilmu modern soal apa yang melatari manusia untuk percaya pada Tuhan atau beragama.

Pandangan Ilmu soal 'Beragama'

Bila kita bertanya kepada ulama atau pendeta 'mengapa manusia harus beragama?', biasanya akan keluar jawaban normatif bahwa manusia pada fitrahnya beragama. Namun, penjelasan demikian tentu tidak memadai seiring dengan perkembangan berbagai bidang ilmu pengetahuan. Mulai dari filsafat, sejarah, antropologi, psikologi, hingga sosiologi berupaya menjawab pertanyaan tersebut.

Bila kita menggubakan kacamata empiris, agama lahir dari pengalaman manusia. Seperti misalnya takut mati, harapan hidup setelah mati, ketidakpastian, kejadian-kejadin alam dan sebagainya, sehingga manusia membutuhkan keyakinan tertentu akan sesuatu yang dapat mengendalikan itu semua. Mengubah alam yang 'chaotic' menjadi lebih teratur, 'cosmos'.

Pengalaman ini terus-menerus dialami manusia baik mereka yang hidup di masa lampau hingga kita di jaman modern sekarang ini.

Maka, guna menjelaskan pengalaman ini tadi manusia menggunakan kemampuan inteleknya dan rasa keingintahuannya untuk menjelaskan berbagai misteri kehidupan.

Orang Jawa, misalnya, memahami gunung berapi sebagai pusat semesta (jagad gede) karena dari sana penghidupan berasal. Korban jiwa akibat letusan gunung merapi kadang dianggap sebagai pengurbanan untuk memperoleh kebaikan yang lebih di kemudian hari. Seperti tanah yang lebih subur sehingga memperoleh panen yang baik.

Ada rasa ingin tahu (set of curiosity)) manusia untuk memahami yang tidak teratur agar menjadi teratur. Keteraturan dalam pikiran manusia ini melahirkan kebutuhan akan hadirnya Sang Pencipta.

Naluri ini sangat khas muncul dari diri manusia dan membedakannya dengan makhluk tak berakal lainnya seperti misalnya hewan. Rene Decartes misalnya menyebut res cogitans dan adanya Tuhan adalah keniscayaan.

Dari sudut pandang historis, kita mengetahui bahwa agama ada di setiap jaman. Sekalipun pada tiap masa bentuknya tidak sama persis.

Contohnya, dulu ada model Shamanisme yaitu ada hubungan antara dunia ruh dan dunia manusia. Perantara ini yang disebut figus Shaman. Ia dianggap bisa menyembuhkan penyakit, menumbuhkan tanaman, menurunkan hujan dan kemampuan menakjubkan lainnya.

Bentuk berikutnya, manusia mencoba berhubungan dengan semesta dengan membuat monumen, seperti batu, prasasti. Lalu, manusia membangun rumah ibadah, seperti Candi, masjid dan gereja. Tahap berikutnya ada asketisme yaitu orang yang menghindari keterikatan pada hal duniawi, misalnya dipraktikkan oleh para orang suci, wali dan filsuf seperti Platon.

Bentuk agama lain, misalnya agama misteri, agama skriptural dan juga agama etis.

Secara antropologis ada beberapa pandangan. Misalnya E.B. Taylor menyebut agama berkembang dari animisme, politeisme kemudian monoteisme. Sedangkan, James Frazer menyebut agama berkembang dari magis, dan dalam tahap akhir menjadi sains. Ada pula pandangan humanistik, menyebut bahwa beragama adalah pekerjaan pikiran karena manusia memiliki kehendak untuk percaya (will to believe).

Ambil contoh, ketika kita hendak bepergian naik kereta atau bus, kita harus percaya kepada masinis atau sopir. Bila kita berpikir saintifik, kita tidak akan naik transportasi umum karena kita tidak memahami sepenuhnya.

Dalam pandangan psikologi ada dua pendapat masyhur. Pertama, menyebut agama sebagai delusi ketidakdewasaan. Oleh karenanya disebut Sigmund Freud sebagai patologi dan negatif. Sedangkan, Carl G. Jung sepakat meyebutkanya ilusi permanen manusia namun itu bersifat normal dan positif.

William James menyebut bahwa beragama adalah momen ketika manusia sendiri. Dalam kesendiriannya tersebut ia terhubung dengan Yang Ilahiah.

Di dalam dimenisi sosiologis, Emile Durkheim misalnya menyebut bahwa dalam agama ada larangan dan perintah yang hasil akhirnya membuat penganutnya bersatu.

Sebuah komunitas yang disatukan oleh panduan moral tertentu ini menciptakan agama. Society makes religion.
Lain lagi Karl Marx yang menyebut beberapa orang yang melarikan diri dari dunia dengan beragama. Istilah terkenal Marx yaitu 'agama adalah candu'.

Pandangan ini berasal dari filsafat Feurbach dan pandangan determinis ekonomi Marx yang menganggap bahwa manusia teralienasi dari dirinya, hasil kerjanya, alam dan sekitarnya sehingga membutuhkan agama sebagai pelipur lara.

'Agama Tawhid' ala NDP

Dalam Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI Bab I tentang Dasar-Dasar Kepercayaan, kita tidak cukup sekedar mengerti kenapa kita musti percaya.

Saya coba kutip NDP Bab I, paragraf ke 3:

Oleh karena itu, pada dasarnya, guna perkembangan peradaban dan kemajuannya, manusia harus selalu bersedia meninggalkan setiap bentuk kepercayaan dan tata nilai yang tradisional, dan menganut kepercayaan yang sungguh-sungguh merupakan kebenaran. Maka satu-satunya sumber dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran itu sendiri. Kebenaran merupakan asal dan tujuan segala kenyataan. Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan Allah.

Kepercayaan harus memiliki dimensi liberatif (pembebasan) sekaligus transformatif (perubahan) bagi diri manusia. Ketika manusia percaya pada Tuhan atau beragama, seharusnya ia mampu membangun sebuah peradaban adiluhung. Kita bisa mengambil contoh pada konsep tawhid dalam kalimat tahlil.

Laa ilaha ilaLlah. Tidak ada tuhan kecuali Tuhan. Ada proses negasi (pengingkaran) sekaligus afirmasi dalam kalimat ini.
Mengingkari tuhan-tuhan palsu, seperti dalam kisah Nabi Ibrahim namun kemudian buru-buru mengafirmasi Tuhan yang sebenarnya.
Percaya pada ajaran Islam artinya percaya kepada kebenaran dan berserah diri atau pasrah. Artinya, beragam halangan untuk membangun peradaban luhur sepatutnya dinegasikan dan segera mengafirmasi kebenaran hakiki.
Upaya menelisik Tuhan dilakukan terus-menerus melalui berbagai alat yang disediakan ilmu pengetahuan. Namun, kita juga perlu menyadari bahwa manusia itu nisbi sedang Tuhan itu mutlak.
Maka kerendahan hati amat perlu dijadikan pedoman etis dalam proses pencarian kebenaran (baca: Islam).

Bersambung.

*Sulkhan Zuhdi, Kabid PPPA Komisariat Insan Cita, founder Komunitas MADANI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun