Kepercayaan harus memiliki dimensi liberatif (pembebasan) sekaligus transformatif (perubahan) bagi diri manusia. Ketika manusia percaya pada Tuhan atau beragama, seharusnya ia mampu membangun sebuah peradaban adiluhung. Kita bisa mengambil contoh pada konsep tawhid dalam kalimat tahlil.
Laa ilaha ilaLlah. Tidak ada tuhan kecuali Tuhan. Ada proses negasi (pengingkaran) sekaligus afirmasi dalam kalimat ini.
Mengingkari tuhan-tuhan palsu, seperti dalam kisah Nabi Ibrahim namun kemudian buru-buru mengafirmasi Tuhan yang sebenarnya.
Percaya pada ajaran Islam artinya percaya kepada kebenaran dan berserah diri atau pasrah. Artinya, beragam halangan untuk membangun peradaban luhur sepatutnya dinegasikan dan segera mengafirmasi kebenaran hakiki.
Upaya menelisik Tuhan dilakukan terus-menerus melalui berbagai alat yang disediakan ilmu pengetahuan. Namun, kita juga perlu menyadari bahwa manusia itu nisbi sedang Tuhan itu mutlak.
Maka kerendahan hati amat perlu dijadikan pedoman etis dalam proses pencarian kebenaran (baca: Islam).
Bersambung.
*Sulkhan Zuhdi, Kabid PPPA Komisariat Insan Cita, founder Komunitas MADANI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H