Oleh
Sulistiono Kertawacana
Pertengahan Maret 2007, Pengadilan Cayman Islands memutus Pertamina bersalah dalam kasus gugatan pelanggaran Joint Operation Contract (JOC) terhadap Karaha Bodas Company (KBC), kontraktor Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Karaha. Maka sebagai implementasi putusan arbitrase internasional Geneva, Swiss, 18 Desember 2000, Pertamina harus membayar ganti rugi kepada KBC.
Abitrase menyatakan Pertamina dan PLN melanggar Energy Sales Contract (ESC) dan JOC. Keduanya secara bersama dan masing-masing dihukum membayar ganti rugi KBC sejumlah US$ 261,100,000 (US$ 111,100,000 untuk biaya yang diderita KBC dan US$150 juta untuk laba yang seharusnya diperoleh KBC ), termasuk bunga 4% per tahun, terhitung sejak 1 Januari 2001.
Pada 28 November 1994 telah disepakati dua kontrak untuk proyek PLTP Karaha, yaitu JOC dan ESC. JOC (Pertamina dan KBC) menetapkan Pertamina bertanggung jawab mengelola pengoperasian geothermal dan KBC sebagai kontraktor.
KBC wajib mengembangkan energi geothermal dan membangun, memiliki, dan mengoperasikan pembangkit tenaga listrik. Sedangkan dalam ESC (KBC, Pertamina, dan PLN), KBC (sebagai Kontraktor Pertamina dan berdasarkan JOC) akan memasok dan menjual tenaga listrik kepada PLN. Baik JOC maupun ESC memilih hukum Indonesia.
Meskipun demikian, ada klausul janggal yang luput dari pengamatan Pertamina dan PLN. Pasal 15.2 (e) JOC (isi senada termaktub Pasal 9.2 (e) ESC) bahwa “events of Force Majeure shall include, but not limited to:…(e) with respect Contractor only, any Government Related event” (kejadian-kejadian yang disebabkan oleh Keadaan Kahar termasuk tetapi tidak terbatas pada: …(e) hanya berlaku bagi Kontraktor (KBC-pen), setiap tindakan yang berhubungan dengan Pemerintah).
Semestinya, para pihak yang terlibat dalam JOC dan ESC (Pertamina, PLN, dan KBC) dilarang melakukan tindakan yang melanggar hukum Indonesia, termasuk tindakan pemerintah menerbitkan ketentuan terkait dengan proyek yang mengikat semua pihak. Di KUHPerdata kita terdapat pasal yang mengatur syarat sahnya perjanjian, sebab yang halal dan yang terlarang. Menurut hukum Indonesia, Pasal 15.2(e) JOC dan Pasal 9.2 (e) ESC yang merugikan Pertamina dan PLN tidak sah.
Tiga Hikmah
Setidaknya, ada tiga hikmah yang dipetik dari peristiwa ini. Pertama, perlu dipertimbangkan kajian hukum yang mendalam sebelum pemerintah menangguhkan atau membatalkan proyek-proyek BUMN. Berbagai putusan arbitrase telah merugikan Indonesia akibat pembatalannya, seperti kasus PLTP Patuha dan PLTP Dieng.
Karenanya, jika inti klausul force majeure sama dengan JOC dan ESC, pembatalan sebaiknya diajukan oleh BUMN tersebut melalui pengadilan, meski sudah diterbitkan keputusan presiden atas penangguhan proyek tersebut. Ini sekaligus menguji keberlakuan klausul force majeure model ini menurut hukum Indonesia..
Cara ini lebih aman. Alasan yang lebih kuat bagi BUMN jika dibatalkannya kontrak, diperkarakan investor asing. Dari kaca mata hukum, pembatalan kontrak melalui putusan pengadilan lebih netral ketimbang kepres.
Kedua, Menteri BUMN perlu menerbitkan surat edaran (dengan disertai ulasan hukum) kepada semua BUMN bahwa BUMN wajib menolak usulan klausul force majeure dengan konstruksi hukum seperti JOC dan ESC. Tujuannya, mempermudah BUMN dalam bernegosiasi dengan rekanannya agar terhindar dari pembayaran ganti rugi di kemudian hari.
Ketiga, tidak cukup hanya menangguhkan/membatalkan proyek yang terindikasi KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), tapi sebaiknya, didahului dengan pengusutan perbuatan korupsinya. Proyek terindikasi biaya tinggi sehingga membebani keuangan negara. Jika di tengah pengusutan KKN, proyek ditangguhkan, persepsi positif internasional bahwa Indonesia membatalkannya dalam rangka pemberantasan korupsi.
Presiden Habibie pernah membentuk Tim 7 Menteri (terdiri dari Menko Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara (ketua), Menkeu, Menperindag, Mentamnben, Menneg Riset dan Teknologi/Kepala BPPT, Meneg/Kepala Bapenas, dan Menneg Pendayagunaan BUMN. Tim diberi tugas meninjau berbagai kontrak listrik swasta (sekitar 27 kasus) yang dianggap merugikan Indonesia.
Di Bawah Tekanan
Dengan menunjuk advokat Adnan Buyung Nasution (mendapat kuasa dari Pertamina dan PLN), pemerintah berniat membatalkan berbagai kontrak listrik swasta melalui pengadilan di Indonesia. Alasannya, eksistensi kelahiran dan pembuatannya tidak halal karena terlaksana melalui KKN.
Strateginya, sebelum dibatalkan melalui pengadilan, kasus KKN dan permainan kotornya dibongkar dulu. Namun, upaya ini gagal karena Jaksa Agung (Andi M Ghalib) tidak kooperatif untuk mewujudkan upaya ini.
Banyak kontrak listrik swasta dibuat di bawah tekanan. Sesuai hukum Indonesia, pihak yang merasa ditekan dapat membatalkan perjanjian. Kasus Paiton dijadikan contoh awal untuk ini.
Gugatan diajukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 9 Oktober 1999. Tim hukum siap memberikan bukti bahwa kontrak sarat tipu muslihat dan KKN. Mantan Direktur Utama PLN (Zuhal) siap bersaksi untuk menyatakan bagaimana dia dipanggil ke Cendana, tapi hanya disuruh menunggu di luar. Yang masuk menemui Soeharto adalah Menkeu Mar’ie Muhammad dan Menko Saleh Affif. Setelah mereka keluar, sudah ada keputusan bahwa harganya sekian, dan Zuhal dipaksa harus menandatangani (Adnan Buyung Nasution:174; 2004).
Di masa Presiden Abdurrahman Wahid berbagai tekanan datang dari pihak Amerika Serikat, mulai dari duta besarnya di Indonesia, mendatangkan pejabat dan tokohnya (Wakil Presiden, Menlu AS, dan Henry Kissinger), sampai ketika Gus Dur berkunjung ke AS.
Dubes Indonesia di AS, Dorodjatun Kuntjorojakti juga ditekan supaya memberi nasihat kepada pemerintahnya untuk mencabut kasus Paiton. Tak luput pula Menteri Pertambangan (ketika itu Susilo Bambang Yudhoyono). Tekanan pun dilancarkan melalui IMF, World Bank, dan UNDP.
Pemerintah Indonesia tak kuasa melawannya dan memerintahkan Direktur Utama PLN, ketika itu Adhi Satriya, mencabut gugatan pembatalan kontrak dengan Paiton. Adhi Satriya menolak, tetap berniat melanjutkan gugatan. Sayangnya, ia memilih mengundurkan diri sebagai Dirut PLN ketimbang menunggu ”dipecat” dan melakukan perlawanan di pengadilan. Padahal langkah ini penting guna menguji absoluditas kewenangan pemegang saham terhadap perusahaannya bila direksi menganggap merugikan dan kepentingan umum.
Kita dapat memetik pelajaran yurisprudensi di Belanda yang dikenal dengan Forum Bank Arrest, Arrest HR 21 Januari 1955. Pengadilan menerima gugatan direksi dan membatalkan keputusan RUPS.
Alasannya, keputusan RUPS bertentangan dengan kepantasan dan itikad baik. Dua kesempatan emas yang penting bagi perkembangan hukum Indonesia telah hilang.
(Edisi sebelum diedit)
Oleh: Sulistiono Kertawacana
Praktisi Hukum
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI