Ketiga, tidak cukup hanya menangguhkan/membatalkan proyek yang terindikasi KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Sebaiknya, pengusutan korupsi didahulukan sebelum pembatalan/penangguhan proyek. Alasan rekomendasi IMF, hampir pasti karena proyek terindikasi biaya tinggi sehingga membebani keuangan negara. Tujuannya, jika di tengah pengusutan KKN, proyek ditangguhkan, persepsi positif internasional bahwa Indonesia membatalkannya dalam rangka pemberantasan korupsi.
Pernah Dicoba
Presiden Habibie pernah membentuk Tim 7 Menteri (terdiri dari Menko Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara (ketua), Menkeu, Menperindag, Mentamnben, Menneg Riset dan Teknologi/Kepala BPPT, Meneg/Kepala Bapenas, dan Menneg Pendayagunaan BUMN. Tim tersebut diberi tugas me-review berbagai kontrak listrik swasta (sekitar 27 kasus) yang dianggap merugikan Indonesia.
Dengan menunjuk advokat Adnan Buyung Nasution (mendapat kuasa dari Pertamina dan PLN), pemerintah berniat membatalkan berbagai kontrak listrik swasta melalui pengadilan di Indonesia. Alasannya, eksistensi kelahiran dan pembuatannya tidak halal karena terlaksana melalui KKN. Strateginya, sebelum dibatalkan melalui pengadilan negeri, kasus KKN dan permainan kotornya dibongkar dulu. Namun, upaya ini gagal karena Jaksa Agung (Andi M Ghalib) tidak kooperatif untuk mewujudkan upaya ini.
Banyak kontrak listrik swasta dibuat dengan terpaksa dan di bawah tekanan, sesuai hukum Indonesia pihak yang merasa ditekan dapat membatalkan perjanjian. Kasus Paiton dijadikan contoh awal untuk ini. Gugatan diajukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 9 Oktober 1999. Tim hukum siap memberikan bukti bahwa kontrak sarat tipu muslihat dan KKN. Mantan Direktur Utama PLN (Zuhal) siap bersaksi. Untuk menyatakan bagaimana dia dipanggil ke Cendana oleh Suharto, tapi tidak boleh masuk dan hanya disuruh menunggu di luar. Sedangkan yang masuk menemui Suharto adalah Menkeu Marie Muhammad dan Menko S. Affif. Mereka berunding di dalam, kemudian keluar Suharto sudah memutuskan harganya sekian, dan Zuhal dipaksa harus menandatangani. Sebenarnya Zuhal tidak setuju, tapi Suharto sudah memutuskan (Adnan Buyung Nasution:174; 2004).
Selanjutnya, zaman Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berbagai tekanan datang dari pihak luar negeri termasuk Dubes Amerika Serikat (AS) di Indonesia, dan berbagai utusannya yang datang ke Indonesia (Wapres AS, Menlu AS, dan Henry Kissinger). Juga waktu kunjungan Gus Dur ke AS ditekan para pengusaha AS dan Senator AS. Dubes Indonesia di AS, Dorodjatun Kuntjorojakti juga ditekan supaya memberi nasihat kepada pemerintah RI agar mencabut kasus Paiton. Mentamben (ketika itu Susilo Bambang Yudhoyono) pun tak luput dari tekanan. Melalui IMF, World Bank, dan UNDP tekanan pun dilancarkan.
Pemerintah Indonesia tak kuasa melawannya dan memerintahkan Dirut PLN (ketika itu Adhi Satriya) mencabut gugatan pembatalan kontrak dengan Paiton. Adhi Satriya menolak, tetap berniat melanjutkan gugatan. Sayangnya, Adhi Satriya memilih mengundurkan diri sebagai Dirut PLN ketimbang menunggu 'dipecat' dan melakukan perlawanan di pengadilan akibat perbedaan pandangan dengan pemegang saham (pemerintah) demi kepentingan PLN dan publik. Langkah ini penting guna menguji absoluditas kewenangan pemegang saham terhadap perusahaannya bila direksi menganggap merugikan dan kepentingan umum.
Kita dapat memetik pelajaran yurisprudensi di Belanda yang dikenal dengan Forum Bank Arrest, Arrest H.R. 21 Januari 1955 (N.J 1959 N.43). Pengadilan menerima gugatan Direksi dan membatalkan keputusan RUPS. Alasannya, keputusan RUPS bertentangan dengan kepantasan dan itikad baik.
Dua kesempatan emas yang penting bagi perkembangan hukum Indonesia telah hilang. Ekonomi Indonesia masih terpuruk dan terseok-seok diantara persepsi miring internasional bagi iklim investasi dan kepastian hukum Indonesia. Perlu kita catat, investor dari negeri yang terkenal anti korupsi, berstandar ganda ketika pemberantasan korupsi merugikannya. Sadarlah!!!
Edisi yang sudah diedit Sinar Harapan 8 Mei 2007.
Memetik Hikmah Kasus Karaha Bodas