Mohon tunggu...
Sulfiza Ariska
Sulfiza Ariska Mohon Tunggu... Penulis - Halo, saudara-saudara sedunia. Apa kabarmu? Semoga kebaikan selalu menyertai KITA.

Penulis penuh waktu. Lahir di Sumatera Barat dan berkarya di Yogya. Emerging Writer "Ubud Writers and Readers Festival" ke-11. E-mail: sulfiza.ariska@gmail.com IG: @sulfiza_indonesia Twitter: Sulfiza_A

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Optimalisasi Budaya Literasi Lokal dalam Meningkatkan Efektivitas Komunikasi Budaya Sadar Bencana

14 September 2018   16:18 Diperbarui: 14 September 2018   17:13 1069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

TAHUKAH ANDA? Budaya literasi menuntun kita untuk mengembangkan daya imaji positif. Bangsa yang terlatih untuk mengembangkan imaji positif akan menjadi bangsa yang mampu menemukan peluang emas dalam zona kritis, inovatif, kreatif, dan fokus pada perubahan progresif.

Imaji positif dapat menumbuhkan 'sikap yang benar' dalam menghadapi bencana alam. Budaya literasi lokal membangkitkan komunikasi homophily, sehingga efektif sebagai pembentuk imaji positif dalam meningkatkan budaya sadar bencana.          

Rekonstruksi Imaji Negatif Terhadap Bencana  

Imaji (image) dapat didefinisikan sebagai gambaran, kesan, bayang-bayang, atau apa yang ada dalam pikiran ketika kita membayangkan atau mengingat sesuatu. Imaji bisa berupa gambaran visual, suara, bau, rasa, atau gabungan dari semua penginderaan.

Pada praktiknya, imaji lebih dari definisi tersebut. Bahwa imaji, terutama fokus pada hal-hal konstruktif (imaji positif), merupakan cara manusia berkomunikasi dengan alam semesta. Perubahan adalah bahasa alam yang hakiki.

Tidak mengherankan bila perubahan--sebagaimana yang dituturkan Herakleitos dengan pernyataan panta rhei uden menei (semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal tetap)--merupakan kodrat manusia. Sebuah bangsa bisa survive menghadapi perubahan alam dan terus membuat kemajuan; tidak lepas dari pembentukan imaji positif.

Imaji positif merupakan energi yang luar biasa dan bisa menggerakkan manusia untuk mewujudkan perubahan progresif. Imaji positif akan menumbuhkan keberanian untuk mendobrak kemustahilan dalam menciptakan karya inovatif dan memajukan peradaban. Tanpa imaji positif, kita tidak akan memiliki 'sikap yang benar' dalam menghadapi segala bentuk perubahan yang pasti akan datang setiap waktu.  

Literasi lokal merupakan sumber imaji positif bangsa-bangsa di dunia untuk membentuk kesadaran dinamis, pro aktif, dan progresif. Sebagian daerah di Indonesia, seperti di Simeulue di Aceh, literasi lokal telah digunakan dalam upaya peningkatan kualitas budaya sadar bencana.

Tetapi, upaya ini belum berisfat massif dan menyeluruh di seluruh pelosok Indonesia. Akibatnya, sikap mayoritas masyarakat Indonesia dalam menghadapi bencana masih didominasi 'sikap yang tidak benar' atau sebuah sikap yang dikendalikan imaji negatif.

Imaji negatif mayoritas masyarakat Indonesia terhadap bencana bisa kita cermati dalam lagu Indonesia Menangis yang dinyanyikan Sherina pada bencana alam 'gempa bumi yang disusul tsunami' di Aceh. Lagu ini sempat menuai kritikan masyarakat Aceh. Tetapi, lagu ini hanyalah puncak gunung es dalam imaji negatif kolektif masyarakat Indonesia terhadap bencana alam. Hal ini bisa kita lihat dari eksploitasi media massa yang terfokus pada kerugian.


Bahkan, tidak sedikit politisi yang memanipulasi bencana alam sebagai materi yang digunakan untuk menyerang lawan politiknya, sebagaimana yang terjadi dalam peristiwa bencana alam gempa bumi di Lombok yang masih terus berlangsung.

Desakan beberapa oknum politisi yang tergesa-gesa 'ganti presiden' untuk menetapkan bencana gempa bumi Lombok sebagai 'bencana Nasional' bentuk politik agitasi yang memanipulasi bencana alam. Halaman media sosial pun ramai dengan meme dan status oknum tersebut yang mengecam pemerintah. Pemerintah dinilai tidak becus dan begitu banyak caci-maki yang direproduksi ratusan akun media sosial tanpa identitas yang jelas.      

Jadwal ganti presiden sudah ditetapkan tahun 2019 dan calon presiden beserta calon wakil presiden pun telah ditetapkan. Tetapi, oknum-oknum tersebut memang terindikasi kuat untuk melumpuhkan kinerja pemerintah dengan menggiring opini publik menuju imaji negatif.

Sebab, setiap tagar ganti presiden selalu memunculkan distribusi informasi yang membentuk citra negatif terhadap sistem sosial politik NKRI yang masih berada dalam kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).        

Padahal, pada masa bencana alam gempa bumi Lombok, Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 2018. Seandainya proses pembentukan imaji negatif oleh oknum politisi beserta massanya tersebut terwujud, tidak menutup kemungkinan Asian Games 2018 gagal diselenggarakan. Para atlet luar negeri yang menjadi peserta akan membatalkan keikutsertaan karena menduga bencana alam terjadi diseluruh wilayah Indonesia karena sifatnya Nasional.

Selain itu, bila pembentukan imaji negatif berhasil dan bencana Lombok ditetapkan sebagai bencana Nasional, perekonomian Lombok yang tertumpu pada wisata akan hancur dan porak-poranda. Sebab, wisatawan tentu tidak akan sudi mengunjungi daerah yang mengancam keselamatan jiwa mereka.       

Politik agitasi yang memanipulasi penderitaan bencana merupakan salah satu bentuk dari citra imaji negatif terhadap bencana alam. Imaji negatif ini berwujud ketakutan. Masih mayoritas masyarakat Indonesia menghadapi bencana alam dengan cara yang tidak benar berupa ketakutan.

Citra ketakutan inilah yang dimanfaatkan pihak-pihak yang berkepentingan yang berada di belakang perempuan bercadar dengan nama populer Maharani Hasan tersebut. Mereka percaya bahwa tindakan tersebut akan menimbulkan ketakutan dari pihak lawan politik mereka.         

Segala bentuk praktik yang menipulasi penderitaan bencana alam harus dihentikan. Manusia yang beragama dan beriman pada Tuhan tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang merugikan manusia lain, terutama memanfaatkan penderitaan korban bencana alam untuk kepentingan dirinya dan golongannya. Selain itu, kita harus menghormati perasaan para korban bencana alam yang telah kehilangan harta dan juga jiwa.  

Imaji negatif terhadap bencana alam harus dihentikan. Agar tidak dimanipulasi oknum politisi atau orang-orang yang berkepentingan. Sebagai agen perubahan penting dalam penanggulangan bencana alam di Indonesia, BNPB perlu mengadopsi literasi lokal dalam peningkatan kualitas budaya sadar bencana.

Agar bencana alam di Indonesia disikapi dengan 'cara yang benar' yang didukung imaji positif. Dengan demikian, upaya penanggulangan bencana alam akan lebih efektif, serta bebas dari tindakan manipulatif pihak-pihak berkepentingan yang menjual airmata dan penderitaan masyarakat yang mengalami bencana alam.                             

Dari 'Miracle of Kamaishi' menuju 'Keajaiban Simeulue' 

 Pada ranah bencana alam, negara Jepang memiliki potensi bencana alam yang jauh lebih besar dibandingkan di Indonesia. Bila dibandingan antara Jepang dan Indonesia; Indonesia jauh lebih aman. Tidak banyak yang mengetahui bahwa gempa bumi nyaris terjadi setiap hari di Jepang.

Di Jepang, penanggulangan bencana alam sudah sangat efektif dan efisien. Di negara yang menyandang Negeri Sakura tersebut, sistem peringatan bencana alam yang berfungsi dengan sangat baik. Peringatan muncul sebelum bencana alam terjadi, tidak seperti di Indonesia yang justru distribusi peringatan bencana alam--gempa, tsunami, kebakaran, dan sebagainya---cenderung lebih aktif setelah bencana alam terjadi.

Operator seluler berpartisipasi aktif dalam peringatan bencana alam. Terdapat pula perangkat eletronik seperti TV dan laptop yang dolengkapi dengan perangkat eletronik semacam alarm yang mampu berbunyi untuk menyebarkan tanda bencana. Beberapa titik daerah rawan gempa seperti di Shizouka terdapat pengeras suara yang secara rutin menyebarkan peringatan tanda bencana.

Inovasi Jepang dalam kualitas sadar bencana tersebut memang perlu diteladani dalam upaya penanggulangan bencana di Indonesia. Kita perlu mengadopsi inovasi di bidang teknologi dan sistem keamanan negara.

Walaupun demikian, kemajuan Jepang dalam inovasi teknologi penanggulangan bencana tidak akan berjalan tanpa adanya proses pembentukan imaji positif dalam budaya sadar bencana.

Mari kita cermati peristiwa bencana alam gempa bumi 9 skala richter yang memicu tsunami di kawasan utara Jepang pada Maret 2011. Dalam peristiwa ini, sekitar 3.000 siswa sekolah dasar dan menengah di Kota Kamaishi, Prefektur Iwate, selamat. Gempa bumi yang dahsyat tersebut tidak menimbulkan kepanikan dan kekacauan.

Alih-alih para siswa di Kamaishi East Junior High Schoool keluar dari gedung sekolah dan berlari menuju tempat yang tinggi. Reaksi tersebut memicu siswa dan guru di sekolah dasar Unosamai beserta penduduk di kawasan tersebut, turut melakukan tindakan yang sama. Kisah keberhasilan evakuasi tersebut dikenang sebagai The Miracle of Kamaishi. Di mana para siswa memiliki aktif secara spontan untuk melakukan evakuasi tanpa perlu digerakkan.

Peristiwa The Miracle of Kamaishi tidak lepas dari peran seorang profesor teknik sipil di Gunma University, Toshitaka Katadata. Dalam upaya peningkatan budaya sadar bencana, Toshitaka Katadata memberikan edukasi 'sikap yang benar' dalam menghadapi bencana alam.

The Miracle of Kamaksashi. Sumber foto: mnj.gov-online.go.jp
The Miracle of Kamaksashi. Sumber foto: mnj.gov-online.go.jp
Toshitaka Katadata menegaskan bahwa sikap yang benar dalam menghadapi bencana alam adalah kesadaran untuk menghormati alam dengan perasaan kagum dan menjadi pro aktif untuk menyelamatkan nyawa.

Kesadaran tersebut merupakan dasar dari kegiatan-kegiatan yang diterapkan dalam pelatihan evakuasi bencana alam. Dengan demikian, bencana alam memiliki imajinasi positif.

Masyarakat tidak melihat bencana alam sebagai kondisi yang menakutkan, melainkan sebuah cara alam berkomunikasi dengan manusia. Rasa hormat pada alam yang tumbuh dalam kesadaran akan mendorong kita untuk menyambut komunikasi tersebut dengan sikap positif dan memberikan reaksi yang positif pula.

Di sisi lain, penanggulangan edukasi budaya sadar bencana alam secara konvensional di Indonesia cenderung terfokus pada instruksi; bukan pembentukan imaji postif pada gempa. Edukasi yang bersifat monolitik atau terbatas pada instruksi; tidak akan efektif dalam membentuk kesadaran sadar bencana.

Hal ini disebabkan instruksi tidak memberi stimulus emosional dan psikologis. Dalam sistem saraf dan kinerja otak manusia akan bekerja lebih aktif bila diberikan informasi yang membukakan imaji positif.    

Salah satu pembentuk imaji positif terhadap bencana adalah literasi yang bersumber dari kearifan lokal. Di Indonesia, banyak tersebar literasi lokal warisan para leluhur yang potensial untuk dijadikan sebagai pembetukan imaji positif terhadap bencana alam. Misalnya, daerah Simeulue yang paling dekat dengan pusat bencana alam gempa bumi di Aceh pada tahun 2004. Tetapi, justru di kawasan inilah korban jiwa yang paling sedikit, yaitu hanya tujuh orang.

Evakuasi mandiri yang dilakukan masyarakat Simeulue merupakan kesadaran kolektif yang dibentuk literasi lokal yang lazim disebut 'cerita rakyat'. Dalam cerita rakyat Simeulue terdapat legenda tsunami yang terjadi sekitar seratus tahun yang lalu.

Legenda ini menjadi cerita turun-temurun. Dalam satu fragmen penting cerita ini, terdapat pesan penting bahwa bila melihat air laut surut, maka kita harus lari ke gunung. Tidak mengherankan, korban jiwa di kawasan terdekat titik pusat pusat bencana alam tersebut, hanya segelintir.

(mongabay.co.id)
(mongabay.co.id)
Meskipun cerita rakyat Simeulue telah didokumentasikan dalam bentuk literatur dan dijadikan sebagai program peningkatan kualitas budaya sadar bencana, inovasi ini belum optimal. BNPB terindikasi kuat untuk mengadopsi cerita rakyat melalui sandiwara radio Asmara dalam Bencana. Tetapi, inovasi sandiwara radio ini tidak bersumber dari literasi lokal yang membentuk kesadaran penduduk dan ditransfer secara turun-temurun.

Di sisi lain, sandiwara radio Asmara dalam Bencana menggunakan bahasa Indonesia yang cenderung tidak efektif bila digunakan sebagai medium komunikasi dengan masyarakat daerah luar Pulau Jawa. Tradisi dan budaya yang diangkat dalam Asmara dalam Bencana pun cenderung hanya fokus pada Jawa.

Dengan demikian, masyarakat luar Pulau Jawa dan tidak menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi kolektif, tetap akan sulit menerima pesan budaya sadar bencana dalam sandiwara radio ini. Tidak mengherankan, sandiwara radio tersebut tidak jauh berbeda dengan sandiwara radio lainnya yang sekadar alternatif hiburan dan tidak disambut secara antusias oleh seluruh masyarakat Indonesia; sehingga belum bisa melampaui popularitas siaran sepak bola.

Pengabaian literasi lokal tersebut mengakibatkan imaji yang membentuk reaksi budaya sadar bencana lebih mengarah pada paradigma industri. Dalam perspektif industri, bencana identik dengan kondisi yang mengakibatkan proses produksi menghasilkan 'kerugian'. Tidak mengherankan, informasi mengenai peristiwa-peristiwa bencana alam sangat mengeksploitasi istilah 'kerugian', sehingga menimbulkan ketakutan.       

 Komunikasi Homophily dalam Budaya Sadar Bencana

Dalam peristiwa The Miracle of Kamakashi terdapat pelajaran penting bahwa imaji positif berupa 'penghormatan terhadap alam' melahirkan 'sikap yang benar'. Keberhasilan evakuasi di Simeulue terdapat pelajaran berharga bahwa cerita rakyat yang diwarisakan secara turun-temurun membangkitkan 'sikap yang benar' mampu membangkitkan imaji positif.       

Bila kita cermati, relasi antara keberhasilan evakuasi Kota Kamakashi pada bencana alam gempa bumi Maret 2011 dan Simeulue pada gempa bumi disertai tsunami di Aceh pada 2004, terketak pada 'komunikasi' dalam pembentukan imaji positif terhadap bencana.

Peran cerita rakyat dalam peristiwa bencana Simeulue terindikasi kuat berupa praktik budaya sadar bencana yang dicanangkan BNPB berupa 'kenali bahanya, kurangi risikonya' menggunakan bahasa daerah dan sistem pengetahuan daerah yang lazim disebut kearifan lokal. Pelaku komunikasi, baik komunikator maupun komunikan, merupakan warga yang memiliki ikatan primordial yang sangat kuat.

Tidak mengherankan, informasi  bisa dipahami dengan mudah dan memberi stimulus psikologis, sehingga terus direproduksi dari generasi ke generasi dan membentuk kesadaran kolektif. Langkah-langkah ini merupakan teknik komunikasi yang efektif. Pada akhirnya, upaya-upaya ini membentuk imaji positif yang menumbuhkan 'sikap yang benar' dalam menghadapi bencana.

Bila kita simpulkan, bahwa 'sikap yang benar' yang perlu ditumbuhkan dalam budaya sadar bencana adalah 'imaji positif'. Imaji positif terbentuk dengan cerita rakyat. Penggunaan bahasa daerah dan tradisi lokal menciptakan efektivitas komunikasi budaya sadar bencana.

Hal inilah yang diwujudkan masyarakat Simeulue, Aceh. Cerita diangkat dari sistem pengetahuan lokal berupa latar belakang geografis, tradisi, adat-istiadat, menggunakan bahasa Aceh Simeulue.      

Cerita rakyat merupakan teknik komunikasi yang sangat efektif yang perlu dikembangkan BNPB dalam memajukan kualitas budaya sadar bencana. Tentunya, masing-masing daerah menggunakan cerita rakyat sesuai daerah masing-masing dan menggunakan bahasa daerah setempat.

Misalnya, penggunaan cerita daerah sebagai komunikasi budaya sadar bencana di Jawa, bisa menggunakan medium wayang atau kesenian ketoprak. Selain mengangkat pesan berupa pembentukan imaji positif yang menumbuhkan sikap yang benar dalam menghadapi bencana; bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa.

Bahasa daerah jauh lebih komunikatif karena digunakan mayoritas masyarakat setiap hari dan setiap waktu. Sementara itu, bahasa Indonesia cenderung hanya digunakan dalam kancah akademis atau ilmiah'.

Dalam konsepsi ilmu komunikasi, komunikasi budaya sadar bencana dengan menggunakan cerita rakyat dan dimplementasikan masyarakat Simeulue tersebut, memiliki sifat homophily.

Sumarno (2004) menyatakan bahwa dalam komunikasi homophily, proses komunikasi akan efektif apabila komunikator dan komunikan mempunyai derajat dan kapasitas yang sama, dalam arti bahwa status komunikator dan komunikan tidak berbeda, baik dari sisi pengetahuan, norma-norma, lingkungan sosial maupun pola kepercayaan dan pola keyakinan.

Homophily dapat pula ditujukan kepada masyarakat yang masih sederhana dalam kualitas dan struktur sosialnya. Masyarakat dalam kondisi seperti ini oleh Durkheim dikualifikasikan ke dalam "solidaritas mekanis" atau masyarakat Gemeinchaft menurut Ferdinand Tonnies.

Pada masyarakat ini proses komunikasi cenderung lebih efektif, karena komunikatir dan komunikan berada pada kualitas yang relatif sama atau bersifat homogen. Komunikatir tidak akan mengalami kesulitan di dalam memformulasikan simbol-simbol komunikasi menurut kapasitas komunikan.

Komunikasi homophily inilah yang membuat cerita rakyat Simeulue jauh lebih efektif dalam membentuk 'sikap yang benar' yang telah dicapai para pelajar Kota Kamakashi dalam menghadapi bencana. Hal inilah yang belum dicapai komunikasi peningkatan ualitas budaya sadar bencana melalui sabdiwara radio Asmara di Tengah Bencana.    


Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa perlu adanya  rekonstruksi imaji terhadap bencana; dari imaji negatif menuju imaji positif. Imaji positif dalam menyikapi bencana alam akan membentuk 'sikap yang benar' sebagaimana yang dipelopori Toshitaka Katadata di Kota Kamaishi.

Dalam sikap yang benar tersebut, Katadata menuntun para siswa Kamaishi untuk menyikapi bencana sebagai dengan cara 'menghormati alam'. Berkat 'sikap yang benar' tersebut, sekitar 3000 siswa Kamaishi selamat dari bencana alam tsunami pada Maret 2011.

Di Indonesia, pembentukan imaji positif tersebut telah masyarakat Simeulue yang digerakkan cerita rakyat berusia sekitar 100 tahun. Bahwa, air laut surut, mereka harus segera lari ke gunung. Cerita rakyat ini tentunya menggunakan bahasa daerah dan menggunakan materi sistem ilmu pengetahuan lokal yang lazim disebut kearifan lokal.

Menggunakan bahasa daerah Simueulue, berkisah tentang masyarakat Simeulue, dan menggunakan elemen latar belakang geografis masyarakat Simeulue. Tidak mengherankan, penggunaan ceruta rakyat ini menuntun masyarakat Simeulue memiliki budaya sadar bencana yang sangat bagus dan mendorong mereka untuk pro aktif dalam bencana. Korban jiwa hanya 7 orang. Padahal, Simeulue merupakan salah satu wilayah Aceh yang sangat dekat dengan titik pusat tsunami pada 2004.  

Dalam ilmu komunikasi, teknik komunikasi sadar bencana yang dilakukan masyarakat Simeulue disebut komunikasi yang bersifat homophily. Sebagai agen perubahan sentral dalam penanggulangan bencana, BNPB perlu mengembangkan komunikasi homophily sebagaimana yang dilakukan masyarakat Simeulue.

Kita harus menggali cerita rakyat yang relevan dengan evakuasi bencana alam. Bila tidak ditemukan, bisa berinovasi membuat cerita rakyat yang baru, tetapi tetap dengan menggunakan bahasa masing-masing daerah. Dengan demikian, informasibudaya sadar bencana akan lebih efektif.   

Selain itu, perlu adanya pengembangan sistem keamanan bencana sebagaimana yang telah diterapkan di Jepang. Perlu adanya pelengkapan sistem peringatan bencana eletronik yang terkoneksi dengan telepon seluler, laptop (komputer), TV, dan perangkat eletronik lainnya. Penanggulangan bencana perlu dijadikan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di Indonesia.

Dengan demikian, bangsa indonesia tidak lagi menjadi bangsa yang takut pada bencana alam, tetapi bisa memiliki 'sikap yang benar' dalam menghadapi bencana alam. Bahwa bencana alam bukanlah wujud dari 'kemarahan Tuhan' sebagaimana yang dilantunkan Sherina; melainkan sebuah peristiwa alamiah yang terjadi; seperti terbitnya terbitnya matahari di pagi hari.   

Perlu adanya sinergi antara pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat untuk mengoptimalkan budaya literasi dalam meningkatkan kulitas komunikasi budaya sadar bencana. Agar bangsa Indonesia mampu menghadapi bencana alam dengan 'sikap yang benar' yang menumbuhkan optimisme dan tindakan yang solutif.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun