Mohon tunggu...
Sulfiza Ariska
Sulfiza Ariska Mohon Tunggu... Penulis - Halo, saudara-saudara sedunia. Apa kabarmu? Semoga kebaikan selalu menyertai KITA.

Penulis penuh waktu. Lahir di Sumatera Barat dan berkarya di Yogya. Emerging Writer "Ubud Writers and Readers Festival" ke-11. E-mail: sulfiza.ariska@gmail.com IG: @sulfiza_indonesia Twitter: Sulfiza_A

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sinergi Masyarakat dan Pemerintah untuk Menumbuhkan Budaya Konsumen Cerdas Melalui Media Digital

14 April 2018   23:43 Diperbarui: 15 April 2018   00:10 1120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Komunitas yang bisa lahir dari interaksi di media digital Foto dari: marketeers.com

TAHUKAH ANDA? Menjadi konsumen cerdas merupakan kewajiban masyarakat Indonesia. Media digital merupakan sarana yang efektif untuk menjalin komunikasi global guna menumbuhkan budaya 'konsumen cerdas'. 

Media Digital Foto dari: http://www.atticusmanagement.com/node/37
Media Digital Foto dari: http://www.atticusmanagement.com/node/37
Melalui media digital, pemerintah beserta masyarakat bisa menjalin komunikasi untuk menumbuhkan budaya 'konsumen cerdas'. Agar masyarakat yang menjadi konsumen bisa memperoleh produk yang aman, sehat, dan ramah lingkungan.  

Konsumen Cerdas

Konsumen cerdas dapat diartikan sebagai sikap konsumen yang menjadikan konsumsi sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup. Konsumen cerdas mengerti dan memahami hak dan kewajiban konsumen sesuai Undang Undang Republik Indonesia nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

Kewajiban menjadi konsumen cerdas dipicu perlindungan konsumen masih relatif rendah di Indonesia. Tidak sedikit pelaku usaha yang melakukan penipuan, manipulasi, atau eksploitasi konsumen. Tidak hanya rugi materi, sebagian konsumen mengalami kerugian psikologis atau berujung kematian.  

Undang Undang Republik Indonesia nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen belum diimplementasikan dengan efektif dan efisien. Kemajuan industri dan perdagangan belum selaras dengan tingkat keberdayaan konsumen. Terbukanya pintu gerbang era ekonomi ASEAN dan pasar global semakin memperuncing keretanan konsumen untuk menjadi korban konsumsi.  

Pemerintah telah menetapkan lembaga-lembaga yang mengakomodasi perlindungan konsumen seperti: Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (DJPKTN), Yayasan Layanan Konsumen Indonesia (YLKI), Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), dan Badan Standardisasi Nasional (BSN). Tetapi, kinerja lembaga-lembaga ini tidak akan efektif tanpa partisipasi aktif masyarakat.

Permasalahan Konsumsi

Di Indonesia, tidak mudah menjadi konsumen cerdas. Hal ini disebabkan peran konsumen dalam praktik konsumsi masih bersifat konvensional. Pada konteks ini, konsumen merupakan seseorang membeli dan/atau menggunakan produk barang dan/atau jasa.

Tujuan pelaku usaha cenderung berorientasi pada keuntungan finansial. Hak konsumen untuk memperoleh barang dan jasa yang aman, sehat, dan ramah lingkungan menjadi terabaikan. Implikasinya, konsumen sangat rentan menjadi korban pelaku usaha dalam praktik konsumsi.    

Kasus penipuan calon umroh yang dilakukan PT First Travel atau biro perjalanan haji dan umroh Abu Tours merupakan cerminan betapa rendahnya keamanan pada sektor 'produk jasa'. Meskipun sudah melaporkan pada Yayasan Layanan Konsumen Indonesia (YLKI) dan menjalani proses hukum, konsumen tidak kunjung memperoleh haknya.

Hukuman yang diperoleh pelaku sangat rendah dan tidak sebanding dengan kerugian yang dialami ribuan korban. Korban tidak hanya dirugikan secara materi, tetapi juga psikologis. Sebagian besar korban mengalami depresi berat. Tidak mengherankan, sebagian korban jatuh sakit dan meninggal dunia.

Jamaah korban PT First Travel . Foto dari: http://www.tribunnews.com
Jamaah korban PT First Travel . Foto dari: http://www.tribunnews.com
Korban dari agen perjalanan Abu Tours di depan salah satu kantor Abu Tours Foto dari: https://www.merdeka.com
Korban dari agen perjalanan Abu Tours di depan salah satu kantor Abu Tours Foto dari: https://www.merdeka.com
Pada konteks 'produk barang', peredaran barang kadarluarsa (tidak aman dikonsumsi) masih merajalela. Pada 20 Maret 2018, polisi menangkap tiga orang terkait penjualan makanan kadarluarsa di Jalan Kalianyar I, Tambora, Jakarta Barat. Ternyata, produk makanan tersebut berasal dari PT PRS yang memang memalsukan label kadarluarsa.

Pemalsuan ini menegaskan bahwa penggunaan label SNI dan informasi kadaruarsa sebagai ciri khas barang yang aman konsumsi; menjadi meragukan. Sebab, label yang menjamin keamanan konsumsi pun bisa dipalsukan.  

Selain peredaran produk yang 'tidak aman' atau 'tidak sehat', terdapat pula pengabaian 'dampak lingkungan' dari penggunaan produk. Misalnya, industri dan perdagangan kendaraan bermotor dan perlengkapannya. Menhub Budi Karya Sumadi melalui akun @kemenhub151 yang dikutip Beritatrans.com di Jakarta, Senin (23/10/2017) menyatakan bahwa dalam satu hari rata-rata sekitar 70-71 jiwa atau 2-3 orang tiap jam yang meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas.

Kasus kecelakaan lalu-lintas bisa diakibatkan penggunaan kendaraan bermotor yang diproduksi industri. Hal ini belum termasuk polusi yang ditimbulkan asap kendaraan bermotor. Tetapi, bisa kita saksikan, pelaku usaha kendaran bermotor mengabaikan dampak lingkungan tersebut.

Menumbuhkan Budaya Konsumen Cerdas

Terdapat empat langkah menjadi konsumen cerdas sebagaimana yang dipaparkan video berikut:


Namun, melalui media digital kita bisa meningkatkan kualitas upaya mewujudkan konsumen cerdas. Terdapat beberapa manfaat media digital untuk menumbuhkan budaya konsumen cerdas, antara lain:    

Pertama, manajemen keuangan pribadi/keluarga

Melalui toko online yang bisa diakses melalui media digital, kita bisa memperoleh beragam alternatif barang/jasa yang kita butuhkan. Dengan demikian, kita bisa mengatur pengeluaran. Konsumen yang masih mengalami keterbatasan finansial dapat memilih barang/jasa yang sesuai dengan tingkat penghasilan.

Bila barang yang dibutuhkan memiliki harga yang belum terjangkau, kita bisa membeli barang lain yang memiliki fungsi sama. Konsumen pun bisa menggunakan kesempatan berbelanja ketika ada musim diskon yang menawarkan potongan harga.

Pada beberapa toko online, kita bisa berinteraksi dengan pihak penjual barang/jasa, sehingga bisa menawar harga barang/jasa yang dijual. Dengan demikian, kita memiliki peluang untuk memiliki barang/jasa sesuai dengan tingkat keamanan finansial.      

Kedua, mengetahui komposisi atau proses pengadaan produk barang/jasa

Sebelum berbelanja, kita bisa mencari dan menggali informasi produk yang akan dibeli. Pada produk berupa bahan makanan, kita bisa mencermati komposisi bahan-bahannya. Agar kita tidak terkecoh iklan atau merek barang.

Tidak sedikit iklan atau merek memberikan informasi yang tidak tepat. Misalnya, barang pangan berupa kopi instan. Melalui iklan atau mereknya tersiar bahwa produk tersebut berbahan kopi. Tetapi, bila komposisinya dicermati, kandungan kopi hanya segelintir, selebihnya terdapat bahan-bahan kimia dan memiliki efek samping yang merusak kesehatan.

Melalui media digital, kita bisa menggali informasi seputar dampak bahan pangan yang kita konsumsi. Sebagai contoh, terdapat jenis roti tawar putih yang berbahaya bagi kesehatan. Tepung roti tawar mengandung protein jahat atau glutten tinggi. Jenis protein ini bisa menimbulkan sakit perut hingga diare.

Selain itu, roti tawar mengandung natrium tinggi, nol nutrisi, banyak fruktosa, miskin serat, serta memicu kegemukan dan diabetes. Bila kita tidak batasi konsumsinya, maka aktivitas konsumsi hanya akan merugikan kesehatan kita sebagai konsumen.

Aktivitas menggali informasi seputar produk yang akan dikonsumsi, bisa mengembangkan sikap kritis. Dengan demikian, tujuan berbelanja tidak untuk jangka pendek semata, tetapi juga jangka panjang. Kita sebagai konsumen bisa memilih produk konsumsi yang aman dan menyehatkan.

Keempat, membangun komunitas kekerabatan virtual

Pada media digital terdapat berbagai layanan media sosial seperti facebook, twitter, instagram, WA, LINE, dan sejenisnya. Kita bisa memanfaatkan media sosial untuk tujuan meningkatkan mutu konsumsi. Dalam artian, kita bisa membentuk grup yang berbagi informasi mengenai produk yang sesuai dengan hak konsumen.

Komunitas yang bisa lahir dari interaksi di media digital Foto dari: marketeers.com
Komunitas yang bisa lahir dari interaksi di media digital Foto dari: marketeers.com
Para anggota grup bisa berbagi foto atau video yang terkait dengan upaya meningkatkan kualitas konsumsi. Bila ada pelaku usaha yang melakukan tindak kejahatan, seperti menjual produk bahan makanan yang kadarluarsa, anggota grup yang mengetahuinya bisa membuat video atau fotonya. 

Lalu, anggota yang bersangkutan bisa membaginya di grup dan disebarkan secara luas di media sosial. Dengan demikian, pelaku usaha yang melakukan tindak kejahatan bisa segera diproses secara hukum dan konsumsi produk yang diedarkan bisa dihentikan.  

Melalui grup atau komunitas virtual, konsumen bisa mengembangkan kesadaran hukum (legal awareness). Bila salah seorang anggota grup mengalami kerugian yang terbilang besar dalam sebuah praktik konsumsi, maka seluruh anggota grup bisa bersama-sama memberi dukungan atau solusi untuk mendorong anggota yang menjadi korban dalam memperoleh keadilan hukum.  

Kelima, mengurangi persebaran budaya konsumerisme

Melalui media digital, kita bisa menyebarkan informasi dalam mengembangkan kesadaran konsumsi yang efektif dan efisien. Konsumsi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup, bukan untuk memanjakan hasrat berbelanja yang tidak terbatas atau lazim disebut budaya konsumerisme.  

Budaya konsumerisme dapat diartikan sebagai paham yang menjadikan gaya hidup mewah sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan pemuasan diri. Dalam budaya konsumerisme pada zaman sekarang, kepemilikan pada barang bermerek atau teknologi tinggi merupakan simbol dari status sosial.        

Dosen Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Dr Karlina Supelli menyatakan bahwa saat ini konsumerisme telah menjadi budaya di lingkungan masyarakat Indonesia. Penelitian LIPI  menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia menduduki peringkat ketiga dari 106 negara di dunia yang diukur terkait tingkat kepercayaan diri untuk berbelanja (Tribunnews.com, 23 Oktober 2017).

Budaya konsumerisme merupakan psikososial yang bisa menurunkan kualitas hidup. Gejala ini bisa dimulai dengan membeli barang yang tidak kita butuhkan atau hanya sekadar untuk menaikkan gengsi. Bila sudah menjadi kebiasaan, kita akan terus berbelanja tidak terkendali. Untuk memenuhinya, kita akan berhutang atau terpicu untuk melakukan tindakan yang berseberangan dengan moral. Pada beberapa kasus, oknum pelajar melakukan tindak prostitusi karena dipicu hasrat untuk memiliki 'gadget'.  

Berbelanja produk yang kita butuhkan dan meninggalkan produk yang kurang memiliki nilai manfaat akan membuat hidup lebih berkualitas. Kita bisa memotret dan menyebarkan foto-foto 'produk sesuai kebutuhan' yang kita beli di media sosial atua grup virtual. Agar 'kerabat virtual' kita akan melihatnya dan terpicu untuk melakukan hal yang sama. Dengan demikian, kita telah berpartisipasi aktif dalam mengurangi budaya konsumerisme yang menurunkan kualitas hidup di Tanah Air.          

Ketujuh, cinta produk Indonesia

Melalui media digital, kita bisa berbelanja dengan visi membangun bangsa. Dalam artian, kita mengutamakan membeli produk industri barang/jasa yang diproduksi pelaku usaha Indonesia. Melalui jalan ini, kita berarti telah berpartisipasi aktif dalam mengembangkan dan memproteksi industri barang/jasa dalam negeri.          

Meme diolah dari Film DILAN 1990 produksi Falcon Pictures dan Max Pictures
Meme diolah dari Film DILAN 1990 produksi Falcon Pictures dan Max Pictures
Selain itu, kita juga bisa mempromosikan produk karya anak bangsa di media sosial. Agar 'kerabat virtual' kita pada media sosial menjadikan produk karya anak bangsa sebagai prioritas belanja sebagai barang konsumsi.    

Kesembilan, mengembangkan enterpreneurship

Untuk meningkatkan penghasilan, kita bisa menggunakan media digital untuk mengembangkan entrepreneur. Bila ada produk yang belum ada di pasar atau toko online,kita bisa berinovasi dan menciptakannya. Lalu, memasarkan produk tersebut di pasar atau toko online.      

Selain itu, kita juga bisa membangun bisnis online untuk membantu memasarkan produk-produk unggulan yang dihasilkan di daerah kita masing-masing. Jangkauan pemasaran tidak hanya di Indonesia, tetapi kita bisa menerobos pasar dunia.  

Dengan demikian, kita tidak hanya melakukan aktivitas konsumsi untuk meningkatkan kualitas hidup pribadi, tetapi juga membantu meningkatkan kualitas konsumsi bagi masyarakat Indonesia dan dunia. Sejalan dengan itu, kita telah berpartisipasi aktif dalam mengebangkan perekonomian lokal dan nasional yang akan mengokohkan kemandirian ekonomi bangsa.      

Kesepuluh, sosialisasi konsumen cerdas

Melalui grup dalam media digital, kita bisa membangun komunitas yang bisa berkumpul tatap muka. Melalui komunitas tatap muka ini kita bisa bekerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan khususnya sekolah dasar dan menengah. Di lembaga-lembaga pendidikan ini kita bisa melakukan sosialisasi untuk mengedukasi pelajar dalam meningkatkan mutu konsumsi.

Selain itu, kita juga menumbuhkan kesadaran pelajar untuk berpartisipasi aktif dalam perlindungan konsumen. Bahan edukasi dapat kita peroleh dari media digital berupa tayangan audiovisual seperti berikut ini:


Kesebelas, mengembangkan literasi digital

Kita bisa menulis artikel tentang pengalaman kita dalam upaya meningkatkan kualitas konsumsi. Tentunya, kita menggunakan media digital, yaitu blog dan websiteyang memiliki ruang lebih luas untuk menulis. Kita bisa menulis pengalaman buruk atau menyenangkan tentang konsumsi. Informasi yang tersebar akan menambah wawasan pembaca.

Bila pengalaman itu bersifat buruk, seperti penggunaan bahan pangan kadarluarsa, pembaca akan terpicu untuk lebih berhati-hati. Bila berupa pengalaman bagus, seperti konsumsi produk buatan dalam negeri, pembaca juga akan terpicu untuk melakukan hal yang sama.

Berkat menuangkan pengalaman melalui literasi digital ini, kita bisa membantu pemerintah dalam meningkatkan keamanan konsumen lainnya.

Peran Pemerintah dalam Menumbuhkan Budaya Konsumen Cerdas

Upaya untuk menumbuhkan budaya konsumen cerdas tidak akan efektif tanpa partisipasi pemerintah. Seiring dengan aktivitas masyarakat dalam membangun budaya konsumen cerdas, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah berikut:  

Pertama, supremasi hukum

Berdasarkan Rule of Law Index 2015 yang dirilis World Justice Project Rule of Law, lembaga peradilan Indonesia berada pada peringkat ke-52 dari 102 negara di dunia. Reputasi sangat memprihatinkan. Tidak mengherankan, hukuman bagi pelaku tindak kejahatan belum menimbulkan adanya efek jera.

Kondisi tersebut mengakibatkan tindak kejahatan merajalela di Indonesia, termasuk tindak kejahatan pelaku usaha yang mengorbankan konsumen. Pemerintah khususnya lembaga hukum semestinya tidak lagi menunda supremasi hukum untuk mewujudkan keadilan hukum (legal justice).

Keadilan hukum sangat penting bagi konsumen Indonesia. Tidak sedikit konsumen Indonesia yang mengalami kerugian karena konsumsi produk dari industri tertentu. Kerugian tidak dilaporkan korban. Sebab, pelaku usaha/industri yang memproduksi produk merupakan perusahaan besar yang memiliki modal sosial atau pengacara yang melindungi.  

Kedua, optimalisasi media sosial

Lembaga-lembaga perlindungan konsumen perlu lebih aktif dalam menjalin komunikasi dengan masyarakat melalui media digital. Melalui jalan ini, masyarakat bisa memperoleh informasi yang bermanfaat untuk meningkatkan kualitas konsumsi. Masyarakat juga bisa melaporkan secara langsung adanya pelanggaran hak konsumen di berbagai daerah.  

Ketiga, pengembangan dan peningkatan kulitas jaringan internet

Pemerintah membangun fasilitas berbasis teknologi di daerah-daerah terpencil. Agar komunikasi dalam upaya membangun budaya konsumen cerdas bisa merata di seluruh pelosok Indonesia.      

Keempat, peningkatan keamanan privasi di media sosial

Meskipun relatif lebih cepat dan efektif dalam upaya menjalin komunikasi, media digital memiliki kelemahan dalam keamanan privasi. Misalnya, baru-baru ini Marck Zuckerberg meminta maaf dan mengakui bahwa data pengguna akun facebook dicuri pihak-pihak yang berkepentingan. Hal ini tentu menghambat upaya membangun budaya konsumen cerdas melalui media digital.

Pemerintah perlu menjalin kerjasama global untuk meningkatkan keamanan data dan informasi yang dimiliki pengguna media digital. Agar niat baik untuk membangun budaya konsumen cerdas melalui media digital tidak dinodai tindak pidana yang dipicu pencurian data dan informasi penting milik pengguna media sosial.      

Kelima, pemberian award

Untuk meningkatkan minat dalam membangun budaya konsumen cerdas, pemerintah bisa mengadakan kompetisi bagi warga yang berpatisipasi dalam membangun budaya konsumen cerdas. Pemerintah memberikan penghargaan untuk individu atau kelompok yang telah terbukti mampu meningkatkan kualitas konsumsi dan khususnya perlindungan konsumen di Indonesia.    

Keenam, proteksi produk Indonesia

Di era digital, produk dari seluruh penjuru dunia bisa memasuki Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah perlu menetapkan regulasi dalam perlindungan produk karya anak bangsa. Agar tidak terjadi pencurian hak kekayaan intelektual.

Ketujuh, pengawasan

Lembaga-lembaga yang terkait dalam perlindungan konsumen harus lebih aktif dalam memperketat pengawasan khususnya produk yang beredar secara online. Agar pelaku usaha tidak mengedarkan produk-produk ilegal atau bajakan. Pengawasan juga bermanfaat untuk menekan tindak kejahatan yang dipicu proses konsumsi yang melibatkan media digital seperti praktik penipuan melalui toko online.      

Kedelapan, pemberdayaan tenaga pendidik

Pemerintah perlu menyelenggarakan pemberdayaan tenaga pendidik khususnya tenaga pendidik sekolah dasar dan menengah. Pemberdayaan bisa berupa training atau workshop. Bahkan, lembaga-lembaga pemerintah yang terkait perlindungan bisa melakukan pemberdayaan melalui telekonfrensi.

Tujuannya adalah untuk menuntun tenaga pendidik dalam membangun budaya konsumen cerdas di jenjang sekolah dasar dan menengah. Anak didik akan terlatih menggunakan aktivitas konsumsi untuk meningkatkan kualitas hidup, sehingga terhindar dari kecenderungan budaya konsumerisme. Tenaga pendidik juga diharapkan agar menuntun anak didik untuk berperan aktif dalam membangun budaya konsumen cerdas melalui media digital di sekolah.

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa menjadi konsumen cerdas adalah kewajiban seluruh lapisan masyarat Indonesia. Untuk mewujudkannya, kita atau masyarakat bisa menjalin sinergi dengan pemerintah. Media digital akan merekat jalinan komunikasi antara masyarakat dan pemerintah. Dengan demikian, konsumen cerdas tidak hanya menjadi pola hidup individu atau komunitas yang terbatas, tetapi menjadi bagian dari budaya Nasional.    

http://www.harkonas.id/
http://www.harkonas.id/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun