Salah satu komunitas sadar hukum yang layak untuk kita teladani adalah komunitas yang terbentuk dalam kasus kejahatan seksual yang menimpa RW dengan pelaku Sitok Srengenge. Alih-alih disingkirkan, RW dirangkul oleh rekan-rekannya sesama mahasiswa untuk memperjuangkan keadilan hukum. Selain rekan-rekan mahasiswa, para akademisi Universitas Indonesia turut memberi dukungan moral dan perlindungan bagi RW.Â
Melalui media sosial, dosen juga meminta para mahasiswa lain memberikan lingkungan yang sehat bagi RW. Sehingga RW tetap bisa menjalankan studi meski dalam keadaan hamil akibat tindak kejahatan seksual yang dilakukan Sitok Srengenge. Meskipun Sitok Srengenge tetap bisa bebas berkeliaran, lembaga Universitas Indonesia mampu memberi hukuman sosial.Â
Meskipun dikenal sebagai seorang sastrawan garda depan Indonesia, Sitok Srengenge tidak diizinkan lagi berada di Universitas Indonesia. Selain itu, akademisi Universitas Indonesia dan sebagian sastrawan yang peduli, tetap mengawasi gerakan Sitok Srengenge. Hal ini dibuktikan dengan gagalnya Sitok Srengenge mewakili Indonesia dalam ajang Singapure Writers Festival pada 2015.
Optimalisasi Hukum Adat
Komunitas sadar hukum yang terbentuk di Universitas Indonesia dalam kasus RW layak untuk ditumbuhkan di seluruh pelosok Indonesia. Komunitas ini berperan dalam menciptakan kontekstualisasi hukum adat. Meskipun lolos dari keadilan hukum, Sitok Srengenge tidak lepas dari 'hukum adat' berupa 'pembuangan' yang dulu pernah berlaku dan diakui keberadaannya di Indonesia.Â
Sebagian daerah di Indonesia masih memberlakukan hukam adat seperti daerah-daerah tradisional di Bali. Masyarakat tradisional di Bali lebih takut pada hukum adat daripada hukum legal. Misalnya, bila seorang warga Bali melakukan tindakan melanggar hukum dengan status Pegawai Negeri Sipil, ia masih bisa bekerja sebagai pegawai swasta. Tetapi, bila ia melanggar adat, ia akan dibuang dari daerah pemukimannya dan dianggap 'mati'. LPSK dan masyarakat perlu menggali hukum adat di Indonesia. Bila hukum legal tidak bisa mewujudkan keadilan hukum, maka kita masih bisa mengandalkan hukum adat.
Optimalisasi media sosial
Komunitas-komunitas sadar hukum bisa menggunakan media sosial untuk menjalin komunikasi global. Media sosial bisa kita gunakan untuk memicu kelahiran komunitas-komunitas sadar hukum yang jauh lebih banyak. Bila kita sadar hukum memiliki massa yang banyak, kita dapat melakukan upaya hukum yang jauh lebih maksimal dan mendorong lembaga peradilan untuk melayani lebih maksimal.
Media sosial juga berfungsi untuk mengukuhkan hukum legal atau pemberian hukum sosial. Seandainya media sosial tidak ada, pelaku-pelaku kejahatan yang memiliki modal sosial dan kekuasaan seperti Sitok Srengenge, tentu tetap bisa bebas. Berkat media sosial, Sitok Srengenge tetap memperoleh hukuman atas tindakan kejahatan yang dilakukan. Dan, korban tetap bisa memperoleh keadilan hukum.
Optimalisasi media massa
Media massa cetak memiliki jangkauan yang sangat luas dalam mendistribusikan informasi. Selain menjalin kerjasama dengan LPSK, komunitas bisa menjalin kerja sama pula dengan media massa untuk menyebarkan kesadaran hukum, bisa berupa ruang tetap konsultasi hukum yang diasuh praktisi hukum.Â