Mohon tunggu...
Sulfiza Ariska
Sulfiza Ariska Mohon Tunggu... Penulis - Halo, saudara-saudara sedunia. Apa kabarmu? Semoga kebaikan selalu menyertai KITA.

Penulis penuh waktu. Lahir di Sumatera Barat dan berkarya di Yogya. Emerging Writer "Ubud Writers and Readers Festival" ke-11. E-mail: sulfiza.ariska@gmail.com IG: @sulfiza_indonesia Twitter: Sulfiza_A

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sinergi LPSK dan Masyarakat untuk Memberantas Kejahatan Seksual

31 Oktober 2017   23:31 Diperbarui: 1 November 2017   00:08 1207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Meme diolah dari foto film Pengabdi Setan. Copyright: Rapi Films

TAHUKAH ANDA? Indonesia merupakan salah satu negara darurat tindak kejahatan seksual. Sebagian besar korban kasus tindak kejahatan seksual tidak mendapatkan penangaan yang adil. Korban dan saksi memilih untuk bungkam atau dibungkam. Pelaku kekerasan seksual bisa terus melakukan tindakan yang sama atau memburu korban-korban berikutnya. Sinergi LPSK dan masyarakat merupakan jalan yang tepat untuk membebaskan bangsa Indonesia dari kejahatan seksual.

LPSKdan Kita

Sejak tahun 2008, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) resmi berdiri di Indonesia. Keberadaan LPSK memutuskan rantai peradilan yang birokratis dan miskin empati. LPSK mengakomodasi kebutuhan korban dan saksi untuk memperoleh keadilan hukum (legal justice) dengan sangat sistematis. 

Saksi atau korban kejahatan bisa memperoleh perlindungan fisik, konseling, restitusi, pelayanan kesehatan, dana kompensasi, dan berbagai layanan lainnya. Bahkan, LPSK menyediakan 'rumah aman' dan 'identitas baru' bagi korban (saksi) yang terancam keselamatannya. Semua layanan LPSK dapat kita peroleh tanpa mengeluarkan biaya. Lebih lengkap mengenai dedikasi LPSK dapat Anda saksikan pada video berikut ini:

Berkat LPSK, peluang korban tindak kejahatan seksual untuk memperoleh keadilan hukum menjadi semakin besar. Langkah pertama untuk memperoleh layanan LPSK hanyalah melaporkan tindak kejahatan seksual. Melalui laporan inilah LPSK bisa memulai upaya-upaya untuk mewujudkan keadilan hukum bagi korban ataupun saksi. Selain itu, melaporkan tindak kejahatan merupakan kewajiban yang harus dipenuhi setiap warga negara Indonesia. Membiarkan tindak kejahatan terjadi merupakan sebuah tindakan kejahatan. Mengapa?

Sikap yang tidak melaporkan tindak kejahatan membuka peluang terjadinya tindakan kejahatan yang sama berulang kali. Kita atau orang-orang yang kita cintai pun berpotensi besar menjadi korban tindak kejahatan yang sama di kemudian hari. Jika kita merupakan korbankejahatan, sikap yang tidak melaporkan akan berpotensi besar memicu pelaku melakukan tindakan kejahatan yang sama pada diri kita. Bila kita berposisi sebagai saksikejahatan, sikap yang tidak melaporkan bukan hanya merugikan korban, tapi juga membahayakan diri kita dan orang-orang yang kita cintai.

Mengapa Korban (Saksi) Memilih Bungkam?

Meskipun LPSK telah hadir untuk melayani masyarakat untuk memperoleh keadilan hukum, sebagian kasus tindak kejahatan seksual belum menemukan titik terang. Berdasarkan survey yang dipublikasikan ketika pemerintah membangun pusat pengaduan korban pemerkosaan, lebih dari 90 persen kasus pemerkosaan tidak dilaporkan pada polisi dan terjadi pembiaran. Direktur Lentera Sintas, Dr. Sophia Hage, menyatakan bahwa: salah satu alasan kenapa mereka (korban) tidak mengungkapkannya adalah karena stigma sosial dan korban takut disalahkan. Mengapa korban atau saksi memilih bungkam?

Bila kita mencermati kasus pemerkosaan dengan pelaku Soni Sandra dan Sitok Srengenge, realitas mengenai penderitaan korban tindak kejahatan seksual yang memilih diam, semakin nyata dan menimbulkan bahaya. 

Soni Sandra merupakan oknum pengusaha asal kediri. Tindakan kejahatan seksual yang dilakukannya baru terungkap setelah menelan 58 korban anak di bawah umur. Kita tentu bertanya-tanya. Mengapa korban pertama tidak melapor? Demikian pula dengan korban kedua, ketiga, dan berjejer korban lainnya. Di manakah saksi berada? Mengapa harus sampai 58 orang korban baru kasus terkuak?

Setelah menjalani proses peradilan, Soni Sandra dijatuhi hukuman penjara yang sangat ringan, yaitu: 9 tahun penjara dengan denda 250.0000.000. Padahal, Soni Sandra sudah menghancurkan masa depan (fisik dan jiwa) 58 orang anak perempuan. Sungguh tidak adil bila hanya dijatuhi hukuman yang sangat ringan. Memang, terdapat alasan kondisi kesehatan Soni Sandra yang sakit-sakitan, usia, dan status sosial yang baik. Sehingga Pengadilan Negeri Kediri menetapkan hukuman yang sangat ringan tersebut. Tetapi, kita sudah menyaksikan bahwa penyakit telah menjadi modus pelaku tindak kejahatan untuk memperoleh keringanan ataupun bebas dari hukuman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun