Mohon tunggu...
Sulfiza Ariska
Sulfiza Ariska Mohon Tunggu... Penulis - Halo, saudara-saudara sedunia. Apa kabarmu? Semoga kebaikan selalu menyertai KITA.

Penulis penuh waktu. Lahir di Sumatera Barat dan berkarya di Yogya. Emerging Writer "Ubud Writers and Readers Festival" ke-11. E-mail: sulfiza.ariska@gmail.com IG: @sulfiza_indonesia Twitter: Sulfiza_A

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengembalikan Ajaran Ki Hajar Dewantara Sebagai Pilar Utama Konsep Pendidikan Indonesia

29 Mei 2016   23:11 Diperbarui: 30 Mei 2016   00:02 964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Samurai [Foto dari:www.sushiworldpik.com]

Keberhasilan sebuah pendidikan (proses belajar-mengajar) ditandai dengan terimplementasikannya ilmu pengetahuan dalam kehidupan sosial masyarakat. Karena itu, pendidikan harus sesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan memiliki wawasan kearifan lokal.

Negara Jepang bisa makmur dan menjadi salah satu negara maju di dunia, sebab pendidikan di Jepang mengakomodasi kebutuhan masyarakat. Selain itu, Jepang juga mengadopsi kearifan lokal berupa Zen dan konsep diri Busidho (kode etik Samurai). Tidak mengherankan, bekerja (action) menjadi tradisi di Jepang. Pembangunannya pun sangat ramah lingkungan karena menggunakan konsep Zen. Sedangkan konsep diri Busidho membuat bangsa Jepang menjadikan nyawa-nya sebagai jaminan integritas. Tak mengherankan, orang Jepang memilih menjalani ritual bunuh diri (harakiri) bila terbukti tidak menjalankan tugasnya dengan baik. 

Samurai [Foto dari:www.sushiworldpik.com]
Samurai [Foto dari:www.sushiworldpik.com]
Di Indonesia, materi pelajaran (pendidikan) didominasi teori yang tidak implementatif dan menjauh dari kearifan lokal. Implikasinya, sebagian besar sarjana tidak bisa (kesulitan) mengimplementasikan ilmu pengetahuannya dan menciptakan pengangguran.

Oleh karena itu, kearifan lokal perlu menjadi bagian dari materi pengajaran wajib di seluruh lembaga pendidikan formal Indonesia. Teori harus lebih banyak (seimbang) dengan praktik. Perlu juga peran serta tokoh-tokoh masyarakat dan pemangku adat dalam merumuskan materi pengajaran yang ideal. Sehingga, ilmu pengetahuan yang diperoleh generasi muda melalui lembaga pendidikan, bisa diimplementasikan dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, jumlah pengangguran bergelar sarjana dapat dihapuskan.

Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa pendidikan bukanlah tanggung jawab lembaga pendidikan formal saja, melainkan tanggung jawab kolektif. Praktik pendidikan adalah proses belajar-mengajar dengan melibatkan seluruh relasi sosial (masyarakat) di muka bumi. Sehingga bisa disebut, pendidikan harus menjadi sebuah gerakan semesta. Ajaran Ki Hajar Dewantara sangat mengakomodasi gerakan semesta. Bila diimplementasikan sebagai pilar utama konsep pendidikan, kekerasan di lingkungan lembaga pendidikan atau dalam proses belajar-mengajar, bisa dihindari dan dihentikan.

Sebuah gerakan tidak cukup dengan rumusan konsep semata, melainkan perlu adanya langkah awal implementasi. Kemajuan teknologi informasi membuka peluang besar bagi kita untuk mewujudkan pendidikan sebagai gerakan semesta. Melalui internet, kita bisa menjalin hubungan antar lembaga-lembaga pendidikan, berbagi informasi, berbagi bahan ajar, dan saling meneguhkan. Dengan demikian, internet bisa dimanfaatkan sebagai jembatan menuju kemajuan peradaban Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun