Mohon tunggu...
Sulfiza Ariska
Sulfiza Ariska Mohon Tunggu... Penulis - Halo, saudara-saudara sedunia. Apa kabarmu? Semoga kebaikan selalu menyertai KITA.

Penulis penuh waktu. Lahir di Sumatera Barat dan berkarya di Yogya. Emerging Writer "Ubud Writers and Readers Festival" ke-11. E-mail: sulfiza.ariska@gmail.com IG: @sulfiza_indonesia Twitter: Sulfiza_A

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengembalikan Ajaran Ki Hajar Dewantara Sebagai Pilar Utama Konsep Pendidikan Indonesia

29 Mei 2016   23:11 Diperbarui: 30 Mei 2016   00:02 964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Samurai [Foto dari:www.sushiworldpik.com]

[Foto dari: taufikfatur.blogspot.co.id]
[Foto dari: taufikfatur.blogspot.co.id]
Selain itu, kesejahteraan juga sangat penting dalam untuk menciptakan keluarga yang sehat. Secanggih apapun norma, agama, dan segala bentuk aturan moral; bila sebuah keluarga masih miskin; kekerasan tetap akan berkembang biak. Orangtua (orang dewasa) dalam keluarga yang tidak sejahtera rentan mengalami depresi dan menularkan depresi pada anak.

Pemerintah perlu lebih serius dalam mengentaskan kemiskinan, sehingga terwujud kesejahteraan kolektif. Semua warga negara perlu dibekali keahlian praktis yang bisa digunakannya untuk mencari nafkah dan hidup layak. Keahlian tidak hanya dari pendidikan formal semata, tapi juga bisa didapatkan dari pelatihan-pelatihan atau pendidikan di lembaga informal. Karena itu, organisasi masyarakat dan aparat desa (RT/RW) perlu diaktifkan; tidak hanya mengurus administrasi; tapi juga mengupayakan setiap anggota masyarakat untuk mendapatkan keahlian (keterampilan), sehingga bisa memiliki pekerjaan layak dan hidup sejahtera.

2. Alam Keguruan

Alam Keguruan dapat diasumsikan sebagai zona tempat seseorang belajar dengan tuntunan guru atau lembaga pendidikan. Untuk mewujudkan Alam Keguruan yang kondusif, tenaga pendidik harus kompeten. Di lembaga pendidikan formal Indonesia, banyak tenaga pendidik yang tidak (kurang) kompeten.

Bukti kompetensi tenaga pendidik adalah karya nyata sesuai pengalaman empirisnya dan efektifitas dalam mengajarkan. Dengan demikian, tenaga pendidik tidak lagi ‘menuntut’ anak didik untuk mencapai sesuatu yang justru belum dicapainya, sebagaimana praktik pendidikan dewasa ini. Tapi, dengan keahlian yang mumpuni, tenaga pendidik berperan serta dalam ‘menuntun’ anak didik untuk mencapai tujuan pendidikan. Tenaga pendidik pun tidak lagi ‘memanjakan’ anak didik yang pintar karena lebih memudahkan pekerjaannya, tapi mampu membantu anak didik yang kesulitan dalam menguasai ilmu pengetahuan yang diajarkan dengan proses penuh kasih-sayang.

[Foto dari: sman1-samboja.sch.id]
[Foto dari: sman1-samboja.sch.id]
Alam Keguruan perlu pula menerapkan demokrasi pendidikan. Menurut Howard Gardner (1993), demokrasi pendidikan harus memberi ruang aktualisasi bagi keragaman intelegensia (multiple-intelligences) manusia, yang meliputi kecerdasan linguistik, logika-matematik, spasial, musik, kinestetik, interpersonal dan intrapersonal. Selain konsepsi Howard Gardner ini, demokrasi pendidikan harus pula mengakomodasi hak belajar anak berkebutuhan khusus (disabilitas). Sudah saatnya kita melihat golongan disabilitas sebagai peluang untuk mengembangkan sayap-sayap ilmu pengetahuan menuju penemuan-penemuan baru.

Penyandang disabilitas berunjuk rasa di depan gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta Pusat, Rabu (12/3). (republika.co.id/Yasin Habibi)
Penyandang disabilitas berunjuk rasa di depan gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta Pusat, Rabu (12/3). (republika.co.id/Yasin Habibi)
Selama ini, golongan disabilitas cenderung diabaikan dan sulit memperoleh pendidikan. Keberhasilan dalam mengakomodasi hak belajar disabilitas untuk setara dengan non-disabilitas, merupakan pencapaian inovasi pendidikan mutakhir yang kita tunggu. Agar semua disabilitas dapat memperoleh pendidikan formal sesuai dengan kemampuan dan kemauannya. Sehingga tercapai pula toleransi yang sesungguhnya menjadi tujuan esensial demokrasi pendidikan.

Perbandingan Sederhana kurikulum Finlandia dan Indonesia
Perbandingan Sederhana kurikulum Finlandia dan Indonesia
Pada praktik pembelajaran, lembaga pendidikan formal di Finlandia menjadi model pendidikan yang tepat untuk diadopsi. Sistem pendidikan di Finlandia sangat menjunjung demokrasi pendidikan dan didukung oleh tenaga pendidik yang kompeten. Bahkan, proses belajar-mengajar sangat efektif.  Di lembaga pendidikan dasar, anak-anak Finlandia hanya belajar formal selama 5 jam dan tanpa PR. Mereka pun tidak menjalani Ujian Nasional setiap tahun. Mereka hanya mendapatkan Ujian Nasional ketika berusia 16 tahun. Tapi, kualitas belajar mereka masuk dalam jajaran tertinggi di dunia. Sedangkan anak-anak Indonesia, tidak hanya dibebani dengan jam belajar tinggi, tapi sebagian juga dituntut atau terpaksa mengikuti les tambahan. Ironisnya, anak-anak Indonesia termasuk terbelakang dalam pendidikan.

Untuk menciptakan Alam Keguruan yang berkualitas, pemerintah Finlandia memang memberi dukungan dan subsidi bagi peningkatan kompetensi tenaga pendidik. Tenaga pendidikan dasar (guru SD), memiliki kewajiban studi megister (S2) yang dibiyai negara. Tak mengherankan, tenaga pendidik memiliki kemampuan yang mumpuni dan dapat mendampingi proses pertumbuhan intelektualitas (bakat) anak didik.

Sedangkan untuk praktik subsidi pendidikan, generasi muda yang menjalani pendidikan setara SD sampai SMA, perlu dibebaskan dari biaya pendidikan, sebagaimana yang telah diterapkan Jepang. Agar keadilan dan kesetaraan pendidikan di bidang pendidikan formal terlaksana. 

3. Alam Pergerakan Pemuda/Pengabdian Masyarakat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun