Misalnya, belum lama ini, seorang anggota DPD-RI menuding Jokowi gagal dalam mewujudkan visi-misi Nawacita dalam memberantas kemiskinan. Artikel yang berisi pernyataannya itu tersebar di jejaring sosial dan menjadi bahan tertawaan netizen. Bagaimana tidak? Kemiskinan telah ada sejak berdirinya NKRI atau 60 tahun lebih usia kemerdekaan. Ke mana saja politisi itu selama ini? Bahkan, kendala dalam memberantas kemiskinan pun tidak lepas dari perilaku para oknum politisi DPD-RI yang melakukan tindak pidana korupsi atau habis untuk membiayai program yang tidak memperlihatkan kemajuan yang konstruktif seperti studi banding.       Â
6. Mendayagunakan Potensi Lokal
Meskipun menjalani pendidikan ekonomi di Belanda, upaya-upaya Bung Hatta untuk memajukan perekonomian Indonesia, sangat ramah lingkungan, tanpa represi ataupun eksploitasi. Pembangunan di sektor perekonomian yang diupayakan Bung Hatta adalah ekonomi kerakyatan. Bagi Bung Hatta, untuk menciptakan kemakmuran, rakyat harus dibekali ilmu pengetahuan agar bisa mengaktualisasikan diri dalam mengelola sumber daya alam dan mendistribusikannya sebagai barang ekonomis. Hal ini dikukuhkan dengan keberadaan koperasi sebagai wahana lalu-lintas perekonomian rakyat.
Sayangnya, impian Bung Hatta belum terwujud secara maksimal karena beliau tersingkir dari jabatan sebagai Wakil Presiden RI. Implikasinya, peluang Bung Hatta untuk menjadikan visi progresifnya sebagai kebijakan publik menjadi terkikis. Masuknya rejim Orde Baru yang membuka investasi asing sebesar-besarnya dan nyaris tanpa kendali, mengakibatkan sumberdaya kehidupan milik (hak) rakyat didominasi pihak asing. Meskipun demikian, cita-cita Bung Hatta tetap relevan dengan impian rakyat Indonesia masa kini dan masa yang akan datang. Sebab, pemikiran Bung Hatta mengakar kuat di bumi Indonesia, bukan konsepsi yang berada di awang-awang dan tanpa dasar epistemologi-antropologi. Hingga kini, buku-buku karya Bung Hatta terus dibaca dan pemikiran-pemikirannya terus dipelajari dan menjadi bahan diskusi.        Â
Di sisi lain, sebagian besar program-program pembangunan sosial yang disuarakan DPD-RI cenderung mengabaikan faktor antropologis masyarakat. Program pembangunan sosial ‘disama-ratakan’; strategi pembangun di Jawa dijadikan pula sebagai strategi pembangunan di Sumatera, Kalimantan, dan daerah-daerah lainnya. Alih-alih menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran, pembangunan justru mengikis alam dan budaya masyarakat. Terjadi eksploitasi besar-besaran terhadap hutan dan barang tambang dengan mengabaikan keseimbangan alam. Peran pemangku adat disingkirkan, sehingga rentan meletuskan konflik sosial. Karena itu, agar didengarkan rakyat, maka politisi DPD-RI harus mengenal substansi antropologis rakyat Indonesia, baik alam ataupun budayanya yang multikultur, sebagaimana yang telah diterapkan Bung Hatta.        Â
7. Cinta Sastra
Sebagaimana Bung Sjahrir dan Bung Karno, Bung Hatta dikenal sebagai pecinta karya sastra. Bahkan, beliau sempat menulis puisi-puisi patriotik semasa aktif sebagai penggerak Perhimpunan Indonesia dengan jurnalnya Indonesia Merdeka. Bung Hatta sangat menjaga tutur bahasanya. Sepanjang sejarah, bisa disebut, beliau tidak pernah menjelek-jelekkan lawan politik atau mengeluh (curhat) pada rakyat. Dalam berpidato pun Bung Hatta tidak menggunakan jasa juru tulis, melainkan spontan atau langsung dari hatinya. Bung Hatta pun teratur menulis di media dan buku-buku, sehingga gema suaranya lebih luas, melebihi bunyi yang mengalir dari getaran pita suara dan juga usianya.Â
Keahlian sastra merupakan kompetensi yang harus dimiliki politisi DPD-RI. Bahasa sastra-lah yang komunikatif dan bisa menjangkau hati rakyat, bukan ‘bahasa-bahasa akademis’ yang dicampur bahasa asing, sebagaimana Vicky Prasetyo yang terkenal dengan ‘kontroversi hati’, supaya terkesan cerdas. Tidak hanya berargumen dengan ‘cantik’, orang yang memiliki kemampuan di bidang sastra bisa ‘marah’ dengan bahasa yang indah.   Â
Selain itu, penguasaan pada ‘sastra daerah’ (seperti kemampuan berbahasa daerah, pantun, pepatah-petitih, dst) pun akan sangat meningkatkan kualitas komunikasi politisi DPD-RI dengan rakyat Indonesia. Karena sastra daerah merupakan sumber kearifan lokal yang membentuk dan menjaga harmoni masyarakat dalam sistem sosial budaya daerah-daerah Indonesia, jauh sebelum bendera merah-putih berkibar di Bumi Pertiwi.  Â
Dengan kecintaan pada sastra, politisi DPD-RI akan bisa menyampaikan pemikiran dengan komunikatif. Dan, tentunya, hal ini akan semakin lengkap dengan kemampuan DPD-RI dan menuliskan pemikirannya. Sehingga, gagasan pembangunan menjangkau masyarakat, melampaui suara yang bisa dihasilkan politisi DPD-RI.
Â