Mohon tunggu...
Sulfiza Ariska
Sulfiza Ariska Mohon Tunggu... Penulis - Halo, saudara-saudara sedunia. Apa kabarmu? Semoga kebaikan selalu menyertai KITA.

Penulis penuh waktu. Lahir di Sumatera Barat dan berkarya di Yogya. Emerging Writer "Ubud Writers and Readers Festival" ke-11. E-mail: sulfiza.ariska@gmail.com IG: @sulfiza_indonesia Twitter: Sulfiza_A

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berguru Pada Bung Hatta: Agar Suara DPD-RI Didengar Rakyat

19 Juli 2015   21:06 Diperbarui: 19 Juli 2015   21:06 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suara DPD-RI sulit didengarkan rakyat karena para politisi DPD-RI cenderung menggunakan politik yang bercorak agitasi. Kebijakan-kebijakan publik yang ditetapkan DPD-RI pun cenderung hanya ‘otak-atik’ kebijakan publik dari rejim pemerintahan sebelumnya dan cenderung ‘selalu membutuhkan dana’ yang dikuras dari uang rakyat. Para politisi DPD-RI seolah tidak belajar dari kesalahan-kesalahan politis DPD-RI sebelumnya: bahwa semakin banyak dana yang dibutuhkan untuk program pembangunan sosial, maka semakin besar pula potensi korupsi. Kolusi dan nepotisme pun masih menjamur sampai sekarang di kalangan politisi.

Hal itu jauh berbeda dengan jalan politik yang ditempuh Bung Hatta seumur hidupnya. Bung Hatta adalah seorang ‘guru bangsa’. Pendidikan bagi rakyat merupakan panggilan jiwanya. Ketika masuk ke dalam kancah politik, Bung Hatta tidak ‘dihanyutkan’ arus politik dalam perebutan kekuasaan, melainkan tetap memegang integritasnya dalam pendidikan, sehingga peran Bung Hatta dalam sejarah Indonesia lazim disebut ‘politik pedagogi’. Politik pedagogi dapat dipahami sebagai sebuah seni dalam mendidik agar rakyat cerdas, bermartabat, memiliki harga diri, menyadari kedaulatannya, memiliki kemerdekaan psikologis, dan dapat bekerja sama dalam mewujudkan kemakmuran kolektif yang sesuai nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945.

Politik pedagogi merupakan langkah DPD-RI agar  didengarkan rakyat. Di mana DPD-RI berperan sebagai ‘guru bangsa’ dalam mencerdaskan rakyat. Rakyat tidak hanya berperan sebagai penerima program-program pembangunan, melainkan dipersiapkan untuk memiliki intelektualitas dan mentalitas yang prima dalam menjalankan program-program tersebut. Sehingga, rakyat cerdas dalam kehidupannya; jiwa dan raga; sehingga rakyat bisa memperjuangkan hak asasi dan berpartisipasi aktif (berkerja sama dengan pemerintah) dalam pembangunan sosial untuk mewujudkan kemakmuran kolektif. Tanpa rakyat yang cerdas dan memiliki kesadaran untuk bekerja sama, cita-cita kemerdekaan dalam Pancasila dan UUS 1945 tidak akan pernah terwujud.

3. Jujur dan Sederhana

Di masa sekarang, rakyat banyak mendengar tuntutan politisi dalam menggunakan dana rakyat untuk kepentingan-kepentingan kalangan politisi: dari pengharum ruangan, sampai pembalut wanita. Terakhir, rakyat pun digegerkan usulan ‘dana aspirasi’. Para politisi bisa beralasan bahwa dana itu untuk ‘kelancaran’ kinerja mereka dalam mengabdi pada rakyat. Tapi, rakyat sudah semakin cerdas. Meskipun para politisi bisa memberikan penjelasan yang ‘logis’, rakyat bisa melihat kebijakan-kebijakan tersebut bertujuan untuk ‘kenyamanan’ bagi para politisi.

Di sisi lain, Bung Hatta pun tetap menjalankan tugasnya sebagai Wakil Presiden dan pendidik bangsa di tengah-tengah keterbatasan. Tidak akan terkikis dalam ingatan rakyat bahwa tahun 1950-an, Bung Hatta menyimpan halaman iklan sepatu Bally impiannya. Di masa itu, sepatu Bally merupakan merek sepatu terkenal dan cukup mahal. Beliau pun menabung hari demi hari agar bisa membeli sepatu impiannya itu. Sayangnya, uang tabungan itu selalu habis untuk kebutuhan rumah tangga atau membantu orang yang kesusahan, hingga sepatu Bally tidak kunjung terbeli. Halaman iklan sepatu Bally tersebut tetap tersimpan dan menjadi salah satu warisan setelah beliau wafat.

Lebih dekat lagi, Bung Hatta didengarkan rakyat karena beliau mampu menjadi representasi rakyat sesungguhnya: rakyat Indonesia banyak yang miskin, maka beliau pun bersedia hidup ‘miskin’. Penerimaan Bung Hatta pada kemiskinan pun sangat jelas ketika dirinya hidup di tanah-tanah buangan seperti di Digul dan Banda Neira. Di tanah buangan inipun, Bung Hatta tetap mendedikasikan hidupnya untuk kemerdekaan dan pendidikan bagi rakyat. Bahkan, ia pun sering cemas tidak bisa membayar rekening listrik dan air di rumahnya. Hal inipun semakin lengkap dengan wasiatnya untuk dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir (bukan di Taman Makam Pahlawan Kalibata), bersatu dengan rakyat yang mencintai dan dicintainya. Bukanlah sesuatu yang mengherankan bila rakyat ‘seolah’ mendengarkan suara Bung Hatta sampai sekarang.
 
Bila DPD-RI ingin didengarkan, maka anggota DPD-RI harus mendidik diri untuk hidup jujur dan sederhana, sebagaimana Bung Hatta, bukan malah menuntut kenyamanan di tengah-tengah kemiskinan dan penderitaan rakyat. Bila kebijakan-kebijakan DPD-RI masih ‘melulu dana’ untuk kenyamanan dan didukung gaya hidup hedonis, harapan DPD-RI untuk didengarkan rakyat sama saja mimpi di hari siang yang tidak akan tercapai dan leyap ketika terjaga. Sungguh sangat menyedihkan ketika rakyat menganggap politisi DPD-RI sebagai sekelompok orang yang berbicara dalam keadaan tertidur atau ‘mengigau’.

4. Integritas dan Etika
Bagi DPD-RI, salah satu alasan klasik yang sering dikeluhkan sebagai kendala mewujudkan ‘idealisme memperjuangkan hak-hak asasi rakyat’ adalah ‘sistem sosial politik’ yang tidak kondusif, korup, dan feodal. Tapi, di masa Bung Hatta, sistem sosial politik tidak jauh berbeda. Bahkan, kondisi sistem sosial politik di masa Bung Hatta, jauh lebih represif dan dengan potensi konflik multidimensi yang sangat besar. Sengketa di jajaran politik dan antarpolitisi pun bisa disebut brutal dan sangat kejam. Tidak sedikit politisi yang hilang atau tewas di tiang eksekusi. Sebagai negara yang masih muda dan baru merdeka, NKRI pun sangat rentan diserang dan dijajah kembali oleh militer kolonial. Di tengah kegamangan sistem sosial politik di awal terbentuknya NKRI, Bung Hatta relatif bersih dari kontroversi. Bahkan dicintai kawan dan lawan politiknya. Beliau tidak ubahnya pulau yang tidak bisa tenggelam. Sebab Bung Hatta memiliki integritas dan etika. Integritas dan etika ini pula yang tercermin dalam persahabatan beliau dengan Bung Karno. Meskipun berbeda haluan politik dan tersingkir dari jabatannya sebagai Wakil Presiden, hubungan silaturahmi Bung Hatta dan Bung Karno tidak terputus dan tetap hangat sampai maut memisahkan. 
 
5. Profesionalitas dan Kompetensi

Bung Hatta tidak hanya sekadar menyuarakan ‘ekonomi kerakyatan’, tapi beliau memiliki kompetensi di bidang ekonomi. Beliau sangat ‘memahami’ potensi lokal rakyat Indonesia dan telah menjalani pendidikan ekonomi yang mumpuni. Sejak kecil Bung Hatta telah menerima pendidikan ekonomi dalam keluarganya yang ulama-pedagang. Sepanjang hidupnya, Bung Hatta hidup sederhana dan rajin menabung. Tidak heran, suara Bung Hatta didengarkan rakyat. Sebab, pemikirannya tidak hanya ‘omong doang’ (lip service), tapi merupakan cerminan ‘realitas’ sikap hidup yang ditempuhnya.

Tersingkirnya Bung Hatta sebagai Wakil Presiden tidak membuat beliau kehilangan semangatnya dalam mendidik rakyat. Beliau tetap profesional dalam memperjuangkan visinya dalam membangun bangsa, yaitu sebagai dosen di berbagai perguruan tinggi, aktif pula berceramah tanpa memungut bayaran, dan produktif menulis karya-karya yang membuka cakrawala berpikir bangsa Indonesia.    

Profesionalitas dan kompetensi itulah yang masih langka di jajaran politisi. Hal ini disebabkan umumnya politisi cenderung belum memahami realitas antropologis rakyat Indonesia. Rakyat cenderung diasumsikan sebagai barisan angka-angka statistik yang tidak berjiwa, bukan manusia yang bernyawa dan berbudaya. Sehingga untuk mewujudkan kemakmuran, politisi cukup melakukan ‘bongkar-pasang’ kebijakan yang telah lapuk. Implikasinya, kebijakan publik yang ditetapkan semakin jauh dari sasaran. Ketika sasaran tidak tercapai, para politisi rentan saling menyalahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun