Mohon tunggu...
Sulfiza Ariska
Sulfiza Ariska Mohon Tunggu... Penulis - Halo, saudara-saudara sedunia. Apa kabarmu? Semoga kebaikan selalu menyertai KITA.

Penulis penuh waktu. Lahir di Sumatera Barat dan berkarya di Yogya. Emerging Writer "Ubud Writers and Readers Festival" ke-11. E-mail: sulfiza.ariska@gmail.com IG: @sulfiza_indonesia Twitter: Sulfiza_A

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sinergi Ramadhan dan Revolusi Mental

26 Juli 2014   05:47 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:12 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

RAMADHAN rentan terkikis dari esensinya sebagai bulan penuh rahmat. Jauh sebelum bulan suci ini tiba, pelaku bisnis telah mengincarnya sebagai momen untuk mendulang laba setinggi-tingginya dengan jalan meningkatkan produksi barang (jasa) dan harga berlipat ganda. Tidak mengherankan, inflansi yang sangat signifikan terjadi di bulan Ramadhan 1435 H. Hal ini berimplikasi meruncingnya kesenjangan sosial. Alih-alih membawa berkat, bulan suci ini justru membuat sebagian umat Muslim (kelas menengah ke bawah) sekarat. Perlu adanya ‘revolusi mental’ dalam bulan Ramadhan. Agar inflansi tidak terjadi di bulan Ramadhan tahun depan. Bank Indonesia (BI) sebagai lembaga yang memiliki potensi besar dalam menjaga stabilitas keuangan Nasional memiliki peluang besar dalam mempeloporinya.

Melacak Jejak Inflansi Melalui Konsep Trisakti

Revolusi mental merupakan sebuah gerakan yang disuarakan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) sejak masa kampanye pilpres. Dalam perpektif Jokowi, Revolusi Mental mengadopsi konsep Trisakti dalam pidato Bung Karno pada 1963. Terdapat tiga pilar kebangsaan dalam konsep Trisakti: ”Indonesia yang berdaulat secara politik”, ”Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan ”Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”.

Spanduk menjelang pilpres di kawasan Terban-Yogyakarta.  Terlihat Joko Widodo dengan jargon "Jujur, Merakyat, Sederhana" ( Foto. Dokumentasi Penulis).

Kenaikan inflansi yang cenderung selalu terjadi di bulan Ramadhan mengindikasikan bangsa Indonesia belum mandiri secara ekonomi. Ketidakmandirian secara ekonomi berimplikasi kedaulatan Indonesia secara politik belum diakui sepenuhnya. Dalam artian, wibawa negara Indonesia dalam pergaulan Internasional masih rendah. Hal ini dapat kita cermati keberadaan Indonesia sebagai golongan Negara Dunia Ketiga, bukan negara maju seperti: Jepang dan Korea. Tentunya, fenomena ini sangat ironis sekali. Sebab, kekayaan sumber daya alam Indonesia melampaui Korea dan Jepang.

Di lain sisi, relevansi kestabilan harga di bulan Ramadhan dengan konsep Trisakti dapat kita temukan indikasi solusinya pada pilar ketiga: “Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”. Tanpa adanya kepribadian yang kuat secara sosial-budaya kita akan kehilangan identitas sebagai sebuah bangsa dan rentan mengalami gegar budaya (culture shock). Inilah yang menjadi akar dari kompleksitas permasalahan bangsa yang meruntuhkan kedua pilar Trisakti lainnya.

Dan memang, mayoritas generasi Indonesia dewasa ini mengalami gegar budaya. Pendidikan yang bercorak Hindia-Belanda yang memengaruhi paradigma dan kurikulum pendidikan konvensional mengakibatkan bangsa Indonesia memiliki kesadaran eurosentrik. Kita cenderung menjadikan peradaban bangsa Eropa sebagai kiblat kemajuan.

Setelah Perang Dunia II, terjadi Perang Dingin (menjadikan teknologi sebagai indikator kemajuan) dan masuknya dunia ke dalam tatanan industri. Di Asia, Jepang dan Korea dapat mencapai kemajuan dalam kedua aspek kemajuan ini. Meskipun sumber daya alam Indonesia jauh lebih kaya, kemakmuran rakyat Indonesia berada di bawah Jepang dan Korea. Dengan demikian, generasi Indonesia cenderung merasa lebih rendah daripada bangsa-bangsa Eropa dan negara yang maju di bidang teknologi-industri.

Kenaikan Harga dan Gegar Budaya (Culture Shock)

Pada 19 Mei 2014, saya terbang dari Padang menuju Yogyakarta. Ketika memesan tiket tujuan Padang-Yogyakarta, saya sempat menanyakan harga tiket untuk di masa arus ‘mudik’ Ramadhan khususnya seminggu menjelang Iedul Fitri. Alangkah kagetnya saya! Ternyata, harga tiket Lion untuk ‘mudik’ tujuan ‘Yogyakarta-Jakarta’ sudah merayap sampai angka 1,5 juta rupiah, melampaui harga tiket Lion tujuan Yogyakarta-Padang yang saya pesan dua hari sebelum keberangkatan (19 Maret 2014). Di bulan Maret, saya bisa mendapatkan tiket Lion di bawah harga 1,3 juta rupiah untuk tujuan ‘Yogyakarta-Padang’ (transit Jakarta). Kita bisa memaklumi kenaikan harga tiket pesawat ‘dua jam’ menjelang keberangkatan. Tapi, kenaikan harga tiket ‘dua bulan’ menjelang keberangkatan (bulan Ramadhan) perlu dipertanyakan. Tentunya, bukan Lion semata yang mengalami kenaikan harga tiket. Maskapai penerbangan lain dan jasa transportasi lain (kereta api dan bus) pun memiliki potensi kenaikan.

1406302894310836964
1406302894310836964
Berangkat dari Bandara Adisucipto tujuan Yogyakarta-Padang 19 Maret 2014
( Foto. Dokumentasi Penulis).

14063029721265770847
14063029721265770847

Saya berangkat dari Bandara Minangkabau tujuan Padang-Yogyakarta 19 Mei 2014
( Foto. Dokumentasi Penulis).

Selain terjadi kenaikan harga jasa transportasi, bulan suci ini diracuni nalar ekonomi. Dalam motif ekonomi: di mana terjadi permintaan (demand) di sana terjadi penawaran. Permintaan terhadap barang (jasa) yang meningkat di bulan Ramadhan berimplikasi meningkatnya penawaran. Peningkatan penawaran berimplikasi meningkat pula penyediaan (supply) barang (jasa) dan kenaikan harga yang menimbulkan inflansi.

Menurut hemat saya, respon kebijakan BI untuk mencegah laju inflansi yang tertera dalam ‘Antisipasi Ramadhan/Idul Fitri 2014, Potensi Risiko Inflansi 2014’ belum dapat dinilai ‘efektif’ dan bersifat tentatif. Langkah-langkah pengendalian inflansi dalam respon kebijakan masih klasik: pengendalian harga dan distribusi barang/jasa yang menekankan pada sektor finansial. Bahkan, “pemberian subsidi biaya distribusi beberapa komoditi (beras, gula pasir, minyak goreng, dan terigu) untuk didistribusikan ke seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur” saya nilai sebagai pemborosan keuangan negara.

Akar dari kenaikan inflansi tidak terbatas pada materi (barang/jasa) di bulan Ramadhan, melainkan kegamangan kita dalam sosial-budaya. Kenaikan inflansi di bulan Ramadhan tiga tahun terakhir (2012, 2013, dan 2014) yang ditandai dengan kenaikan harga barang (jasa) mengindikasikan bangsa Indonesia mengalami gegar budaya yang bersifat kronik.

Kegamangan ini bersumber pada faktor ‘permintaan’ (demand). Bila tidak ada kenaikan ‘permintaan’, tidak akan terjadi perubahan yang signifikan pada faktor ‘penyediaan’ (supply) barang (jasa) yang digawangi pelaku bisnis. Peningkatan penawaran merupakan indikasi kuat adanya gejala konsumerisme yang berseberangan jauh dengan makna bulan Ramadhan.

Tergerusnya Kesederhanaan

Kewajiban umat Muslim untuk berpuasa di bulan Ramadhan merupakan ajaran Islam dalam kesederhanaan manusia dari seluruh lapisan sosial. Hal ini menegaskan bahwa ajaran Islam hadir untuk menghapus kasta dan feodalisme yang tidak berkeadilan. Semua manusia sederajat di hadapan Allah SWT. Di mana raja (presiden) dan rakyat jelata memiliki kewajiban yang sama. Lebih jauh lagi, puasa berfungsi untuk menghayati dan menanamkan perilaku Muhammad SAW sebagai konsep diri (self-concept): kesederhanaan.

Dari tahun ke tahun, pondasi kesederhanaan ini semakin tergerus. Alih-alih berperilaku ‘kesederhanaan’, bulan Ramadhan merupakan ajang untuk merayakan gaya hidup yang ‘konsumerisme’. Ramadhan menjadi momen untuk mengkonsumsi ‘makanan enak’ dan membeli ‘pakaian baru’. Khususnya untuk kelas sosial menengah ke atas, silaturahmi rentan sekali sebagai ajang untuk ‘pamer kemajuan’. Untuk merealisasikannya, kita bersedia membelanjakan ‘dana’ yang cenderung ‘berlebihan’ untuk menyelubungi tubuh dengan materi-materi yang dinilai sebagai ‘memperkuat’ harga diri (self-esteem).

Harga ‘baju koko’ yang membanjir di bulan Ramadhan bisa mencapai harga lima ratus ribu rupiah. Jauh lebih mahal daripada gaji Fidel Castro. Pemimpin Revolusi Kuba tahun 1959 hanya menerima gaji sebesar 900 peso (Peso Kuba tidak punya nilai di pasar internasional, tetapi nilai domestiknya setara kira-kira 36$ per bulan atau sekitar Rp 350 ribu). Dalam wawancaranya dengan Ignacio Ramonet, seperti ditulis di buku “Fidel Castro: My Life”, meskipun gajinya pas-pasan, Fidel Castro mengaku tidak pernah sekarat dalam kelaparan.

Di lain pihak, Ahmadinejad, yang pernah menjadi Walikota Teheran, Ibukota Iran, resmi menjadi Presiden tahun 2005. Saat itu, ia diminta mengumumkan kekayaannya. Ternyata, kekayaannya hanya satu rumah sederhana seluas 175 meter persegi dan mobil Peugeot putih keluaran 1977. Berbagai fotonya beredar di dunia maya memperlihatkan Ahmadinejad tertidur pulas di atas karpet biasa. Ahmadinejad pun menolak kursi V.I.P di pesawat Kepresidenan. Bandingkan dengan kebiasaan public figur di Indonesia yang direpresentasikan selebriti dan para pejabat (termasuk Presiden beberapa rejim pemerintahan terakhir) yang sangat konsumtif. Semoga Presiden Republik Indonesia yang baru, Jokowi, tidak meneruskan tradisi royal presiden sebelumnya.

Kebijakan-kebijakan perbankan yang konvensional tidak akan mampu mengendalikannya. Dalam ‘Antisipasi Ramadhan/Idul Fitri 2014, Potensi Risiko Inflansi 2014’ BI hanya bisa memantau (mengendalikan) kenaikan harga sebagian kecil produk pangan yang tidak bisa merepresentasikan substansi perekonomian yang memengaruhi kenaikan inflansi secara utuh. Hal inipun belum termasuk kenaikan harga jasa transportasi dan harga sandang (pakaian). Harga jasa transportasi dapat kita lihat dari pengalaman saya ketika memesan tiket pesawat Lion tujuan Yogyakarta-Padang di bulan Mei. Sedangkan harga sandang, pemandangan sebuah toko pakaian Muslim di Jalan C. Simanjuntak Yogyakarta sebagaimana yang saya foto di bawah ini, agaknya cukup merepresentasikan betapa tergila-gilanya umat Islam dalam menjadikan pakaian sebagai bagian dari harga diri (self-esteem) yang cenderung menjauh dari kesederhanaan yang diwariskan Muhammad SAW:

14063030271017703229
14063030271017703229
Banjir pembeli pakaian menjelang Lebaran (24 Juli 2014) mengakibatkan parkir toko tidak bisa mengakomodasi kendaraan bermotor. Sehingga, kendaraan bermotor parkir di badan jalan raya dan mengakibatkan macet ( Foto. Dokumentasi Penulis).

Dalam tayangan edukasi ‘Peran Bank Indonesia dalam Menjaga Stabilitas Perekonomian’, saya hanya menemukan kebijakan-kebijakan perbankan yang didominasi sektor finansial dan belum menyentuh pengaruh sosial-budaya. Kerjasama bank belum melibatkan elemen-elemen (organisasi/lembaga/ahli/ilmuwan) sosial-budaya.

Padahal, perbankan merupakan sebuah lembaga yang lahir dari interaksi sosial-budaya. Iklim sosial-budaya membentuk pandangan hidup dan mengendalikan perilaku manusia sebagai makhluk ekonomi (homo oeconomicus). Misalnya, rakyat China dan masyarakat Indonesia etnis Tionghoa cenderung sangat meyakini shio dan feng sui. Pergantian tahun China memengaruhi motif ekonomi dan sektor finansial. Tahun 2013 yang dibawah pengaruh ‘ular air’ mendorong rakyat China (etnis Tionghoa) enggan berinvestasi. Sebab, tahun ular diyakini sebagai ‘tahun sial’ atau penuh dengan ketidakpastian, sehingga tidak menguntungkan secara ekonomi.

Pada konteks Ramadhan dewasa ini, umat Islam di Indonesia cenderung sangat meyakini berbelanja untuk kebutuhan puasa dan Hari Lebaran merupakan pahala. Sebab ada sunnah untuk memakai pakaian baru di hari Idul Fitri. Agaknya perlu ditegaskan, berbelanja untuk kebutuhan puasa bulan Ramadhan dan Idul Fitri bukan pembenaran perubahan gaya hidup yang mendekati sifat boros (konsumerisme). Di Yogyakarta, fenomena konsumerisme cukup kontras. Bulan Ramadhan akhir atau menjelang Idul Fitri) di Yogyakarta, toko-toko dan mall semakin ramai, sedangkan masjid semakin sepi. Penduduk berburu barang-barang diskon dan meninggalkan ibadah utama (solat taraweh).

Dari uraian di atas, dapat kita temukan akar penyebab inflansi yang paling esensial yang merujuk pada kondisi gegar budaya (culture shock): ‘mental’ mayoritas umat Islam yang ‘tidak sehat’ atau lazim disebut ‘konsumerisme’. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh BI tanpa melibatkan peran masyarakat luas khususnya umat Islam dalam mengembalikan kesederhanaan sebagai konsep diri yang diajarkan Muhammad SAW, tidak akan efektif untuk mempertahankan harga barang (jasa) agar tetap stabil dan mematikan potensi inflansi pada bulan Ramadhan 1436 H (tahun 2015) dan tahun-tahun selanjutnya.

Siasat Menghadapi Inflansi

Mental konsumerisme ini tidak hanya menjajah umat Islam, melainkan memengaruhi kesadaran (awareness) rakyat Indonesia secara kolektif. Tanpa adanya peran serta masyarakat Indonesia secara kolektif untuk mengubah gaya hidup dari ‘konsumerisme’ kembali ke ‘kesederhanaan’, kenaikan inflansi akan terus terjadi pada hari-hari besar agama. Umat beragama yang semestinya mendapatkan ruang untuk beribadat dengan tenang guna meningkatkan religiositas dan kesadaran Pancasila, menjadi mangsa bagi pelaku bisnis untuk meningkatkan laba.

Dalam pidato kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta, Karlina Supelli menuturkan. Bahwa, konsumerisme adalah proses kebudayaan dalam ideologi tata dunia baru yang kita sebut globalisasi. Melalui berbagai label yang menggiurkan ideologi itu mendesakkan gaya hidup mewah, prestise, status dan prinsip-prinsip kenikmatan ke dalam benak bawah-sadar konsumen. Gaya hidup ini telah mengakar di sendi-sendi kesadaran masyarakat Indonesia. Berdasarkan hasil penyigian beberapa bulan pertama tahun 2013 ternyata indeks kepercayaan konsumen Indonesia paling tinggi (124) di antara 58 negara-negara Asia Pasifik, Amerika Utara, Amerika Latin, Eropa dan Timur Tengah. Bahkan, kepercayaan diri orang Indonesia untuk berbelanja bahkan jauh lebih tinggi daripada masyarakat negara-negara makmur seperti Switzerland (98) dan Norwegia (98).

Maka, dapat kita simpulkan bahwa: kebijakan-kebijakan BI dalam mengendalikan inflansi yang cenderung didominasi aspek finansial, cenderung tidak akan efektif. Sebab, persoalan elementer terjadinya inflansi di bulan Ramadhan adalah konsumerisme yang telah menyatu dalam konsep diri (self-concept) sebagian umat Islam dan meracuni esensi bulan Ramadhan. Ramadhan yang ideal tidak akan mengubah peningkatan pengeluaran (belanja) yang signifikan dari kemampuan kita.

Ramadhan semestinya menuntun umat Islam menghayati dan menanamkan kesederhanaan yang diajarkan Muhammad SAW, bukan gaya hidup yang bisa diasumsikan ‘boros’. Terjadinya kenaikan inflansi di bulan Ramadhan menjadi fakta yang tidak bisa kita hindari bahwa Ramadhan memicu umat Muslim untuk boros. Gaya hidup boros di bulan Ramadhan menjadi peluang (modus) bagi pelaku bisnis untuk menggemukkan pundi-pundinya. Gaya hidup boros merupakan wujud nyata dari praktik konsumerisme. Gaya hidup boros sangat ditentang Islam. Allah telah memperingatkan, “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan”(QS.Al-Israa’ : 26-27).

Pilar Trisakti yang berupa “Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya” merupakan pondasi revolusi mental yang dapat kita realisasikan guna mengatasi imbas konsumerisme di bulan Ramadhan. Adapun langkah-langkah yang dapat kita implementasikan, antara lain:

Pertama, perlu adanya pemaknaan ulang terhadap ibadah di bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan merupakan waktu bagi umat Islam untuk menjalankan ibadah puasa, bukan berfoya-foya. Bila kita rangkum, ibadah puasa yang ideal merupakan sinergi: kesederhanaan, kesederajatan, moralitas, kemurnian, dan konsumsi makanan. Tanpa adanya sinergitas lima elemen ini, puasa kita tidak akan menjadi utuh. Perubahan yang diharapkan dalam menjalani ibadah puasa adalah peningkatan spiritualitas dan religiositas. Dengan menjalani ibadah puasa, umat Islam diharapkan menjadi pribadi yang semakin disiplin menjaga ibadah wajib, meningkatkan ibadah sunnah, sederhana, meningkatnya harapan hidup sehat, dan meningkatnya mutu jalinan sosial-budaya. Konsumerisme merupakan gaya hidup yang semestinya terhapus dengan ibadah puasa, bukan semakin kuat dan memicu kenaikan inflansi.

Kedua, mengurangi intensitas mudik di bulan Ramadhan atau Idul Fitri. Dalam Islam, upaya untuk menjalin silaturahim (persaudaraan/keluarga) bukan hanya di bulan puasa atau hari raya, melainkan setiap waktu atau ada kesempatan. Bila kita menggunakan hari-hari lain sebagai waktu untuk mudik guna menjalin silaturahim, tidak akan terjadi repetisi periodik (pengulangan) yang bersifat massal dalam permintaan jasa transportasi. Dengan demikian, pelaku bisnis tidak mengincarnya sebagai peluang untuk menaikkan harga jasa (tiket/pelayanan) transportasi. Penyediaan (supply) barang dan jasa adalah akibat timbulnya permintaan (demand). Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pelaku bisnis yang menunggangi momen religius, tapi sebagai konsumen kita bertanggung jawab dengan pengaruh permintaan pada ketersediaan barang (jasa).

Ketiga, mengurangi konsumsi (penggunaan) media massa terutama televisi. Dengan mengurangi intensitas menonton televisi, pengaruh iklan barang (jasa) yang membanjiri televisi terhadap kejiwaan kita akan berkurang. Kecenderungan gila belanja cenderung diakibatkan terlalu banyak menonton (menyaksikan) tayangan iklan komersil. Sehingga, alam bawah sadar kita merekamnya, menjadi pikiran yang dominan, dan membentuk konsep diri (self-concept) konsumtif dan menjadikan benda-benda fana sebagai alat untuk meningkatkan harga diri.

Televisi di Indonesia dewasa ini banyak menayangkan materi-materi yang tidak sehat, bahkan memvisualisasikan diskriminasi, hedonisme, dan kekerasan seksual. Ada baiknya, umat Islam meninggalkan kebiasaan menonton televisi dan mengembangkan minat dalam budaya literasi. Budaya literasi merupakan pemicu kejayaan Islam dalam peradaban sebagaimana yang pernah lahir di Baghdad (sebelum dihancurkan invansi Mongol dibawah pimpinan Timur Lenk). Budaya literasi akan menuntun kita untuk berpikir mandiri dan memiliki filter dalam dominasi konsumerisme yang ditekankan budaya globalisasi.

Keempat, tidak mengubah konsumsi pangan (menu masakan) dan sandang di bulan Ramadhan dengan hari-hari biasa. Ibadah puasa bulan Ramadhan ataupun Idul Fitri bukanlah pesta, melainkan ibadah yang menuntun kita untuk berkontemplasi dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Di hadapan Allah SWT, orang yang mulia tidak dilihat dari fisik, pakaiannya, ataupun darah bangsawan, melainkan ketakwaan. Hal ini ditegaskan firman Allah SWT: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (Q.S. Al-Baqarah: 183). Bila ketakwaan yang semakin meningkat di bulan Ramadhan, masjid tidak akan sepi ditinggal umat Islam yang berbelanja di mall atau toko-toko untuk kebutuhan Idul Fitri.

Kelima, mengubah kebiasaan belanja. Berbelanja sesuai keperluan (karena butuh), bukan karena hobi, tergiur merek, tersihir diskon, atau tergoda barang-barang yang diiklankan artis papan atas.

Keenam, kerjasama BI dengan ilmuwan sosial-budaya, ormas-ormas dalam masyarakat, dan pelaku bisnis. Diharapkan, akan timbul kesepakatan untuk tidak menaikkan harga barang (jasa). Permintaan (demand) selaras dengan penyediaan (supply) tanpa adanya modus kenaikan harga barang (jasa).

Ketujuh, Presiden Republik Indonesia perlu memberi teladan hidup sederhana sebagaimana gaya hidup Fidel Castro dan Ahmadinejad. Presiden adalah guru bangsa yang perilakunya diperhatikan dan ditiru rakyatnya. Gaya hidup konsumerisme terutama dengan motif pencitraan sebagaimana perilaku presiden dua rejim pemerintahan terakhir, perlu ditinggalkan. Sebagai rakyat sipil, saya berharap Jokowi di Istana Negara, tetap mempertahankan gaya hidup sederhana yang telah membenihkan simpati secara kolektif dan memenangkan dirinya pada pilpres 2014.

Dari uraian ini, pilar kepribadian bangsa Indonesia secara sosial-budaya yang semestinya dilahirkan setelah menjalani ibadah puasa adalah gaya hidup sederhana. Dalam kesederhanaan inilah terkandung keadilan sosial dan kesederajatan. Kesederhanaan adalah kekuatan bangsa Indonesia dalam menghadapi konsumerisme yang ditebarkan era globalisasi. Dengan adanya kesederhanaan sebagai konsep diri (self-concept) kolektif, bangsa Indonesia tidak akan rentan mengalami gegar budaya dan tidak terjadi kenaikan inflansi di bulan Ramadhan (Idul Fitri). Harga tetap stabil. Tidak ada perubahan sosial yang signifikan, melainkan meningkatnya ketakwaan. Dengan demikian, Ramadhan akan menghadirkan keheningan dan kedamaian; sebagaimana suasana Gua Hira’ ketika Muhammad SAW menjemput wahyu pertama kali.

Referensi
Peran Bank Indonesia dalam Menjaga Stabilitas Perekonomian: http://www.bi.go.id/id/ruang-media/info-terbaru/Documents/Tayangan%20edukasi%20-%20Peran%20Bank%20Indonesia.pdf
Antisipasi Ramadhan/Idul Fitri 2014, Potensi Risiko Inflansi 2014:: http://www.bi.go.id/id/ruang-media/info-terbaru/Documents/Tayangan%20edukasi%20-%20Antisipasi%20Ramadhan-Idulfitri%20dan%20Pengendalian%20Inflasi%20Semester%20II-2014.pdf
Kebudayaan dan Kegagapan Kita Karlina Supelli:
http://www.unhas.ac.id/rhiza/arsip/kuliah/Filsafat-Ilmu/Karlina_Supelli_-_Pidato_Kebudayaan_TIM_11-11-2013.pdf
Inilah Sosok 9 Presiden Paling Sederhana Di Dunia (Berdikari, 10 Mei 2013): http://www.berdikarionline.com/dunia-bergerak/20130510/inilah-sosok-9-presiden-paling-sederhana-di-dunia.html
Revolusi Mental (Kompas.com, 10 Mei 2014): http://nasional.kompas.com/read/2014/05/10/1603015/Revolusi.Mental

Oleh. Sulfiza  Ariska
Yogyakarta, 27 Ramadhan 1435 H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun