Pertama, perlu adanya pemaknaan ulang terhadap ibadah di bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan merupakan waktu bagi umat Islam untuk menjalankan ibadah puasa, bukan berfoya-foya. Bila kita rangkum, ibadah puasa yang ideal merupakan sinergi: kesederhanaan, kesederajatan, moralitas, kemurnian, dan konsumsi makanan. Tanpa adanya sinergitas lima elemen ini, puasa kita tidak akan menjadi utuh. Perubahan yang diharapkan dalam menjalani ibadah puasa adalah peningkatan spiritualitas dan religiositas. Dengan menjalani ibadah puasa, umat Islam diharapkan menjadi pribadi yang semakin disiplin menjaga ibadah wajib, meningkatkan ibadah sunnah, sederhana, meningkatnya harapan hidup sehat, dan meningkatnya mutu jalinan sosial-budaya. Konsumerisme merupakan gaya hidup yang semestinya terhapus dengan ibadah puasa, bukan semakin kuat dan memicu kenaikan inflansi.
Kedua, mengurangi intensitas mudik di bulan Ramadhan atau Idul Fitri. Dalam Islam, upaya untuk menjalin silaturahim (persaudaraan/keluarga) bukan hanya di bulan puasa atau hari raya, melainkan setiap waktu atau ada kesempatan. Bila kita menggunakan hari-hari lain sebagai waktu untuk mudik guna menjalin silaturahim, tidak akan terjadi repetisi periodik (pengulangan) yang bersifat massal dalam permintaan jasa transportasi. Dengan demikian, pelaku bisnis tidak mengincarnya sebagai peluang untuk menaikkan harga jasa (tiket/pelayanan) transportasi. Penyediaan (supply) barang dan jasa adalah akibat timbulnya permintaan (demand). Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pelaku bisnis yang menunggangi momen religius, tapi sebagai konsumen kita bertanggung jawab dengan pengaruh permintaan pada ketersediaan barang (jasa).
Ketiga, mengurangi konsumsi (penggunaan) media massa terutama televisi. Dengan mengurangi intensitas menonton televisi, pengaruh iklan barang (jasa) yang membanjiri televisi terhadap kejiwaan kita akan berkurang. Kecenderungan gila belanja cenderung diakibatkan terlalu banyak menonton (menyaksikan) tayangan iklan komersil. Sehingga, alam bawah sadar kita merekamnya, menjadi pikiran yang dominan, dan membentuk konsep diri (self-concept) konsumtif dan menjadikan benda-benda fana sebagai alat untuk meningkatkan harga diri.
Televisi di Indonesia dewasa ini banyak menayangkan materi-materi yang tidak sehat, bahkan memvisualisasikan diskriminasi, hedonisme, dan kekerasan seksual. Ada baiknya, umat Islam meninggalkan kebiasaan menonton televisi dan mengembangkan minat dalam budaya literasi. Budaya literasi merupakan pemicu kejayaan Islam dalam peradaban sebagaimana yang pernah lahir di Baghdad (sebelum dihancurkan invansi Mongol dibawah pimpinan Timur Lenk). Budaya literasi akan menuntun kita untuk berpikir mandiri dan memiliki filter dalam dominasi konsumerisme yang ditekankan budaya globalisasi.
Keempat, tidak mengubah konsumsi pangan (menu masakan) dan sandang di bulan Ramadhan dengan hari-hari biasa. Ibadah puasa bulan Ramadhan ataupun Idul Fitri bukanlah pesta, melainkan ibadah yang menuntun kita untuk berkontemplasi dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Di hadapan Allah SWT, orang yang mulia tidak dilihat dari fisik, pakaiannya, ataupun darah bangsawan, melainkan ketakwaan. Hal ini ditegaskan firman Allah SWT: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (Q.S. Al-Baqarah: 183). Bila ketakwaan yang semakin meningkat di bulan Ramadhan, masjid tidak akan sepi ditinggal umat Islam yang berbelanja di mall atau toko-toko untuk kebutuhan Idul Fitri.
Kelima, mengubah kebiasaan belanja. Berbelanja sesuai keperluan (karena butuh), bukan karena hobi, tergiur merek, tersihir diskon, atau tergoda barang-barang yang diiklankan artis papan atas.
Keenam, kerjasama BI dengan ilmuwan sosial-budaya, ormas-ormas dalam masyarakat, dan pelaku bisnis. Diharapkan, akan timbul kesepakatan untuk tidak menaikkan harga barang (jasa). Permintaan (demand) selaras dengan penyediaan (supply) tanpa adanya modus kenaikan harga barang (jasa).
Ketujuh, Presiden Republik Indonesia perlu memberi teladan hidup sederhana sebagaimana gaya hidup Fidel Castro dan Ahmadinejad. Presiden adalah guru bangsa yang perilakunya diperhatikan dan ditiru rakyatnya. Gaya hidup konsumerisme terutama dengan motif pencitraan sebagaimana perilaku presiden dua rejim pemerintahan terakhir, perlu ditinggalkan. Sebagai rakyat sipil, saya berharap Jokowi di Istana Negara, tetap mempertahankan gaya hidup sederhana yang telah membenihkan simpati secara kolektif dan memenangkan dirinya pada pilpres 2014.
Dari uraian ini, pilar kepribadian bangsa Indonesia secara sosial-budaya yang semestinya dilahirkan setelah menjalani ibadah puasa adalah gaya hidup sederhana. Dalam kesederhanaan inilah terkandung keadilan sosial dan kesederajatan. Kesederhanaan adalah kekuatan bangsa Indonesia dalam menghadapi konsumerisme yang ditebarkan era globalisasi. Dengan adanya kesederhanaan sebagai konsep diri (self-concept) kolektif, bangsa Indonesia tidak akan rentan mengalami gegar budaya dan tidak terjadi kenaikan inflansi di bulan Ramadhan (Idul Fitri). Harga tetap stabil. Tidak ada perubahan sosial yang signifikan, melainkan meningkatnya ketakwaan. Dengan demikian, Ramadhan akan menghadirkan keheningan dan kedamaian; sebagaimana suasana Gua Hira’ ketika Muhammad SAW menjemput wahyu pertama kali.
Referensi
Peran Bank Indonesia dalam Menjaga Stabilitas Perekonomian: http://www.bi.go.id/id/ruang-media/info-terbaru/Documents/Tayangan%20edukasi%20-%20Peran%20Bank%20Indonesia.pdf
Antisipasi Ramadhan/Idul Fitri 2014, Potensi Risiko Inflansi 2014:: http://www.bi.go.id/id/ruang-media/info-terbaru/Documents/Tayangan%20edukasi%20-%20Antisipasi%20Ramadhan-Idulfitri%20dan%20Pengendalian%20Inflasi%20Semester%20II-2014.pdf
Kebudayaan dan Kegagapan Kita Karlina Supelli:
http://www.unhas.ac.id/rhiza/arsip/kuliah/Filsafat-Ilmu/Karlina_Supelli_-_Pidato_Kebudayaan_TIM_11-11-2013.pdf
Inilah Sosok 9 Presiden Paling Sederhana Di Dunia (Berdikari, 10 Mei 2013): http://www.berdikarionline.com/dunia-bergerak/20130510/inilah-sosok-9-presiden-paling-sederhana-di-dunia.html
Revolusi Mental (Kompas.com, 10 Mei 2014): http://nasional.kompas.com/read/2014/05/10/1603015/Revolusi.Mental
Oleh. Sulfiza Ariska
Yogyakarta, 27 Ramadhan 1435 H