Meskipun kasar, bukankah memang ada warga yang masih ‘tolol’? Kenaikan biaya pendidikan mengakibatkan banyak warga yang tidak dapat mendapatkan hak asasi dalam mendapatkan pendidikan.
Dan tentang ‘miskin’; bukankah memang masih banyak warga yang miskin? Sebab, UMR di wilayah Yogyakarta termasuk rendah. Anda yang terbiasa tinggal di area kota, tentu tidak begitu merasakannya. Berbeda bila Anda melangkah ke pinggiran (desa). Saya pernah bermukim di Madukismo Kabupaten Bantul. Di sana saya menyaksikan dan hidup bersama warga yang masih miskin. Bahkan, ada tetangga saya yang tidak punya tempat tidur. Mereka tidur di lantai beralaskan tikar atau tidur di ‘lincak’. Bagimana pula dengan nasib tukang becak? Tidak sedikit tukang becak yang menjadikan becak sebagai “rumahnya”. Bahkan, posisi lokalisasi di kawasan Pasar Kembang bukankah sebuah realitas dari kemiskinan? Terakhir saya ke lokalisasi di Pasar Kembang pada Juni 2013, saya menjumpai PSK yang berusia di bawah 19 tahun (di bawah umur). Jika tidak ‘miskin’, di Yogyakarta tidak semestinya berdirinya sektor ekonomi yang memperdagangkan tubuh perempuan.
Maka, marilah kita menyadari bahwa ‘masyarakat’ bukanlah identitas tunggal. Tindakan Florence Sihombing jelas keliru, tapi ‘bully’ dan ‘penahanan’; merupakan tindakan yang ‘lebih keliru’. Apalagi, tindakan Florence Sihombing tidak menimbulkan kerugian materi atau kekerasan fisik.
Oleh sebab itu, saya berharap:
1.Florence Sihombing dibebaskan dari tahanan Polda DIY.
2.Diselenggarakannya ‘dialog damai’ antara Florence Sihombing dan warga Yogyakarta. Dialog ini harus didampingi tokoh masyarakat, LSM, intelektual, dan dijamin keamanannya.
3.Kasus Florence Sihombing tidak ditunggangi ‘kepentingan ekonomi’ (menaikkan rating siaran atau oplah surat kabar) atau ajang ‘cari tenar’ tokoh-tokoh tertentu yang tergila-gila popularitas. Para saudara-saudara memiliki media sosial (blog) menghentikan ‘copy-paste’ kasus Florence Sihombing. Karena ‘copy-paste’ yang tidak proporsional dengan judul ‘bombastis’ telah berperan serta dalam represi terhadapnya.
4.Kita harus segera menemukan solusi “keluhan” Florence Sihombing berupa upaya mengentaskan kemiskinan, keadilan (persebaran) pendidikan, menurunkan tingkat kriminalitas, dan (tentunya) upaya-upaya menghadapi (menemukan solusi) kelangkaan BBM di negeri kita ini.
5.Mengizinkan kembali Florence Sihombing menuntaskan studinya.
6.Memberikan dukungan moral bagi Florence Sihombing sebagai bukti bahwa Yogyakarta sebagai Kota Budaya memang memiliki warga berbudaya; bukan Kota Berbahaya dengan 'warga berhati buaya'.
Saya bisa saja keliru dan Anda sangat benar. Melalui surat ini, saya hanya menyampaikan aspirasi saya sebagai warga Yogyakarta. Bagi saya, sejauh tidak menimbulkan kekerasan fisik atau kerugian materi, diskriminasi sebaiknya dapat kita selesaikan dengan cara kekeluargaan. Florence Sihombing sudah meminta maaf. Semua agama besar di Yogyakarta yang saya kenal, termasuk Islam, Kristen, dan ajaran Kejawen; mengajarkan kita untuk saling memaafkan. Saya sebagai penganut Islam telah memaaafkan. Inilah ajaran Nabi Muhammad yang saya pahami.
Demikian surat dari saya. Dengan segala kerendahan hati, saya mengucapkan terimakasih.
Salam hormat,
Sulfiza Ariska
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H