Mohon tunggu...
sulas sky
sulas sky Mohon Tunggu... Blogger -

Penulis/Semestalover/Backpacker/Bloger/Agriculture/PLANTBOOK /Malalamen

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anak-anak Kota Kecil yang Terpencil

16 Maret 2018   03:09 Diperbarui: 16 Maret 2018   03:35 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu hari dibawah terik matahari yang dalam hitungan jam berganti hujan, saya melakukan pemanasan untuk membuang lemak kaki yang kian hari semakin menjadi. Bersama seorang adek bernama Yuri, kami menyusuri trotoar baru  yang belum sempurna jadi tapi lumayan memberi banyak arti. Bukan hanya bagi kami  yang suka berlari di sore hari tapi juga berarti untuk para pedagang berkaki yang menggelar lapak dengan  banyak variasi.

Kota ini kutinggali sejak 2009, kemudian ku tinggal 2017 dan kembali 2018. Entah kenapa aku selalu nyaman meski banyak mata yang sudah mulai enggan melihatku lalu lalang. Kalimat barusan hanya asumsi hayalan. Faktanya aku hanya pendatang yang tidak dikenal banyak orang. Mungkin karena itu aku terlanjur nyaman karena tidak ku temukan suara -- suara sumbang yang terlalu berterus terang bertanya  dengan kalimat yang sama dan berulang "Kapan".

Ah, sudahlah. Di kota kecil ini hidup jauh terasa lebih hidup. sering kali memberi motivasi untuk terus berkaya untuk menjadi lebih berdaya merubah sesuatu yang membuatku berurai air mata. Sore itu aku bertemu 2 gerombolan anak -- anak dan satu orang anak yang berjalan sendiri.

 Gerombolan pertama  sedang asik tertawa saat kamu melewati mereka dan dengan spontan aku bertanya

"kalian sedang apa" mereka tidak mengenakan baju dan bergelantungan dipegangan jembatan yang menghubungkan dua daratan yang dipisahkan muara

"Sedang mau melompat" jawab salah seorang anak tanpa pernah ku tahu nama panggilannya

"apa tidak mati jika melompat dari sini" spontan saja pertanyaan kasar itu terucap saat ku pastikan kalau jarak jembatan ke permukaan air terlihat sangat jauh dan menakutkan. Mereka hanya tertawa  dan mengulang -- ulang kalimat mati.  Aku merasa kikuk ditertawakan anak -- anak tidak berbaju yang berencana melompat dan tertawa mendengar kalimat kematian. Mungkin karena mereka sudah terbiasa melopat dan tidak terjadi apa -- apa. Makanya mereka tertawa.

Tidak jauh dari lokasi pertama, masih di trotoar jembatan saya bertemu gerombolan ke 2. Kali ini anak -- anak yang meneteng beberapa bungkus kerupuk dibahunya, ada juga kembang gula dan lingkitang. Mereka berlalu dan saya hanya terpaku.

Kami melanjutkan pelarian dan menoba mengobati hati yang sedikit remuk redam dengan memadang jauh ke lautan. Disana ada awan mendung yang menutup penampakan matahari yang akan terbenam beberapa menit lagi . pada akhirnya kami memutuskan untuk beranjak sebelum sempat mengantarnya untuk berpindah ke belahan bumi yang lain. tetesan air langit mulai berjatuhan, disertai angin yang lumayan kencang. ditengah -- tengah perjalanan tidak lama berselang kegaduhan alam berhenti dan kami menemukan spot yang asing karena ada pohon tinggi yang mati. Terlihat unik untuk diabadikan dalam gambar beberapa saat sebelum pulang.

Seorang anak bernyanyi dengan nada sumbang yang coba ku luruskan

"hai kamu, bernyanyilah dengan merdu, supaya disukai orang"

"Emang bisa dapat uang"

"jangan bernyanyi karena uang, tapi karena kamu suka bernyanyi, uang nanti  akan menyusul"

"saya bernyanyi untuk uang kak"

Dengan kembali bernyanyi dan suaranya masih sumbang dan sama sekali tidak enak di dengar. Dia mengikuti para pendatang dan menegadahkan tangan. Dia ditolak tapi dia lumayan nekad. Jika tidak pandai -- pandai berkata tidak jadilah kamu korban palak yang dilakukan anak -- anak.

Kota kecil ini semakin rapi dengan fasilitas dibangun di sana -- sini tapi anak -- anak masih saja mencari -- cari sendiri  tanpa di dampingi.

Kepada pihak yang disebut berwenang sebaiknya mulai turun tangan mengingat suatu hari anak yang menertawakan kalimat mati dan melakoni lompatan ke muara lewat jembatan bisa saja benar -- benar menghilang karena di renggut alam. Anak -- anak kecil yang berjualan  dan bernyanyi dengan nada sumbang bisa saja menjadi ancaman bagi lingkungan sekitar karena mereka perlu uang tapi tidak bisa terpenuhi dengan hasil berjualan dan bernyanyi.

Kepada orang tua yang merasa tidak mampu menafkahi mereka, cobalah berbagi cerita kepada pihak lain yang mungkin bisa membantu dari pada diam membisu seolah -- olah anak - anak adalah batu yang bisa bertahan tanpa sandang, pangan dan papan yang tidak menentu.

Blogger Diary : 15 Maret 2017

Sulassky

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun