Suatu hari dibawah terik matahari yang dalam hitungan jam berganti hujan, saya melakukan pemanasan untuk membuang lemak kaki yang kian hari semakin menjadi. Bersama seorang adek bernama Yuri, kami menyusuri trotoar baru  yang belum sempurna jadi tapi lumayan memberi banyak arti. Bukan hanya bagi kami  yang suka berlari di sore hari tapi juga berarti untuk para pedagang berkaki yang menggelar lapak dengan  banyak variasi.
Kota ini kutinggali sejak 2009, kemudian ku tinggal 2017 dan kembali 2018. Entah kenapa aku selalu nyaman meski banyak mata yang sudah mulai enggan melihatku lalu lalang. Kalimat barusan hanya asumsi hayalan. Faktanya aku hanya pendatang yang tidak dikenal banyak orang. Mungkin karena itu aku terlanjur nyaman karena tidak ku temukan suara -- suara sumbang yang terlalu berterus terang bertanya  dengan kalimat yang sama dan berulang "Kapan".
Ah, sudahlah. Di kota kecil ini hidup jauh terasa lebih hidup. sering kali memberi motivasi untuk terus berkaya untuk menjadi lebih berdaya merubah sesuatu yang membuatku berurai air mata. Sore itu aku bertemu 2 gerombolan anak -- anak dan satu orang anak yang berjalan sendiri.
 Gerombolan pertama  sedang asik tertawa saat kamu melewati mereka dan dengan spontan aku bertanya
"kalian sedang apa" mereka tidak mengenakan baju dan bergelantungan dipegangan jembatan yang menghubungkan dua daratan yang dipisahkan muara
"Sedang mau melompat" jawab salah seorang anak tanpa pernah ku tahu nama panggilannya
"apa tidak mati jika melompat dari sini" spontan saja pertanyaan kasar itu terucap saat ku pastikan kalau jarak jembatan ke permukaan air terlihat sangat jauh dan menakutkan. Mereka hanya tertawa  dan mengulang -- ulang kalimat mati.  Aku merasa kikuk ditertawakan anak -- anak tidak berbaju yang berencana melompat dan tertawa mendengar kalimat kematian. Mungkin karena mereka sudah terbiasa melopat dan tidak terjadi apa -- apa. Makanya mereka tertawa.
Tidak jauh dari lokasi pertama, masih di trotoar jembatan saya bertemu gerombolan ke 2. Kali ini anak -- anak yang meneteng beberapa bungkus kerupuk dibahunya, ada juga kembang gula dan lingkitang. Mereka berlalu dan saya hanya terpaku.
Kami melanjutkan pelarian dan menoba mengobati hati yang sedikit remuk redam dengan memadang jauh ke lautan. Disana ada awan mendung yang menutup penampakan matahari yang akan terbenam beberapa menit lagi . pada akhirnya kami memutuskan untuk beranjak sebelum sempat mengantarnya untuk berpindah ke belahan bumi yang lain. tetesan air langit mulai berjatuhan, disertai angin yang lumayan kencang. ditengah -- tengah perjalanan tidak lama berselang kegaduhan alam berhenti dan kami menemukan spot yang asing karena ada pohon tinggi yang mati. Terlihat unik untuk diabadikan dalam gambar beberapa saat sebelum pulang.
Seorang anak bernyanyi dengan nada sumbang yang coba ku luruskan
"hai kamu, bernyanyilah dengan merdu, supaya disukai orang"