Mohon tunggu...
Sulasmi Kisman
Sulasmi Kisman Mohon Tunggu... Administrasi - Warga Ternate, Maluku Utara

http://sulasmikisman.blogspot.co.id/ email: sulasmi.kisman@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Ketika Perempuan Membaca "Tank Merah Muda"

25 April 2020   12:43 Diperbarui: 25 April 2020   13:11 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menilik Buku Tank Merah Muda

Tank Merah Muda: Cerita-cerita yang Tercecer dari Reformasi merupakan kumpulan cerita pendek yang lahir dari hasil riset dan juga pengalaman pribadi penulis terhadap pelbagai peristiwa yang terjadi pada masa reformasi. Cerita-cerita yang dikisahkan secara apik oleh Raisa Kamila, Armadhany, Ruhaeni Intan, Astuti N. Kilwouw, Amantia Junda dan Margareth Ratih Fernandez ini layak dibaca bagi siapa saja, terutama bagi kita: perempuan.

Perseteruan dan konflik batin yang begitu menggugah rasa tersaji dalam Tank Merah Muda. Pembaca diantarkan menyusuri pergolakan perempuan dalam beberapa tempat yang berbeda dalam kurun waktu yang sama--masa reformasi. Di mana kala itu, perempuan sebagai tokoh utama harus bertarung dengan krisis moneter, konflik karena isu SARA, diskriminasi dan beragam kejadian lainnya. Sangat menyesakkan!

Raisa Kamila, perempuan yang lahir dan besar di Banda Aceh ini mengisahkan Cerita dari Belakang Wihara; Cerita dari Sebelah Masjid Raya dan Cerita dari Cot Panglima. Ketiga cerita sarat terhadap kondisi perempuan di Aceh pada masa peralihan rezim.  

"kau mau perempuan dan bayinya mati di sini?". Aku mendengar tangisan Rahma semakin kencang. Jaka menyerah, lalu menuruti perkataan laki-laki bertopi itu dan bicara kepada Rahma dalam bahasa yang tidak aku mengerti. Rahma hanya mengangguk sambil menahan tangis. (Cerita dari Cot Panglima)

Astuti N. Kilwouw menguraikan kondisi konflik di Maluku Utara dengan sangat manis melalui tiga ceritanya: Obet dan Acang di Bumi Hibualamo, Manuver Sang Tentara dan Menunggu Pulang. Bagian dari cerita merupakan penuturan yang apa adanya tentang kondisi saat dan paska kerusuhan di tanah Halmahera. Ka Toety sapaannya, merangkaikan cerita dengan penuh penghayatan. Semua mengalir merintihkan air mata. Dalam semenjana cerita perempuan jualah yang selalu menanggung derita.

Bahan makanan hampir habis. Tak ada lagi beras. Kopi, teh dan gula kian menipis. Beberapa perempuan dewasa yang masih bertahan di kampung, termasuk Yola, kemudian menginisiasi dapur umum untuk menyuplai kebutuhan pangan warga. Bahan-bahan untuk memasak seperti ubi, pisang, cabe, tomat, jeruk dan sayur-mayur diperoleh dari kebun-kebun warga yang masih ada. (Menunggu Pulang)

Amanatia Junda merangkai cerita Gonjang-ganjing Guminting; Mareni dan D-U-I-T mengisahkan kondisi perekonomian saat kerusuhan Jakarta yang berimbas hingga di Jawa Timur, pembantaian dukun santet hingga pengamatan tentang ragam karakter perempuan yang ikut terlibat dalam pemilihan kepala desa.

Orang-orang Guminting punya kepala desa baru sekarang. Seorang perempuan. Kades perempuan pertama dalam sejarah desa Guminting. Dia bernama Chusniyah. Satu-satunya perempuan yang kini menduduki peringkat pertama dalam forum ras-rasan orang sekampung. (Gonjang-ganjing Guminting)

Gedor-Gedor; Kucing Hitam dan Empal Daging; juga Lewat Pintu Belakang merupakan kisah yang digambarkan oleh Ruhaeni Intan secara gamblang. Perempuan yang menuliskan kisah perempuan Tionghoa yang mengalami ketakutan akibat kerusuhan rasial di beberapa kota yang juga berimbas di Semarang.

"Tadi pagi aku baca koran, roman-romannya kemungkinan besar di Jakarta bakal rusuh kalau situasi begini terus. Ada yang bilang orang-orang kayak kami ini nimbun barang  supaya bisa ambil keuntungan. Aduh, sedih aku nek dengar itu. Jangan sampai di Semarang rusuh." (Lewat pintu belakang)

Armadhany menggambarkan kondisi yang menarik tentang Amarah Ami, Merindu Ibu dan Rahe. Makassar merupakan latar cerita yang disajikan oleh Dhany khususnya tentang Amarah (April Makassar Berdarah) yang merenggut tiga mahasiswa. Adapula cerita tentang perempuan yang harus dinikahkan guna merekatkan politik perkoncoan serta kue krismon yang sarat dengan kenaikan harga sembako pada 1998.

"Ibu selalu mengingatkan bahwa membuat kue adalah latihan keuletan dan kesabaran. Membuat kue adalah perkara ketepatan mengadon bahan, ketelatenan mencetak dan kesabaran memanggang." (Merindu Ibu)

Sementara Margareth Ratih Fernandez mengisahkan kerusuhan-kerusuhan yang bersifat agama dan rasial di beberapa kota di NTT, penggalian kuburan masal di Belu sebagai dampak referendum Timor Timur dan pertemanan anak-anak yang menyelamatkan diri dari kerusuhan Timor Timur dan Ambon. Kesemuanya dikemas dalam cerita Bayang-bayang Seutas Pita, Tank Merah Muda serta cerita Babi dan Ikan.

"Lia mengambil pensil warna merah mudanya lalu memoleskan warna nan manis itu pada gambar tank yang masih polos tanpa warna. Lia membayangkan tank ini serupa kendaraan tempur Ranger Pink, ranger favoritnya dalam Power rangers. Kendaraan super ini kelak akan bersatu dengan kendaraan tempur ranger lainnya untuk membentuk robot penghancur monster.  Tampak kokoh dan kuat, tank berubah menjadi robot super keren untuk melindungi kota dari kejahatan." (Tank Merah Muda)

Membaca Tank Merah Muda, Menguak Memori tahun 1999

Menyusuri setiap cerita Tank Merah Muda spontan mengantarkan saya pada kenangan 1999. Usia saya masih tujuh tahun; akan naik kelas dua sekolah dasar. Kala itu saya pun harus menyaksikan kerusuhan pecah, di tanah kelahiran saya, Ambon Maluku.

Malam pukul 01.00 WIT, tiang listrik berbunyi. Suasana sangat mencekam. Saya merasa sangat khawatir. Degup jantung tak karuan, duduk tak bisa berdiri pun serasa sangat menggelisahkan. Beberapa ratus meter dari rumah terdengar jelas teriakan saling baku serang.

Di sisi lain seruan untuk terus berdoa muncul dari toa masjid yang tak jauh dari rumah. Warga di kompleks rumah kami kebanyakan beragama Islam. Seruan menyarankan agar warga terutama ibu-ibu dan anak-anak untuk berkumpul di masjid. Menggema, terdengar jelas hingga ke dalam rumah.

Beberapa kali saya bertanya kepada mama, "Apakah kita akan lari ke masjid?" Dengan tenang mama menjawab "Tunggu saja!      Kita di rumah saja sambil menunggu papa." Saya ingat betul, saat itu hanya saya, mama dan juga adik laki-laki yang masih 40 hari. Mama duduk di dapur dan saya tak henti-hentinya mengelilingi mama bak orang tawaf.  Sementara Papa, mungkin sedang ikut baku serang.

Kebingungan semakin berkecamuk. Entah apa yang menyulut pertikaian itu. Mama bilang, "Obet akan menyerang acang." Saya semakin bingung. Mengapa saling serang? Padahal kesehariannya kami: obet dan acang hidup dalam kedamaian, saling toleransi. Saya sering menonton latihan menyanyi di rumah teman saya Gladis. Hampir setiap natal saya diberi kado. Begitu pun sebaliknya. Ssetiap perayaan hari raya, saya sering mengajak Gladis untuk ikut menyantap opor ayam dan ketupat di rumah.

Memasuki waktu subuh, suara saling serang semakin mereda. Mungkin waktu shalat menjadi penanda, harus istirahat. Entahlah! Tapi sebenarnya kekhawatiran saya masih memuncak sebab sampai waktu subuh, papa tak kunjung tiba di rumah.

Pukul 07.00 WIT. Dua truk besar dan beberapa tentara berjejeran di jalan depan rumah. Semua warga harus berkumpul di jalan raya. Ibu-ibu, anak-anak dan lansia diserukan untuk segera naik ke truk. Kesemuanya akan di bawa ke asrama Sipur Lima di Rumah Tiga, letaknya tak jauh dari Poka. Kondisi keamanan yang tidak stabil mengharuskan warga untuk dibawa ke tempat pengungsian. Tanpa disadari, pagi itu, momen terakhir di rumah.

Dua minggu berada di tempat pengungsian. Terdengar kabar, hampir semua rumah di kompleks kami telah rata dengan tanah. Tak ada yang bisa diselamatkan, semua hanya tinggal puing kenangan. Mendengar berita rumah yang terbakar membuat mama jatuh pingsan. Bukan hanya tentang itu, kami juga kehilangan komunikasi dengan papa. Belum lagi kondisi di pengungsian yang cukup memperihatinkan. Stok pangan terbatas, hampir seminggu hanya bertahan dengan mie instan. Pengungsi di asrama Sipur Lima membludak.

Selang dua hari dari tersiarnya kebakaran itu, kami bertemu dengan papa di tempat  pengungsian.  Sebelumnya ada kabar simpang-siur, bahwa papa telah tiada. mama terpukul tak berdaya. Saya bisa merasakan bagaimana kondisi mama di masa itu. Sakit selepas melahirkan belum usai sudah ditimpali dengan berita yang menyedihkan.

Beberapa hari di tempat pengungsian, mama berusaha memulihkan diri. Mama dan papa mencoba bangkit. Anak-anak menjadi penyemangat bagi mereka. Saya mendengar kesepakatan bahwa kami akan pergi ke Ternate. Papa memang dibesarkan di Ternate. Ambon merupakan kota rantauan. Begitupun mama yang berasal dari pulau Jawa.

Mengungsi ke Ternate sembari mencoba mencari peruntungan, mengais rejeki dan berusaha untuk bangkit lagi. Tekad untuk pergi satu cara menelan dalam-dalam keterpurukan. Sejumput harapan didaraskan, semoga di Ternate masih ada keluarga yang bersedia menampung.

KM. Lambelu menjadi penghantar. Tentu bukan hanya kami, hampir semua pengungsi yang ada di kota Ambon kala itu ingin segera angkat kaki. Di pelabuhan manusia membludak. Semua berdesak-desakan, merebut naik ke gelanggang kapal. Bahkan tak sedikit yang nekat, menggunakan tali. Semuanya tentu ingin mencari tempat baru untuk memulihkan kondisi. Tak hanya ekonomi juga psikologi, yang ambruk karena konflik yang meluluh-lantahkan.

Perempuan dan Sejumput Rasa yang Tertinggal  

Menuntaskan pembacaan atas Tank Merah Muda secara tidak langsung menyisakan sejumput rasa. Salah satunya meningkatkan empati pada sesama perempuan. Bahwa ternyata masih banyak permasalahan yang dihadapi perempuan mulai dari ranah privat sampai publik. Sebagai perempuan seharusnya kita saling menguatkan.

Tank Merah muda juga meningkatkan kepercayaan diri perempuan untuk menulis dengan apa adanya. Banyak sekali pengalaman perempuan yang menarik untuk diceritakan. Tentunya cerita yang tertuang dalam tulisan akan menjadi bahan pembelajaran bersama dan dapat menginspirasi sesama perempuan.

Tak berbeda dengan masa pandemi, setiap cerita di dalam Tank Merah Muda menyadarkan bahwa virus-virus konflik, kekerasan, diskriminasi ras dan agama harus dientaskan. Hidup dalam kesetaraan adalah sebuah keniscahyaan. Perdamaian harus selalu menyala di setiap relung kehidupan. Kita harus saling toleransi dan menghargai agar kebahagian selalu terpatri dalam diri.

Sebagai perempuan, catatan sederhana ini merupakan apresiasi kepada para penulis Tank Merah Muda: Cerita-cerita yang Tercecer dari Reformasi. Dari tank merah muda, pembaca khususnya perempuan menjadi tergugah. Dengan membaca ini kami (perempuan) memahami bahwa masih banyak cerita-cerita yang tercecer yang seharusnya dipungut oleh perempuan dengan penanya. Sehingga kita dapat hidup abadi dengan tulisan-tulisan dari tangan kita sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun