Armadhany menggambarkan kondisi yang menarik tentang Amarah Ami, Merindu Ibu dan Rahe. Makassar merupakan latar cerita yang disajikan oleh Dhany khususnya tentang Amarah (April Makassar Berdarah) yang merenggut tiga mahasiswa. Adapula cerita tentang perempuan yang harus dinikahkan guna merekatkan politik perkoncoan serta kue krismon yang sarat dengan kenaikan harga sembako pada 1998.
"Ibu selalu mengingatkan bahwa membuat kue adalah latihan keuletan dan kesabaran. Membuat kue adalah perkara ketepatan mengadon bahan, ketelatenan mencetak dan kesabaran memanggang." (Merindu Ibu)
Sementara Margareth Ratih Fernandez mengisahkan kerusuhan-kerusuhan yang bersifat agama dan rasial di beberapa kota di NTT, penggalian kuburan masal di Belu sebagai dampak referendum Timor Timur dan pertemanan anak-anak yang menyelamatkan diri dari kerusuhan Timor Timur dan Ambon. Kesemuanya dikemas dalam cerita Bayang-bayang Seutas Pita, Tank Merah Muda serta cerita Babi dan Ikan.
"Lia mengambil pensil warna merah mudanya lalu memoleskan warna nan manis itu pada gambar tank yang masih polos tanpa warna. Lia membayangkan tank ini serupa kendaraan tempur Ranger Pink, ranger favoritnya dalam Power rangers. Kendaraan super ini kelak akan bersatu dengan kendaraan tempur ranger lainnya untuk membentuk robot penghancur monster. Â Tampak kokoh dan kuat, tank berubah menjadi robot super keren untuk melindungi kota dari kejahatan." (Tank Merah Muda)
Membaca Tank Merah Muda, Menguak Memori tahun 1999
Menyusuri setiap cerita Tank Merah Muda spontan mengantarkan saya pada kenangan 1999. Usia saya masih tujuh tahun; akan naik kelas dua sekolah dasar. Kala itu saya pun harus menyaksikan kerusuhan pecah, di tanah kelahiran saya, Ambon Maluku.
Malam pukul 01.00 WIT, tiang listrik berbunyi. Suasana sangat mencekam. Saya merasa sangat khawatir. Degup jantung tak karuan, duduk tak bisa berdiri pun serasa sangat menggelisahkan. Beberapa ratus meter dari rumah terdengar jelas teriakan saling baku serang.
Di sisi lain seruan untuk terus berdoa muncul dari toa masjid yang tak jauh dari rumah. Warga di kompleks rumah kami kebanyakan beragama Islam. Seruan menyarankan agar warga terutama ibu-ibu dan anak-anak untuk berkumpul di masjid. Menggema, terdengar jelas hingga ke dalam rumah.
Beberapa kali saya bertanya kepada mama, "Apakah kita akan lari ke masjid?" Dengan tenang mama menjawab "Tunggu saja! Â Â Â Kita di rumah saja sambil menunggu papa." Saya ingat betul, saat itu hanya saya, mama dan juga adik laki-laki yang masih 40 hari. Mama duduk di dapur dan saya tak henti-hentinya mengelilingi mama bak orang tawaf. Â Sementara Papa, mungkin sedang ikut baku serang.
Kebingungan semakin berkecamuk. Entah apa yang menyulut pertikaian itu. Mama bilang, "Obet akan menyerang acang." Saya semakin bingung. Mengapa saling serang? Padahal kesehariannya kami: obet dan acang hidup dalam kedamaian, saling toleransi. Saya sering menonton latihan menyanyi di rumah teman saya Gladis. Hampir setiap natal saya diberi kado. Begitu pun sebaliknya. Ssetiap perayaan hari raya, saya sering mengajak Gladis untuk ikut menyantap opor ayam dan ketupat di rumah.
Memasuki waktu subuh, suara saling serang semakin mereda. Mungkin waktu shalat menjadi penanda, harus istirahat. Entahlah! Tapi sebenarnya kekhawatiran saya masih memuncak sebab sampai waktu subuh, papa tak kunjung tiba di rumah.