Deforestasi, atau penggundulan hutan, merupakan masalah besar di Indonesia yang menyebabkan degradasi lahan yang cukup signifikan.
Indonesia memiliki hutan primer seluas 93.8 juta hektar pada tahun 2001, tersebar pada 50% luas daratan yang ada. Namun antara tahun 2002 dan 2022, wilayah ini kehilangan 2.85 juta hektar tutupan lahan, dan sebaran tutupan lahannya menurun sebanyak 18%.
Meskipun telah berhasil mengurangi deforestasi secara signifikan sebesar 64% pada tahun 2020 hingga 2022 (dibandingkan dengan rata-rata tahun 2015-2017)--jauh lebih banyak ketimbang negara lain--Indonesia masih bergelut dengan problematika berkurangnya hutan primer.
Daerah yang terdampak mayoritas dihuni oleh masyarakat adat, yang telah kehilangan mata pencaharian tradisional, hak atas hutan, sumber pangan, dan air mereka.
Di Desa Ensaid Panjang, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, , misalnya, masyarakatnya masih melakukan aktivitas pertanian, dan mengambil hasil hutan untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari; serta mengandalkan komoditas karet dan kelapa sawit sebagai sumber pendapatan utama.
Hutan yang terletak di APL (Area Penggunaan Lain), seperti hutan Tawang Serimbak, yang berada di bawah yuridiksi pemerintah kabupaten, menghadapi risiko kehilangan tutupan yang sering kali dibalut dengan kedok pemenuhan kebutuhan pembangunan sektor non-kehutanan.
Untung saja tidak semuanya hilang karena wanatani secara bertahap membantu masyarakat Dayak mendapatkan kembali hak atas hutan dan sumber pangan mereka.
Di Desa Ensaid Panjang, langkah tegas menuju keberlanjutan dan kelestarian telah diambil, seperti yang dicontohkan oleh proyek Hutan Kalimantan (Kalimantan Forest atau Kalfor) Tahap II, yang difasilitasi oleh Solidaridad selama tiga tahun (2020-2023) dengan menggandeng Gerakan Credit Union Keling Kumang (GCUKK) sebagai mitra kolaboratif sekaligus pelaksana lapangan.
Proyek ini mengikuti visi "triple bottom line", yang merangkum integrasi kelayakan ekonomi, tanggung jawab sosial, dan kelestarian lingkungan.
Secara khusus, hutan Tawang Serimbak di desa tersebut kini berdiri sebagai lambang praktik pertanian dan kehutanan berkelanjutan yang dikembangkan oleh warga setempat.
Dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa, terdapat 49 spesies tanaman obat yang telah teridentifikasi, Tawang Serimbak menyandang status proyek perhutanan sosial bersertifikat, yang mencakup lahan hutan seluas 34 hektar.
Di sini, masyarakat Dayak D'esa telah menerapkan berbagai sistem pemanfaatan lahan hutan yang menunjukkan pendekatan multijalur dalam pengelolaannya.
Selain itu, Solidaridad juga menerapkan pendekatan yang bertujuan untuk mengendalikan siklus kemiskinan ekologis akibat praktik monokultura yang menggunakan bahan kimia secara intensif, sehingga menyebabkan deforestasi dan degradasi lahan lebih lanjut.
Tujuan utamanya adalah untuk memperkuat perencanaan pengelolaan hutan, dan menjaga hutan sekaligus melestarikan jasa ekosistem dan keanekaragaman hayati yang bernilai tinggi.
Di Desa Ensaid Panjang sendiri, Solidaridad telah menerapkan proses terstruktur yang mencakup komponen-komponen penting seperti pelatihan pemetaan lahan, wanatani, aspek teknis, pendidikan ekowisata, pengenalan tanaman pewarna alami, dan penguatan tata kelola kelembagaan dalam komunitas pengelola hutan.
Dua intervensi besar telah dilakukan di kalangan masyarakat:
- Memfasilitasi dan memperkuat pembangunan desa di Ensaid Panjang untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Hal ini meliputi pengembangan organisasi, peningkatan kapasitas pengelolaan hutan lestari, pengembangan peraturan daerah di tingkat desa atau kabupaten, pengembangan kader atau tokoh lokal, dan promosi usaha lokal (misalnya, produk tenun, ekowisata, dll).
- Membangun kondisi kondusif di dua desa tambahan yaitu Desa Bangun dan Sungai Buluh untuk mendorong keberhasilan pembangunan desa dan pengelolaan hutan lestari. Hal ini termasuk menerapkan inisiatif yang ditargetkan untuk meningkatkan struktur organisasi, membangun kapasitas, dan mendorong pengembangan usaha lokal, memastikan pendekatan holistik terhadap praktik berkelanjutan di komunitas tersebut.
Proyek ini telah memberikan hasil positif bagi 192 keluarga di desa tersebut, yang dibuktikan dengan peningkatan produktivitas pertanian dan hutan, pendapatan tambahan yang dihasilkan dari usaha pariwisata dan kerajinan tangan, serta pengelolaan sumber daya alam yang lebih berkelanjutan. Sorotan lainnya meliputi:
- Penandatanganan dokumen PADIATAPA (Free Prior Informed Consent atau FPIC), atau persetujuan di awal tanpa paksaan, oleh warga dari tiga desa;
- Pembentukan kelompok pengelola hutan (KPH) tingkat desa, bertujuan untuk memperkuat struktur pemerintahan lokal demi pengelolaan hutan yang efektif. Ditambah lagi, pelatihan tata ruang (hutan) untuk pemerintah desa dan KPH tingkat desa;
- Pelatihan literasi keuangan untuk 46 warga desa, bertujuan untuk memberikan dukungan kepada mereka dengan membekali ketrampilan esensial berupa pengelolaan keuangan;
- Sesi pelatihan diversifikasi produk tenun bagi 20 perempuan penenun dan 36 remaja, yang mengarah pada regenerasi ketrampilan menenun pada masyarakat dan menumbuhkan kemahiran membuat berbagai produk turunan seperti sampul buku, dompet, masker non-medis, gantungan kunci, tas jinjing, dll;
- Sesi pelatihan mengenai ekowisata untuk KPH tingkat desa dan pemerintah Desa Ensaid Panjang, bertujuan untuk mendorong keberlangsungan penerapan praktik kelestarian dan berkelanjutan di wilayah tersebut.
Berfokus pada pemberdayaan penenun tradisional, kegiatan ini menghidupkan kembali seni tenun ikat dengan menggunakan pewarna alami yang bersumber dari hutan Tawang Serimbak.
"Saya bersyukur dan senang sekali bisa menerapkan ilmu yang saya peroleh dari pelatihan diversifikasi produk (dari Solidaridad). Pelatihan tersebut benar-benar memperluas wawasan saya, dan memotivasi saya untuk menghasilkan produk yang lebih baik dan lebih kreatif," kata Lidwina Rema, seorang penenun tradisional dari Ensaid Panjang yang kini menjajaki lebih banyak cara dan jenis produk untuk memenuhi minat wisatawan.
Ada juga elemen ekologis dalam hal ini. Sumber pewarna alami yang dipakai untuk tenun ikat di Ensaid Panjang bergantung pada aktivitas para peramban yang mengumpulkan berbagai jenis daun dari hutan.
Untuk Tawang Serimbak, daun engkerbang dan tarum diramban dan dikumpulkan dari hutan untuk kemudian dibawa kembali ke Rumah Betang di desa, untuk diolah oleh para perempuan menjadi bahan pewarna alami yang digunakan untuk produk tekstil.
Sembai, warga Desa Ensaid Panjang yang sehari-hari meramban di hutan mengatakan, "Hutan itu ibarat supermarket alam. Apa pun yang kami perlukan--makanan, obat-obatan, bahkan bahan baku untuk membangun rumah atau membuat perabot--tersedia semua. Kita bisa memanfaatkan sumber daya hutan secara bijak dan lestari. Dan sangat penting untuk tetap menjaga agar hutan dalam keadaan baik."
Ke depannya, kegiatan wanatani yang dijalankan diupayakan untuk membangun model ekowisata berkelanjutan, khususnya di kawasan hutan Tawang Serimbak yang subur dan hijau.
Namun, meski sudah teridentifikasi ada 140 titik potensi wisata di Kabupaten Sintang, masih perlu dilakukan sosialisasi dan komunikasi kepada warga setempat sebelum melaksanakan upaya ekowisata.
Oleh karenanya, pelatihan dan diskusi telah dilaksanakan untuk memfasilitasi hal-hal berikut:
- Persiapan kebijakan dan perangkat kelembagaan: Peserta berencana untuk membentuk badan pengelola, diawasi oleh kepala desa dan lembaga adat. Tujuannya untuk mengawasi musyawarah pengelolaan hutan, pengambilan keputusan, penetapan peraturan, dan menentukan peran anggota.
- Identifikasi atraksi budaya dan wisata: Mulai dari tenun ikat, tarian dan ritual tradisional, perayaan dan festival, hingga kegiatan seperti berkemah, wisata air terjun dan hutan, wisata jelajah, serta banyak lagi lainnya.
- Perumusan paket atau usaha pariwisata: Hal in bertujuan untuk menggabungkan pengalaman mendalam dan partisipatif seperti lokakarya tenun dan wisata kuliner.
- Penggabungan model permakultura: Model ini akan menjadi inti dari pendekatan ekowisata. Mempromosikan praktik pertanian organik dan terpadu di kalangan penduduk desa, sekaligus memastikan pariwisata berkelanjutan yang mengusung prinsip kelestarian alam dan lingkungan.
"Langkah yang kami lakukan di Desa Ensaid Panjang telah menunjukkan komitmen kami dalam menciptakan lingkungan di mana pertumbuhan ekonomi, tanggung jawab sosial, dan kelestarian lingkungan hidup berdampingan secara harmonis," kata Billy M Hasbi, Head of Programme Operations dari Solidaridad Indonesia.
Berkaca pada perjalanan sejauh ini, ia menambahkan, "Keberhasilan ini merupakan bukti kekuatan kolaborasi, pengetahuantradisional, dan invoasi. Kami tetap berkomitmen untuk melanjutkan upaya ini, memperkuat ketahanan masyarakat terhadap perubahan iklim, dan menjaga hutan Tawang Serimbak sebagai warisan hidup yang berharga."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H