Meskipun pabrik-pabrik besar masih memerlukan tambahan tandan buah dalam jumlah besar untuk memenuhi kapasitas maksimal produksi mereka yang tidak bisa tertutupi dari hasil kebun inti dan plasma saja, petani sawit mandiri tidak memiliki akses langsung untuk menjual hasil panen mereka ke pabrik secara perorangan.Â
Hal ini disebabkan karena pihak pabrik memiliki syarat bahwa penjualan hanya bisa dilakukan melalui pihak-pihak yang sudah memiliki kesepakatan kerjasama dengan mereka.Â
Pihak-pihak ini adalah para tengkulak yang bernaung di bawah CV atau PT. Para perantara inilah yang bertugas untuk mencari tambahan tandan buah segar guna memenuhi kebutuhan produksi pabrik. Tandan-tandan tambahan ini biasanya didapatkan dari para petani mandiri. Akses penjualan yang mereka miliki menjadi senjata utama untuk mempermainkan harga terhadap para petani mandiri.Â
Salah seorang petani yang saya temui mengatakan bahwa dia dan banyak petani lain di desanya terpaksa setuju dengan harga yang ditentukan oleh tengkulak karena tidak ada pilihan lain, "Daripada buah yang sudah dipanen dibiarkan berhari-hari di tepi jalan sampai membusuk, kak.... Lebih baik kami jual saja sebisanya."Â
Biasanya memang pihak tengkulak ini akan mengurus pengangkutan tandan-tandan buah milik para petani ini. Jadi, petani tak perlu menyewa truk untuk mengantar tandan buah mereka ke pabrik.Â
"Kami tidak punya truk pengangkut juga, jadi agak sulit untuk urusan transportasi. Bukan hanya soal tidak bisa masuk langsung ke pabrik, tapi mengangkut dari tepi kebun ke pabrik pun kami kesulitan. Sewa truk angkut cukup tinggi. Jadi harga dari tengkulak itu sudah dipotong biaya transportasi lah istilahnya." Padahal setiap sore, sekira pk. 17.30 WIB, pemerintah selalu mengumumkan harga standar sawit, sebab beberapa tahun yang lalu saya sempat bertugas untuk memantau dan mencatat harga standar sawit harian dari pemerintah untuk sebuah majalah agrobisnis. Tapi cukup banyak petani yang tidak tahu berapa harga harian yang ditentukan oleh pemerintah. Dan jika pun mereka tahu, alasan potongan biaya transportasi itu selalu jadi alasan jitu yang membuat mereka tak berkutik. Â
Apa yang dilakukan oleh staff lapangan Solidaridad adalah membagi pengetahuan tentang praktik pertanian sawit yang tepat dan berorientasi pada lingkungan. Karena jika melihat realitanya di lapangan , para petani ini bukan tidak paham sama sekali tentang budidaya dan perawatan tanaman kelapa sawit, mereka hanya belum mendapatkan pengetahuan yang tepat saja. Penekanan pada metode tanam ideal, cara pemupukan yang tepat, dosis dan penggunaan jenis pupuk yang sesuai, serta memberikan alternatif pembuatan pupuk organik agar bisa memangkas biaya serta mengurangi kerusakan pada lingkungan, terus dilakukan.Â
Para petani mandiri yang mengikuti kegiatan Sekolah Lapang pun menyadari bahwa selama ini mereka ternyata terlambat mendapatkan pengetahuan tentang budidaya tanaman kelapa sawit yang tepat. Tak heran jika hasilnya kurang optimal dan kurang bisa bersaing dengan para petani plasma.
Bupati Sintang pernah mengatakan kepada kami, di kabupatennya tidak ada lagi yang boleh membuka lahan baru untuk dijadikan perkebunan sawit.Â
Tidak diberi izin oleh beliau, karena luasan lahan sawit yang ada sudah melewati batas yang semula ditetapkan. Dalam rencana awalnya di tahun delapanpuluhan, Kalimantan Barat hanya akan memiliki 1.5 juta hektar saja, namun pada kenyataannya sekarang sudah mencapai 4-5 juta hektar. Semua kebun sawit harus memanfaatkan lahan-lahan yang sudah ada dan tidak dipakai lagi, seperti lahan milik perusahaan pengolahan kayu. Ketika pohon-pohon kayu sudah habis ditebang selama beberapa tahun, lahan-lahan itu tidak digunakan lagi.Â
Maka pemerintah kabupaten mengizinkan para petani mandiri menggunakan lahan-lahan tersebut untuk ditanami kelapa sawit. Selain itu juga ada lahan-lahan eks PETI (Penambangan Emas Tanpa Izin) yang direkomendasikan untuk digunakan sebagai lahan tanam kelapa sawit. Praktik tebas-bakar pun dilarang, dan tanah bekas lahan sawit yang sudah selesai "masa tugasnya" harus diistirahatkan dan dirawat terlebih dahulu selama lima tahun agar unsur-unsur mineral penting dalam tanahnya kembali lagi.