Andai sang wali itu menjadi model iklan kesucian.
Hanya kupandangi tanpa rasa kagum;
Hanya kupelototi tanpa ingin mencerminkannya.
Dan, tak kubolak-balik meskipun Engkau menyuruh meneladaninya.
Tidak senasib figura yang memampang gambar wanita seksi di dalam kamar.
Kemolekan tubuhnya. Kecantikan rupanya. Dan, Kegairahan lekuknya.
Menyihirku dalam pandangan hedonistik.
Histeria pertemuan fisik adalah soal biasa.
Tapi engkau, ya, Maha suci, kala lukisan-Mu dijual ribuan uang duniawi.
Kala itu pula bentuk kesucianmu menjadi tak berarti.
Tak disentuh.
Tak tersentuh gerak jasadku.
Bahkan, tak mendorongku mensucikan diri,
dari angkuh dan serakah.
***
Dunia membelengguku hingga figura suci yang mengabstrak
tenggelam di dalam “ramai-riuh” spontanitas yang profan.
Kini, figura suci sealam jagat itu penuh sarang laba-laba.
Tak ada yang menyentuhnya.
Mengelusnya.
Atau sekadar menyapunya jadi debu dedakian.
Kini, figura suci-Mu ramai dijual.
Sepi pengunjung yang sadar
bahwa dibalik kesucian-Mu,
ada bertumpuk kearifan hidup.
Ijinkanlah, Tuhan, kusentuh dan kuraba kesucian figura
yang Engkau cipta itu?
Tapi, sebelum itu, mohon diterima pengaduanku.
20 tahun lamanya figura-Mu itu
telah kucampakkan dari Titik-Mu
yang sejatinya pancarkan cahaya pencerahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H