Jika kita pernah mengalami hidup pada era tahun 1998, mungkin kita tidak lupa pada peristiwa yang bersejarah bagi bangsa ini, yaitu detik-detik terakhir pengunduran diri Pak Harto sebagai Presiden Republik Indonesia yang disiarkan secara langsung oleh berbagai media Televisi. Saya sendiri hampir tidak percaya, sebab sejak saya lahir hingga saya dewasa, setahu saya yang pantas menjadi Presiden Republik Indonesia itu ya cuma Pak Karno dan Pak Harto. Maka akan terasa aneh jika yang menjadi Presiden Republik Indonesia itu adalah orang lain.
Lalu, tiba-tiba saya teringat akan penuturan salah seorang Guru Pendidikan Sejarah jaman SMA saya dulu, bahwa “Suatu saat jaman bisa saja berubah. Kadang orang yang pernah berkuasa, bisa jadi nanti akan menjadi rakyat jelata seperti kita. Contohnya saja dulu Bung Karno. Nah, untuk Pak Harto, kita lihat saja nanti, biar jaman yang membolak-balik-kan keadaan,” katanya. Bagi saya, ungkapan seorang Guru yang dulu saya anggap mustahil ini, kenyataannya telah terbukti kebenarannya pada hari Kamis tanggal 21 Mei 1998 sekitar jam 09.00 WIB.
Pagi itu, saya masih tidur pulas ketika seorang tetangga menggedor-gedor pintu kamar kontrakan dengan keras. “Mas…mas…banguuuunnnn…Pak Harto mundur tuh..!” Saya langsung membuka pintu dengan menahan sedikit rasa keliyengan di kepala. Maklum, masih kurang tidur setelah mendampingi seorang teman Photographer jurnalistik berkeliling Jakarta sampai dini hari. Perlahan, kunyalakan TV sambil rebahan.
Terlihat di layar TV, suasana dalam ruangan istana negara itu tampak hening dan sangat menegangkan. Tidak lama kemudian, Pak Harto mendekati microphone dan membacakan pidatonya. Begini kutipan pidatonya : “ Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Sejak beberapa waktu terakhir, (ehmm) saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut, dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi tersebut perlu dilaksanakan secara tertib, damai, dan konstitusional demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional, saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi, dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan ke VII.
Namun demikian, kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan Komite tersebut (ehmm). Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara yang sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.
(Ehmm) Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan pasal 8 Undang-undang Dasar 1945, dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan (ehmmm) untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini, pada hari ini, Kamis, 21 Mei 1998.
Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia, saya sampaikan di hadapan saudara-saudara pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang juga adalah pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat pagi ini pada kesempatan silaturahmi. Sesuai dengan pasal 8 Undang-undang Dasar 1945, maka Wakil Presiden Republik Indonesia Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden / Mandataris MPR 1998-2003.
Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya memimpin Negara dan Bangsa Indonesia ini, saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangan-kekurangannya, semoga Bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan Undang Dasar “45-nya. Mulai hari ini pula, Kabinet Pembangunan VII demisioner, dan pada para Menteri saya ucapkan terima kasih.
Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pengucapan sumpah di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat, maka untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya saudara Wakil Presiden sekarang juga agar melaksanakan pengucapan sumpah jabatan Presiden di hadapan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Berdasarkan uraian peristiwa di atas, ada 4 hal yang menjadi pokok perhatian bagi saya. Yang pertama adalah 4x dehem-nya Pak Harto sewaktu membaca teks pidato pengunduran dirinya. Mungkin sebagian dari kita pernah mendengar cerita bahwa betapa berartinya aksi dehem-nya Pak Harto pada saat berkuasa dulu. Pada saat Beliau hendak memimpin sidang kabinet di istana, semua menteri akan langsung diam ketika mendengar Pak Harto ber-dehem. Yang artinya “Bapak akan segera bicara.” Dan juga ketika salah seorang ketua Parpol mengutarakan keinginannya untuk menjadi Wapres-nya, Pak Harto cukup menjawab dengan “dehem” yang artinya menolak secara halus atau pertanda kurang setuju terhadap keinginan tersebut. Selanjutnya, ketika Pak Harto manggut-manggut mendengarkan laporan dari salah seorang ketua Golkar perihal hasil pemilu yang dimenangkan oleh Golkar dengan prosentasi kemenangan telak yaitu sekitar 70 persen suara, maka Pak Harto cukup ber-dehem untuk mengungkapkan rasa puasnya. Jadi, sangat berbeda dengan “dehem” nya Pak Harto ketika membacakan pidato pengunduran dirinya yang tidak memiliki makna apa-apa atau hanya menandakan bahwa “mungkin saja tenggorokan Pak Harto saat itu sedang kering dan gatal-gatal saja.”
Yang kedua adalah sikap profesionalitas dan keberanian Pak Habibie yang bersedia diambil sumpahnya oleh para pejabat Mahkamah Agung untuk menjadi Presiden Republik Indonesia menggantikan Pak Harto yang telah diakui sebagai guru politiknya. Lalu, apa jadinya jika waktu itu Pak Habibie juga ikut mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia karena merasa tidak sanggup menggantikan Pak Harto atau merasa tidak enak hati kepada Beliau yang dihormati.
Bisa saja Pak Habibie tidak bersedia menjadi Presiden Republik Indonesia waktu itu karena alasan pribadi, bukan? Tentu saja, dalam kondisi yang demikian menurut Undang-undang yang melaksanakan tugas-tugas Presiden dan Wakil Presiden jika berhalangan tetap adalah Triumvirat yang terdiri dari Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan dan Keamanan. Tapi apakah rakyat Indonesia mau percaya jika negara ini dipimpin oleh pajabat Triumvirat yang diemban oleh para menterinya?
Yang ke tiga adalah sikap Jenderal Wiranto selaku Panglima ABRI waktu itu yang menjamin keamanan dan keselamatan bagi mantan Presiden beserta keluarganya yang disampaikan waktu itu juga. Bayangkan, jika ABRI tidak menjamin keamanan dan keselamatan bagi mantan Presiden yang telah mengundurkan diri dari jabatannya, bisa jadi Pak Harto dan Keluarganya merasa tidak aman hidup di Indonesia. Tentu hal ini tidak mungkin terjadi di Indonesia. Seumpamanya saja hal ini tidak diamanatkan oleh Undang-undang di negeri ini, ABRI pasti akan mengerti dan akan selalu setia sampai mati, sebab Pak Harto dan Keluarga adalah bagian dari Keluarga Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Yang ke empat adalah ekspresi wajah Mbak Tutut. Kita semua tahu bahwa saat itu Mbak Tutut juga berada dalam satu ruangan dalam peristiwa pengunduran diri Pak Harto yang sangat bersejarah ini. Namun bedanya, Mbak Tutut yang biasanya tampil di depan publik dengan wajah sumringah dan senyum manis yang lepas, kala itu beliau gagal menampilkan wajah yang sumringah dan senyum manisnya yang lepas sebagai ciri khas-nya. Akhir kata, selamat jatuh orde baru yang ke 18 tahun dan sugeng lengser keprabon (Alm) Pak Harto yang tercinta. Piye kabare? Isih kepenak jamanku to?
Data referensi : www.youtube.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H