Wawasan Utama
- Freud dan Jung memelopori pendekatan psikoanalitik untuk memahami mimpi, dengan fokus pada alam bawah sadar.
- Kemajuan teknologi membuat para peneliti menjauhkan diri dari interpretasi psikoanalitik.
- Penelitian kontemporer telah menghidupkan kembali minat terhadap teori-teori awal, memvalidasi relevansi klinisnya.
Mimpi sering kali digunakan secara metaforis untuk mengungkapkan aspirasi: "Dalam mimpimu", "Bermimpilah", "Mimpi yang menjadi kenyataan". Namun, mimpi juga berfungsi sebagai saluran untuk mewujudkan cita-cita kita.
Inspirasi Sejarah dari Mimpi
Mary Shelley mengaitkan ide novelnya "Frankenstein" dengan mimpinya saat berusia 18 tahun. Paul McCartney mengklaim melodi untuk "Yesterday" The Beatles datang kepadanya dalam mimpi. Mimpi juga menginspirasi para ilmuwan dan atlet. Otto Loewi, seorang ahli farmakologi, mengkonsep eksperimen dalam mimpi yang mengarah pada penemuan asetilkolin, suatu neurotransmitter yang mendorong mimpi. Matematikawan India Srinivasa Ramanujan memuji terobosannya, termasuk rumus baru untuk menghitung Pi, atas mimpinya. Pegolf Jack Nicklaus sering berbicara tentang menerima "pelajaran" dalam mimpinya yang meningkatkan permainannya.
Freud dan Jung: Pelopor Teori Mimpi
Sigmund Freud menghubungkan mimpi dengan alam bawah sadar, menyatakan bahwa mimpi mengungkapkan keinginan dan konflik yang tertekan, sering kali berakar pada masa kanak-kanak dan perkembangan psikoseksual. Carl Jung, meskipun dipengaruhi oleh Freud, menawarkan perspektif berbeda, memandang mimpi sebagai jalan menuju pertumbuhan pribadi. Jung memperkenalkan konsep ketidaksadaran kolektif, yang merupakan kumpulan simbol universal dan kenangan leluhur yang dimiliki bersama seluruh umat manusia.
Pergeseran dari Psikoanalisis
Teori Freud dan Jung, meskipun berpengaruh, didasarkan pada interpretasi kualitatif observasi klinis. Dengan kemajuan teknologi seperti electroencephalography (EEG) dan polysomnography (PSG), peneliti seperti Rosalind Cartwright membawa penelitian impian ke arah yang baru. Penelitian Cartwright, termasuk penelitian yang melibatkan wanita yang sedang mengalami perceraian, menunjukkan bahwa mimpi mencerminkan proses otak dalam menangkap emosi dan informasi dalam kehidupan nyata, sehingga menantang gagasan tentang motivasi tersembunyi.
Allan Hobson menjauhkan penelitian mimpi dari psikoanalisis. Hipotesis aktivasi-sintesisnya menyatakan bahwa mimpi adalah produk sampingan yang tidak ada artinya dari aktivitas saraf selama tidur. Namun, pandangan ini gagal menjelaskan sifat mendalam dan terkadang bersifat prediktif dari mimpi yang dialami oleh banyak individu.
Kebangkitan Kontemporer
Peneliti modern mengintegrasikan pandangan psikoanalitik klasik dengan metodologi kontemporer. Mark Solms, tokoh terkemuka dalam integrasi ini, berpendapat bahwa teori Freud mengantisipasi banyak temuan dalam ilmu saraf. Kelly Bulkeley menggabungkan perspektif Jung dengan potensi kecerdasan buatan untuk menganalisis kumpulan data mimpi yang besar, mengungkap pola budaya dan sosial. Dia menekankan model hibrida kolaborasi manusia dan AI untuk interpretasi mimpi.
Psikolog Deirdre Barrett mengeksplorasi mimpi sebagai alat pemecahan masalah melalui inkubasi mimpi, di mana peserta fokus pada masalah tertentu sebelum tidur dan mencatat mimpi terkait. Studinya menunjukkan bahwa mimpi memang bisa memberikan solusi.
Kesimpulan
Studi tentang mimpi, seperti halnya alam bawah sadar itu sendiri, sangatlah luas dan kompleks. Dengan meninjau kembali teori-teori dasar dan mengintegrasikannya dengan penelitian modern, kita dapat terus mengungkap wawasan baru tentang dunia mimpi yang penuh teka-teki.
***
Solo, Rabu, 10 Juli 2024. 9:29 pm
Suko Waspodo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H