"Dia masih muda, kan?"Â
Pertanyaan itu membuat Herman memalingkan pandangannya dari si kasir dan menatap lurus. Si mata hitam itu lagi-lagi ada dihadapannya.Â
"Halo Herman, bagaimana kabarmu?"Â
Herman terdiam, tak ada jawaban yang terpikirkan untuk menjawab pertanyaan dari sosok dihadapannya.Â
"Meskipun jumlah nafasmu terus berkurang, setidaknya nafas itu akan terus ada dalam waktu lama. Senang dapat melihatmu baik-baik saja, kamu benar-benar membuatku rindu,"Â
"Bagaimana makhluk sepertimu merasakan rindu?" tanya Herman, namun pertanyaan tersebut tidak sampai terucap dan hanya bertengger dalam pikiran.Â
"Jangan salah sangka, Herman. Bertugas di dunia manusia ini membuat aku belajar tentang perasaan. Setiap hari ketika aku naik ke atas (telunjuk sosok bermata kelam itu menunjuk ke atas) aku harus dengan terpaksa melepaskan perasaan emosi manusia dan harus tega melihat dedaunan usia berjatuhan. Aku harus tega, meskipun itu daun terakhir yang akan jatuh."Â
Herman hanya terdiam memandang kelamnya mata sosok dihadapannya.Â
"Kenapa kamu jadi pendiam begini? Benar-benar tidak mengasyikkan," keluh si mata hitam itu.Â
Herman tetap diam tak berminat bicara.Â
"Ah! Iya, aku baru ingat, kamu memang pendiam. Baiklah, seperti biasa aku akan bicara sementara kamu hanya akan bicara jika merasa tidak terima atas ucapanku."