“Kurasa di sini ada hantu,” kataku pelan, memecah lamunan istriku. Ia memandangiku dengan tatapan yang luar biasa heran—dan entah kenapa, aku juga merasakan sedikit rasa iba di sana.
Akhir September 2014, atau mungkin Agustus, kami kelaparan seusai menonton konser di Garuda Wisnu Kencana dan tak punya pilihan selain makan di Burger Queen.
Kami duduk di meja dekat kasir, berhadapan dengan TV 32 inci yang sedang menayangkan film Transformer.
Istriku memesan burger keju mini tanpa acar, segelas Pepsi, dan kentang goreng. Sementara aku satu paket ayam goreng dan segelas Sprite—aku masih tak percaya orang-orang bisa kenyang dengan setangkup roti dan selapis daging.
“Dengar,” kataku, “kita harus segera pergi dari sini.”
“Kenapa begitu?”
“Sudah kubilang,” aku kembali menurunkan volume suaraku, “ada hantu disini.”
“Ya, Tuhan,” seru istriku. “Kurasa kamu sudah sin—”
“Enggak,” aku memotongnya. “Aku serius. Kenapa kamu gak percaya padaku?”
“Aku selalu percaya padamu kecuali soal hantu ini.”
Sudah tiga kali hantu datang semenjak hari itu. Minggu lalu, istriku mengajakku pergi melayat ke rumah Hanta, temannya semasa kuliah. Ayah Hanta meninggal karena komplikasi stroke dan penyakit jantung. Sebelum pergi, istriku berkata, “Kita harus ke sana. Berusahalah meluangkan waktumu. Beliau sudah kuanggap seperti ayahku sendiri.” Aku bilang, OK. Lewat telepon dia juga sempat memesan karangan bunga yang besar dengan ucapan belasungkawa di atasnya.
Dalam perjalanan menuju rumah duka, istriku terus saja menangis. Aku tak pernah melihatnya sesedih ini. Setahuku, dia perempuan yang tabah. Berulang kali dia menggumamkan kata-kata samar seperti; ‘seharusnya aku tidak meninggalkannya’, ‘itu salahku’ dan lebih sering lagi mengulang-ulang kata ‘seandainya’ sambil sesekali menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Kurasa dia telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Tidak diragukan lagi, hubungan mereka sangat dekat.
Setibanya di rumah duka, Hanta menyambut kami dengan ledakan tangis yang tak kalah sedihnya. Laki-laki itu langsung berlari ke arah istriku dan memeluknya dengan erat. Mereka menumpahkan perasaan satu sama lain. Air mata mereka sama-sama berkilau ditimpa cahaya matahari dan pakaian mereka tampak semakin hitam dalam adegan tersebut. Aku tidak begitu mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Istriku belum pernah cerita soal ini padaku.
“Aku bisa merasakannya,” kataku, sambil memegang tangannya. “Lihat sudut itu.” Aku menuding salah satu pojokan kosong. Ia tidak menoleh. “Dia sedang berdiri di sana, mengamati kita.”
Istriku menghela napas panjang dan berkata penuh kekecewaan, “Dengar,” dia menatapku lekat-lekat, “bisa tidak kita lupakan omong kosong hantu itu? Kamu harusnya bisa berpikir lebih jernih, apalagi kamu suka membaca jurnal ilmiah. Kalau jurnal-jurnal itu tidak cukup berguna bagi otakmu, jangan lagi buang-buang uang bulanan kita untuk itu.”
Istriku lantas meletakkan kedua sikunya di atas meja, menjepit kepalanya di antara kedua telapak tangan, dan samar-samar bergumam, “Ini sungguh buruk.”
“Apanya?”
“Bukan apa-apa,” buru-buru dia menjawab, tidak menduga aku bisa mendengar apa yang dikatakannya.
“Cepat habiskan makananmu,” katanya. “Makin cepat, makin bagus. Kalau kamu kenyang, imajinasimu itu akan segera hilang.” Menggelengkan kepala. “Mungkin kamu mengidap sindrom perut lapar.”
Aku benar-benar ingin tertawa mendengarnya, sungguh. Kupikir itu lelucon terbaik yang pernah ia katakan padaku, tapi, aku sesederhana tak bisa. Hantu selalu menempati sudut gelap, dan, di tempat ini, ada satu sudut gelap yang begitu mencurigakan. Bagaimana aku bisa tertawa?
“Aura mistis ini,” aku berusaha meyakinkannya lagi. “Aku bisa melihat selapis kabut dingin mengambang di atas kepala semua orang. Dan di atas kepalamu, kabut itu semakin tebal, bergumpal dan bergulungan, berjajar seperti pasukan pengibar bendera.” Jeda. “Kita harus segera pergi.”
“Oh, tidak tidak tidak,” istriku berseru. “Berpikirlah dengan kepala dingin. Ya, Tuhan. Kenapa kamu bisa mengira tempat ini berhantu?” Dia melirik ke kanan dan kiri, seolah memastikan tidak seorang pun menguping. “Lihat tempat ini,” ia menyentuhkan ujung telunjuk kanannya pada permukaan meja, “global dan modern. Tempat ini Amerika punya. Amerika tak punya hantu. Lagi pula, hantu macam apa yang kamu maksud? Vampir tampan berambut klimis?”
Vampir tampan berambut klimis. Aku tak pernah memikirkan itu sebelumnya.
“Mungkin,” seruku. Kali ini aku yang menghela napas. “Apa kamu gak tahu hantu? Makhluk transparan yang bisa menembus pintu dan menakut-nakutimu dengan tawa seramnya.”
“Itu Casper!”
“Enggak,” kataku, penuh keyakinan. Lagi pula Casper sama sekali tidak menakutkan. “Hantu memang benar-benar ada dan dia bisa menembus apapun.”
“Ya, Tuhan,” serunya. “Kamu benar-benar sudah sinting.”
“Ada hantu yang selalu mengikuti kita.”
“Terserahmu.”
“Dia mengikuti kita kemana pun kita pergi.”
“Diamlah.”
“Dia menembus kita. Hantu itu kelewat transparan dan tidak ada yang menyadari keberadaannya. Dia selalu tertawa. Hantu itu selalu tertawa.”
Setelah itu, aku buru-buru menghabiskan makananku. Aku tahu hantu itu ada di sana. Tapi dia sungguh hebat, sampai-sampai istriku tidak menganggapnya hantu.
—Tampaksiring, 27 Februari 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H