Mohon tunggu...
Rai Sukmaning
Rai Sukmaning Mohon Tunggu... Administrasi - Perekayasa

Tinggal di Bali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Hantu Populer

17 Mei 2016   14:35 Diperbarui: 18 Mei 2016   01:29 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam perjalanan menuju rumah duka, istriku terus saja menangis. Aku tak pernah melihatnya sesedih ini. Setahuku, dia perempuan yang tabah. Berulang kali dia menggumamkan kata-kata samar seperti; ‘seharusnya aku tidak meninggalkannya’, ‘itu salahku’ dan lebih sering lagi mengulang-ulang kata ‘seandainya’ sambil sesekali menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Kurasa dia telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Tidak diragukan lagi, hubungan mereka sangat dekat.

Setibanya di rumah duka, Hanta menyambut kami dengan ledakan tangis yang tak kalah sedihnya. Laki-laki itu langsung berlari ke arah istriku dan memeluknya dengan erat. Mereka menumpahkan perasaan satu sama lain. Air mata mereka sama-sama berkilau ditimpa cahaya matahari dan pakaian mereka tampak semakin hitam dalam adegan tersebut. Aku tidak begitu mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Istriku belum pernah cerita soal ini padaku.

“Aku bisa merasakannya,” kataku, sambil memegang tangannya. “Lihat sudut itu.” Aku menuding salah satu pojokan kosong. Ia tidak menoleh. “Dia sedang berdiri di sana, mengamati kita.”

Istriku menghela napas panjang dan berkata penuh kekecewaan, “Dengar,” dia menatapku lekat-lekat, “bisa tidak kita lupakan omong kosong hantu itu? Kamu harusnya bisa berpikir lebih jernih, apalagi kamu suka membaca jurnal ilmiah. Kalau jurnal-jurnal itu tidak cukup berguna bagi otakmu, jangan lagi buang-buang uang bulanan kita untuk itu.”

Istriku lantas meletakkan kedua sikunya di atas meja, menjepit kepalanya di antara kedua telapak tangan, dan samar-samar bergumam, “Ini sungguh buruk.”

“Apanya?”

“Bukan apa-apa,” buru-buru dia menjawab, tidak menduga aku bisa mendengar apa yang dikatakannya.

“Cepat habiskan makananmu,” katanya. “Makin cepat, makin bagus. Kalau kamu kenyang, imajinasimu itu akan segera hilang.” Menggelengkan kepala. “Mungkin kamu mengidap sindrom perut lapar.”

Aku benar-benar ingin tertawa mendengarnya, sungguh. Kupikir itu lelucon terbaik yang pernah ia katakan padaku, tapi, aku sesederhana tak bisa. Hantu selalu menempati sudut gelap, dan, di tempat ini, ada satu sudut gelap yang begitu mencurigakan. Bagaimana aku bisa tertawa?

“Aura mistis ini,” aku berusaha meyakinkannya lagi. “Aku bisa melihat selapis kabut dingin mengambang di atas kepala semua orang. Dan di atas kepalamu, kabut itu semakin tebal, bergumpal dan bergulungan, berjajar seperti pasukan pengibar bendera.” Jeda. “Kita harus segera pergi.”

“Oh, tidak tidak tidak,” istriku berseru. “Berpikirlah dengan kepala dingin. Ya, Tuhan. Kenapa kamu bisa mengira tempat ini berhantu?” Dia melirik ke kanan dan kiri, seolah memastikan tidak seorang pun menguping. “Lihat tempat ini,” ia menyentuhkan ujung telunjuk kanannya pada permukaan meja, “global dan modern. Tempat ini Amerika punya. Amerika tak punya hantu. Lagi pula, hantu macam apa yang kamu maksud? Vampir tampan berambut klimis?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun