Mohon tunggu...
Rai Sukmaning
Rai Sukmaning Mohon Tunggu... Administrasi - Perekayasa

Tinggal di Bali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kumenanti Seorang Kekasih

2 Mei 2016   17:29 Diperbarui: 3 Mei 2016   15:37 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

<1>

“Ini sia-sia,” cetus Hanta. “Kita duduk disini, berdua. Kita makan Oreo. Kita menunggu sesuatu yang tak jelas dan kamu selalu bersikeras seolah-olah semua ini ada gunanya.”

“Memang berguna,” sahut Lumanihi.

“Apanya? Lihat, kita sudah seperti orang yang sedang menunggu Godot, atau menunggu pesan dari Kaisar, atau sepasang pungguk yang sedang belajar hukum Newton dan berharap NASA akan mengirim mereka ke bulan.” Hanta menggelengkan kepala secara dramatis. “Ini benar-benar mamalukan.” Kemudian, “Aku pulang saja kalau begini terus,” cetus Hanta, hendak berdiri.

“Oh, jangan,” buru-buru Lumanihi mencegahnya bangkit, “jangan pergi dulu, kumohon.”

“Ini benar-benar tolol, kamu tahu!” “Demi Tuhan, paling tidak temani aku lima menit lagi.”

Jika bukan karena Lumanihi adalah teman baiknya sejak kecil, ia tak akan sudi membuang-buang waktunya dan menjadi sejenis kambing congek di kafe tersebut. Lebih dari tiga jam mereka duduk disana dan Hanta sudah menghisap rokok terakhirnya satu jam yang lalu. Sebetulnya Hanta tak ingin mendengar alasan apa pun lagi dari Lumanihi, namun ia juga tak sanggup mengabaikan begitu saja sahabatnya.

Apa yang sebetulnya Lumanihi tunggu adalah satu hal yang selalu mengganggu pikiran Hanta. Setiap minggu ia dipaksa menemani Lumanihi, tapi Lumanihi tak pernah dengan terbuka mengatakan apa tujuannya, atau paling tidak, kenapa harus Hanta yang selalu menemaninya. Setiap kali Hanta mempertanyakan masalah tersebut, dapat dipastikan Lumanihi akan segera mengalihkan pembicaraan, menggantinya dengan topik lain yang tak kalah menarik, bisa tentang bola, tentang situs porno, atau bahkan politik, jika terpaksa. Dan biasanya itu cukup berhasil. Hanta akan lupa dan mengulanginya seminggu kemudian. Namun tidak untuk hari itu.

Ketika akhirnya Lumanihi memicingkan mata ke satu arah dan menunjukkan tanda-tanda bahwa ia telah menemukan apa yang dicarinya, ia berseru pada Hanta, “Itu dia yang kita tunggu-tunggu.” Hanta buru-buru mengangkat wajahnya dari layar ponsel dan menoleh ke arah jari Lumanihi menuding. “Yang mana?” tanya Hanta, merasakan gairah kembali muncul dalam dirinya.

“Yang itu,” sahut Lumanihi. “Itulah cintaku.”

Seorang perempuan baru saja keluar dari toko swalayan sambil menenteng tas belanjaan di tangan kanannya. Ia tampak terburu-buru, dengan langkah kaki pendek namun cepat, berjalan menuju parkiran yang berada tidak jauh dari kafe tempat mereka menunggu. Tidak ada yang mencolok darinya kecuali kaos SNSD yang ketat membentuk badan, dan riasan tipis di wajahnya.

“Oh, jadi yang begitu ya seleramu,” seru Hanta, menggoda temannya. “Ayo kita kejar dia.” “Tidak usah,” sahut Lumanihi. “Kenapa begitu?” “Pokoknya tidak perlu.” “Oh, kamu sudah punya nomor teleponnya, ya?” “Tidak juga” “Kalau begitu apa yang akan kita lakukan selanjutnya?” “Kita kembali ke sini minggu depan.”

Minggu berikutnya mereka kembali ke kafe tersebut. Hanya saja kali ini Hanta memberi Lumanihi tenggat waktu.

“Kalau dalam satu jam perempuan itu tidak muncul, kita pergi. Seandainya dia muncul dan kamu tetap tidak bergerak, itu berarti aku takkan pernah menemanimu lagi di sini.” “OK.”

<2>

Semuanya terjadi dalam beberapa detik dan tidak seorang pun sanggup menanggungnya.

Perempuan itu keluar dari swalayan menggandeng tangan seorang laki-laki. Kali ini ia berjalan lebih lambat dan terlampau tenang jika dibandingkan minggu sebelumnya, seolah-olah ia tak rela beranjak dari tempat tersebut. Dari gelak tawanya, sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu yang lucu.

“Jadi, itu yang membuatmu tidak mau mengejarnya?” “Tidak juga.” “Lalu, apa?” “Bukan dia yang aku tunggu.” “Apa maksudmu? Minggu lalu jelas-jelas kamu bilang kalau dia yang kamu tunggu.” “Ya, itu minggu lalu. Sekarang segala sesuatunya sudah berubah.” “Apa maksudmu? Kamu tidak sungguh-sungguh mencintainya?” “Malah sebaliknya. Aku sungguh-sungguh mencintainya. Tapi itu minggu lalu, sekarang aku akan jatuh cinta lagi.” “Jadi, bukan perempuan itu yang kamu tunggu?” “Bisa jadi begitu. Tapi mungkin saja minggu depan aku akan jatuh cinta lagi padanya.”

<3>

Mereka pulang larut malam. Dingin saat itu. Di satu persimpangan mereka berbelok ke arah yang berbeda. Hanta menggeber pelan skuternya, melindas aspal yang kekuningan ditimpa lampu jalan. Sesekali angin bulan Agustus menghajar kaca helmnya. Saat itulah tiba-tiba pikiran Hanta terganggu oleh kata-kata sahabatnya, dan ia mulai memikirkan Sari, kekasihnya. Ketika sampai di rumah, Hanta buru-buru berlari ke ruang tengah, memencet tombol-tombol, dan menunggu. Sepuluh detik kemudian Lumanihi mengangkat ponselnya.

“Ada apa?”

“Aku bingung bagaimana mengatakannya. Apakah ini pantas atau tidak. Ya, Tuhan. Rasanya aku mau meledak. Di jalan barusan aku terus saja memikirkannya.”

“OK, tenangkan dulu dirimu. Habis itu baru bicara.”

Selama tiga puluh detik, Hanta tenggelam dalam pikirannya. Tiga puluh detik yang benar-benar asing. Selama itu pula Lumanihi membiarkan dirinya menunggu, dan ia tidak terganggu dengan itu, ia telah terbiasa menunggu. Tidak mudah menunggu, tetapi lebih tidak mudah lagi ketika kamu tidak menunggu apa pun. Dan ketika akhirnya Hanta bicara, Lumanihi mendengarkannya dengan penuh perhatian.

Hanta bertanya, “Apa kamu tahu bagaimana caranya supaya aku bisa cinta lagi pada Sari?”

Entah bagaimana, pertanyaan itu terasa begitu mengejutkan, menyengat seperti ribuan pantat lebah. Lumanihi terdiam. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi seekor kucing lebih dulu mencuri lidahnya.

Pertanyaan bodoh, pikir Lumanihi. Dan selayaknya semua pertanyaan bodoh, jawaban atasnya tidak pernah signifikan.

(Tampaksiring, 2 Mei 2016)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun