Mohon tunggu...
Rai Sukmaning
Rai Sukmaning Mohon Tunggu... Administrasi - Perekayasa

Tinggal di Bali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Handie-Talkie

15 April 2016   15:54 Diperbarui: 15 April 2016   23:34 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="SUmber ilustrasi: pad2.whstatic.com"][/caption]I

Setelah mematikan radio FM yang mulai terdengar ngaco, aku bertanya pada Hanta kenapa ia dan Karniya Sari selalu berhubungan lewat handie-talkie. Ia bilang ceritanya panjang.

“Kita punya banyak waktu kok.” “Kenapa tiba-tiba kamu ingin tahu tentang hal itu?”

“Entahlah,” kataku, “terlintas begitu saja di pikiranku.”

“Pikiranmu selalu dilintasi hal-hal yang aneh, huh?”

“Begitu, ya?” kataku. “Aku belum pernah memikirkan itu sebelumnya.”

Aku juga belum pernah berpikir akan meminum kopi tanpa gula sebelumnya.

Sambil meletakkan cangkir di atas meja oval, aku bilang padanya, “Kalau kamu ingin menyimpannya sendiri, enggak apa-apa kok. Kita berbagi apa yang ingin kita bagi.”

II

Kami tinggal di satu lingkungan yang teratur, bersih, dan teknis. Setiap rumah ditata sedemikian rupa, interior maupun eksteriornya, sehingga luar-dalam terlihat serupa. Prinsip yang sama juga berlaku untuk warna atap, jendela, dinding, bahkan penataan halaman depan. Yang membedakan rumah satu dan lainnya hanya nomor dan orang yang menghuninya. Sehingga tidak aneh kalau kurir yang baru pertama kali datang ke lingkungan kami akan kebingungan sekaligus takjub.

Rumahku berada tepat di sebelah rumah Karniya, perempuan yang aku cintai. Dalam deskripsi singkat: ia cantik, kulit sawo matang, rambut ikal hitam, dan menggairahkan. Kami saling mengenal sejak kecil. Kami tumbuh dan bermain bersama. Beda umur kami hanya dua tahun dan ia lebih tua dariku. 

Tiada hari tanpa bermain bersama, entah itu di rumahku atau di rumahnya—yang pada kenyataannya memang tidak berbeda. Kartu Uno, istana pasir, kelereng, (bahkan) boneka Barbie. Kami memainkan semua jenis permainan. Dan ketika mulai beranjak dewasa, kami sama-sama menemukan satu kegemaran baru untuk dituliskan di biodata, yakni membaca buku.

Sepanjang hari, sepanjang malam, kami membaca Stevenson, Pram, Bohumil Hrabal, dan berjibun buku stensilan yang kami dapatkan dari tempat penyewaan buku. Kami tidak pernah pilih-pilih buku. Tetapi seperti juga kenyataan bahwa diantara semua perempuan cantik tetap saja ada yang tercantik, maka tak aneh jika kami juga punya penulis favorit masing-masing: Karniya dengan Juan Rulfo dan aku dengan Cesar Aira. Meskipun begitu, kegemaran kami tidak ada kaitannya dengan handie-talkie. Setidaknya begitulah sebelum kami jatuh cinta.

Seperti yang lain, awalnya kami tak tahu kalau itu cinta. Kami tak tahu cara mendeteksinya—tidak seorang pun tahu—dan masih menganggap ‘situasi’ tersebut sebagai hubungan persahabatan-oktan-tinggi. Hari demi hari, perasaan ini mulai tak tertahankan. Kali pertama kami menyadarinya, semuanya terasa benar-benar aneh, ilogik, sulit dikendalikan, dan berlebihan. Tubuh kamilah yang menunjukkan tanda-tandanya. Intensitas kontak mata menurun (karena setiap kali itu terjadi tulang belakang kami rasanya mau copot), kami mendadak berani berkata ‘tidak’ pada sesuatu yang kami senangi, dan aku sering kali tak bisa tidur sebelum mendengar aubade kokok ayam saat subuh—di kemudian hari, lewat handie-talkie, Karniya mengakui hal yang sama.

Yang bisa aku katakan adalah sungguh mengejutkan bagaimana cinta bekerja pada kami.

III

Suatu hari, kalau tidak salah sore-sore, karena pada waktu itu badanku masih bau amis sehabis berolahraga, adik Karniya yang baru pulang dari kemah pramuka membawa handie-talkie milik gurunya. Ia membawanya ke rumahku dan memperagakan bagaimana cara menggunakannya. Aku langsung bisa. Mudah saja, tinggal pencet dan ngomong. Dan sejauh ingatanku tak keliru, adik Karniya-lah yang pertama kali menyodorkan gagasan ini padaku, “Kenapa handie-talkie-nya enggak dipakai ngobrol dengan Karniya saja?” Jadilah hari itu kami berhubungan lewat handie-talkie. Tanpa disangka-sangka, kami ngobrol banyak seperti dulu, seolah tidak pernah terjadi sesuatu yang aneh sebelumnya. Setelah beberapa waktu, kami sepenuhnya melupakan konsep tatap-muka. Sebulan kemudian, seks handie-talkie. 

“Kenapa bukan telepon?”

“Itu karena—” “Atau Skype?” aku menyelanya.

“Kamu suka minum kopi?” “Ya,” kataku.

“Kamu suka semua jenis kopi?”

Ia sedang berusaha membuatku K.O.

IV

Sesekali kami melakukan seks handie-talkie. Kami saling membelai dan menjelajahi lekuk tubuh dengan kata-kata. (“Kalau kamu mau, aku bisa menceritakan bagian ini secara detil.” “Tidak usah.”) Desahannya, kata Hanta, aku tidak pernah mendengar aransemen musik yang lebih indah.

“Tunggu sebentar,” seruku menghentikan ceritanya. “Ada apa?”

“Bagaimana dengan handie-talkie-nya?” “Ada apa dengan handie-talkie-nya?”

“Semua ceritamu tidak menjelaskan ‘kenapa’ handie-talkie?”

“Memang apa masalahnya?”

“Itu bagian terpenting yang harusnya kamu ceritakan.”

“Kenapa harus begitu?”

“Semua orang ingin tahu inti cerita. Aku ingin tahu inti cerita.”

“Dengar,” katanya kemudian, mulai gemas. “Persetan dengan handie-talkie, atau wookie-cookie, atau tootie-pookie, atau apalah itu. Itu semua enggak penting, mengerti? Kamu mungkin berpikir, ‘Bukannya semua ini memang tentang handie-talkie.’ OK, semua ini tentang handie-talkie. Bagaimana kalau aku bilang ini bukan soal handie-talkie? Itu juga OK. Meski kamu akan tetap bersikeras, ‘Tapi ‘kan blah-blah-blah-blah dan seterusnya.’ Kamu bahkan bisa bikin buku setebal 1000 halaman yang intinya cuma bilang: ini memang tentang handie-talkie.” Hanta menggelengkan kepala. “Persetan,” seru Hanta. “Aku dan Karniya bukan cuma soal handie-talkie. Jangan paksa aku terpaku pada satu hal dan membuatnya seolah-olah segalanya.”

Setelah melipat tangannya di depan dada dan menyenderkan punggung di permukaan sofa yang empuk, ia bertanya padaku, kali ini dengan nada bicara yang lebih sejuk, “Sekarang, kamu masih mau mendengar ceritaku atau tidak?”

Tanpa pikir panjang, aku langsung bilang, “Ya, tentu saja.”

Hari itu juga, aku mendengar habis ceritanya. Cerita yang benar-benar panjang namun tetap menarik. Seperti yang Hanta katakan, ia tidak peduli pada handie-talkie. Keseluruhan ceritanya tidak peduli pada handie-talkie.

“Memang apa masalahnya?” tanya Hanta. Tidak ada!

 

Tampaksiring, 24 Maret 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun