IV
Sesekali kami melakukan seks handie-talkie. Kami saling membelai dan menjelajahi lekuk tubuh dengan kata-kata. (“Kalau kamu mau, aku bisa menceritakan bagian ini secara detil.” “Tidak usah.”) Desahannya, kata Hanta, aku tidak pernah mendengar aransemen musik yang lebih indah.
“Tunggu sebentar,” seruku menghentikan ceritanya. “Ada apa?”
“Bagaimana dengan handie-talkie-nya?” “Ada apa dengan handie-talkie-nya?”
“Semua ceritamu tidak menjelaskan ‘kenapa’ handie-talkie?”
“Memang apa masalahnya?”
“Itu bagian terpenting yang harusnya kamu ceritakan.”
“Kenapa harus begitu?”
“Semua orang ingin tahu inti cerita. Aku ingin tahu inti cerita.”
“Dengar,” katanya kemudian, mulai gemas. “Persetan dengan handie-talkie, atau wookie-cookie, atau tootie-pookie, atau apalah itu. Itu semua enggak penting, mengerti? Kamu mungkin berpikir, ‘Bukannya semua ini memang tentang handie-talkie.’ OK, semua ini tentang handie-talkie. Bagaimana kalau aku bilang ini bukan soal handie-talkie? Itu juga OK. Meski kamu akan tetap bersikeras, ‘Tapi ‘kan blah-blah-blah-blah dan seterusnya.’ Kamu bahkan bisa bikin buku setebal 1000 halaman yang intinya cuma bilang: ini memang tentang handie-talkie.” Hanta menggelengkan kepala. “Persetan,” seru Hanta. “Aku dan Karniya bukan cuma soal handie-talkie. Jangan paksa aku terpaku pada satu hal dan membuatnya seolah-olah segalanya.”
Setelah melipat tangannya di depan dada dan menyenderkan punggung di permukaan sofa yang empuk, ia bertanya padaku, kali ini dengan nada bicara yang lebih sejuk, “Sekarang, kamu masih mau mendengar ceritaku atau tidak?”