Mohon tunggu...
Rai Sukmaning
Rai Sukmaning Mohon Tunggu... Administrasi - Perekayasa

Tinggal di Bali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Benturan Kepala di Dinding seperti Ketukan Instrumen Perkusi

5 April 2016   17:34 Diperbarui: 6 April 2016   02:20 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi: pixabay.com | Mariamichelle"][/caption]Ia pria yang suka membenturkan kepalanya di dinding—belakangan, ia juga suka mendengarkan kisah tentang Leonardo. Ia tak begitu yakin sejak kapan melakukannya, tapi ia sungguh menikmatinya. Di setiap tempat yang ia kunjungi, hal pertama yang ia cari adalah dinding. Ia akan terus membenturkan kepalanya hingga dahinya berdarah atau sampai petugas keamanan turun tangan.

Suatu kali, ketika pria itu melancong ke Italia, seorang pria Italia mirip Pavarotti menghampirinya.

“Apa yang kamu lakukan?” tanya si orang Italia padanya, persis ketika ia sedang asyik membenturkan kepala pada dinding menara Pisa.

Mengingat apa yang dilakukan si pria bukan sesuatu yang gampang untuk dijelaskan dengan kata-kata, dan si pria memang belum pernah berhasil sebelumnya, ia berusaha menjelaskan dengan hal yang bersifat sangat pribadi, motif yang samar, berharap si orang Italia akan merasa segan dan segera pergi setelah mendengar jawabannya. Si pria menjawab, “Membuat diriku rileks.”

Tapi bukannya pergi, si orang Italia malah tambah penasaran—meski ia berusaha menyembunyikannya. Itu terlihat dari tanggapan singkatnya yang diberi penekanan berlebih, “Oh.” Monosilabel yang pada saat itu, bagi si pria, tidak memiliki arti selain ‘omong kosong apa ini, brengsek?’, yang seketika membuat pria itu berhenti dan berdiri berkacak pinggang, memandangi si orang Italia sambil memikirkan sesuatu yang lebih gampang dimengerti sebagai penjelasan.

“Katakanlah,” cetus si pria beberapa saat kemudian, “ini mirip dengan orang yang sedang mendengarkan musik jazz atau berlatih Yoga.”

Tapi orang Italia itu masih tampak kebingungan, ia masih mencoba menggapai sesuatu yang terlalu jauh, sehingga mau tak mau pria itu kembali berpikir (pada saat ini, si pria telah sepenuhnya melupakan sikap menjelaskan-ala-kadarnya yang ia tunjukan sebelumnya). Ia berusaha mengingat segala hal tentang Italia yang pernah ia tonton di film Life is Beautiful; mengaitkannya dengan nama klub-klub di pertandingan Serie A, dengan Mussolini, Gelato, bahkan Pizza Hut, sebagai analogi. Tapi tetap saja mentok. Pada akhirnya ia menyerah, seperti biasanya, dan berkata asal, “Ini semacam menyuap seseorang, mengerti?”

“Oh,” kata si orang Italia, tanpa disangka-sangka, kali ini dengan nada puas dan penuh pengertian. Si pria lega bukan main. Tapi kemudian si orang Italia yang mulai khawatir melihat darah menetes dari dahi si pria berkata, hampir merengek, “Kenapa juga kamu tidak nonton TV atau baca majalah Playboy saja. Itu ‘kan jauh lebih baik?” 

“Itu gak ada gunanya,” sahut si pria, acuh tak acuh, bersiap membenturkan kepalanya lagi. “Aku harus mengeluarkan sesuatu dari kepalaku ini dan aku gak tahu cara lain lagi.” Ia kemudian membenturkan kepalanya lebih keras dari sebelumnya, meninggalkan bercak darah selebar dahi di dinding cokelat itu.

“Kurasa aku mengerti,” kata si orang Italia, tiba-tiba. “Bagian mananya?” tanya si pria.

Kemudian si orang Italia bercerita kalau ia bertemu orang ini setahun lalu. Namanya Leonardo. Orang ini tinggal di apartemen kumuh di pinggiran kota Roma bersama istri dan kedua anaknya. Mereka miskin, seperti halnya keluarga Antonio Ricci. Mereka hampir menggadaikan segala benda miliknya kecuali pakaian yang melekat di badannya. 

Leonardo bekerja sebagai buruh serabutan, sedangkan istrinya penjahit. Kedua anak mereka masih kecil dan tidak bersekolah. Leonardo ini, kata si orang Italia, sama seperti si pria. Leonardo akan selalu bilang, ‘Aku harus mengeluarkan sesuatu dari kepalaku, bagaimana pun caranya.’ Awalnya si orang Italia menganggapnya orang yang aneh dan sinting, tapi lama-kelamaan ia jadi mengerti.

“Leonardo ingin mengeluarkan isi kepalanya, secara harfiah,” kata si orang Italia, setengah sedih dan setengah geram. “Bagi Leonardo,” ia meneruskan, “hidup kelewat berat. Bukan berarti dia orang yang tidak religius, dia religius, kubilang. Dia bahkan sedikit membenci Voltaire. Hanya saja dia sudah tak tahan. Sehari sebelum Natal dia sengaja memukuli polisi di taman kota hingga babak belur. Tujuannya sederhana, Leonardo berharap supaya dirinya ditembak di kepala oleh polisi lain yang marah mengetahui rekannya dipukuli. Leonardo akan sangat berterima kasih pada polisi yang sudi melakukan itu padanya.” Si orang Italia tiba-tiba terdiam, seolah berusaha menghindari apa yang akan ia katakan selanjutnya. Ia lantas menggambar lingkaran dengan ujung sepatunya dan memandanginya penuh takjub, terkejut oleh apa yang yang terpampang di depan matanya. Lalu, ragu-ragu meneruskan, “Seperti yang Leonardo harapkan,” jeda, “itulah yang terjadi.”

“Cerita yang sangat sedih,” cetus si pria.

“Tidak akan begitu sedih andai Leonardo sempat berterima kasih pada si polisi,” kata si orang Italia. “Andai saja dia tidak keburu mati.”

“Jadi, dia itu temanmu?”

“Tidak juga.”

“Lalu siapa dia?”

“Orang yang kutemui di pinggir jalan.”

“Lama kamu mengobrol dengannya?”

“Tidak juga,” kata si orang Italia. “Barangkali cuma setengah jam.”

“Oh,” kata si pria, takjub. “Omong-omong, apa tindakannya itu ada gunanya?” Jeda. “Maksudku apa kejadian itu berhasil mengeluarkan isi kepalanya?”

“Tentu saja,” kata si orang Italia. “Sesuatu yang encer benar-benar keluar dari kepalanya. Meleleh seperti es krim yang kamu lempar ke tengah gurun. Mengambang di atas trotoar seperti kubangan babi. Aku berdiri di sana, melihat Leonardo terbaring dan tersenyum. Senyum yang kurasa khusus ditujukan padaku. Sebelum wartawan datang dan mengambil fotonya, aku pergi. Tapi aku menyempatkan diri melambaikan tangan padanya.”

“Senang mendengarnya,” kata si pria, lega.

“Leonardo pantas mendapatkannya,” si orang Italia menyetujui. “Kamu percaya ‘kan kalau semua itu benar-benar terjadi?” tanya si orang Italia, terdengar seperti menguji.

“Tentu saja aku percaya,” sahut si pria penuh antusiasme. “Itu semua begitu masuk akal. Memangnya kenapa?”

“Banyak orang tidak percaya pada cerita itu.”

“Tolol,” cetus si pria. “Mereka semua tolol.” Dari saku celananya ia kemudian mengeluarkan setangan dan menyapu bagian bawah matanya yang dimerahi ceceran darah.

“Kamu mau mencoba apa yang dilakukan Leonardo?”

“Maksudmu mati?”

“Bukan,” sergah si orang Italia. “Kamu mengerti apa yang aku maksud.”

“Aku enggak mau,” sahut si pria, tegas. “Barangkali itu bekerja dengan baik untuk Leonardo, tapi belum tentu untukku.”

“Memangnya kenapa?”

“Entahlah.”

“Itu benar-benar sederhana,” cetus si orang Italia, kali ini lebih ditujukan untuk dirinya sendiri. “Dia cuma menghamburkan isi kepalanya, itu saja.”

“Aku tahu,” kata si pria. “Tapi tetap saja, intinya bukan itu. Pada kenyataan aku jauh berbeda dengan Leonardo.”

“Apa kamu juga pernah bertemu Leonardo?” tanya si orang Italia penasaran.

“Enggak.”

Si orang Italia tampak kecewa. “Jadi, bagaimana kamu bisa bilang dirimu berbeda darinya kalau kamu bahkan tidak pernah bertemu dengannya?”

“Bisa saja, ‘kan?” kata si pria bersikeras. Matanya terpejam. “Pokoknya bukan hal seperti itu yang aku inginkan.”

“Seperti yang mereka bilang,” cetus si orang Italia, “‘kamu tak tahu apa yang kamu mau, kamu cuma tahu apa yang tidak kamu mau.’“

Setelah itu, hening yang lama. Si orang Italia menawarkan rokok pada si pria, tetapi ditolaknya. Ia kemudian duduk bersender pada dinding, di sebelah si pria yang masih berdiri menghadap tembok. Si orang Italia memejamkan mata, merasakan bagaimana udara panas siang itu melompat-lompat di permukaan kulitnya seperti pemain sirkus di atas trampolin. Ia sedang berusaha khusyuk mendengarkan suara benturan kepala si pria yang mulai terdengar seperti ketukan instrumen perkusi. Ia lantas berseloroh, “Apa Terry Bozzio pernah menawar kepalamu?”

“Itu cuma masalah waktu,” sahut si pria. Kemudian mereka tertawa.

Si orang Italia lantas pergi meninggalkan si pria begitu ia habis menghisap sebatang rokok. Sebelum pergi ia sempat berkata pada si pria, “Lihat apa yang sudah Leonardo lakukan pada kita.” Dan mereka kembali tertawa.

 

Tampaksiring, 3 Maret 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun