Kecewa itu sesuatu yang lumrah dirasakan semua orang, jika harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Tapi intensitas kekecewaan itu berbeda, tergantung bagaimana kita memaknai stimulus yang membuat kita kecewa dan seberapa besar harapan itu diberikan.
Suatu ketika aku dikecewakan oleh seseorang. Tidak habis pikir, apa yang membuatnya setega itu. Orang yang selama ini ku percaya, mudah sekali menyakiti dan mengecewakanku seperti membalikkan telapak tangan. Masihkah beralasan takdir? Mau kembali lagi pada masa aliran jabariyah? yang harus pasrah dan terpaksa menerima takdir Tuhan? Adilkah? Tentu sakit rasanya, sangat sakit.
Entah, tak bisa diceritakan rasa sakit itu, hanya bisa dirasakan. Namun ujungnya juga berdampak pada aktivitasku. Apalagi orang yang mengecewakan kita adalah orang yang sangat dekat dengan kita. Akhirnya, rasa kecewanya sangat dalam. Benar-benar tidak dapat diterima, membayangkan kepercayaan yang selama ini telah aku berikan lalu dikhianati. Apakah tidak ada ruang sedikitpun untuk memikirkan kondisiku? Apakah seegois itu? Sama sekali tidak memikirkan bagaimana perasaanku? Ahh!
Kita memang seharusnya berharap sewajarnya terhadap sesuatu, tidak pesimis juga tidak berlebihan. Tetapi akan ada intensi berlebihan kalau ada stimulus yang memperkuat harapan kita. Misalnya dalam bentuk janji yang diberikan seseorang.Ya, harapan itu bisa berlebihan karena adanya sebuah janji, tetapi bisa diminimalisir jika persepsi terhadap janji itu disederhanakan. Sayangnya tidak padaku saat itu, aku menerima janji itu dengan kepercayaan yang besar.
Saat kondisi ini datang, aku menghubungkannya dengan teori yang pernahku pelajari di kelas. Jika kita merasakan emosi (entah itu marah, stress, kecewa, atau bahkan senang) yang berlebihan, system saraf simpatik kita sedang aktif. Detak jantung menjadi berdetak lebih cepat, pupil menjadi lebih lebar, aliran ludah terhambat, dan lain sebagainya. Lalu untuk meredakan emosi ini—kondisi keseimbangan harus tetap terjaga—yang harus diaktifkan adalah sistem saraf parasimpatiknya. Saraf para simpatik ini memiliki fungsi yang berlawanan dengan fungsi sistem saraf simpatik. Dalam hal ini, lakukanlah relaksasi.
So, inilah yang aku terapkan, emosi yang aku rasakan adalah sudah barang tentu, sangat kecewa. Sesaat aku diam, menghela nafas panjang, lalu mengeluarkannya dengan rileks sambil mengucapkan istighfar. Yang perlu kita lakukan dalam kondisi ini adalah mengeluarkan luapan emosi yang terpendam dengan cara katarsis, aku menceritakan apa yang aku rasakan ini kepada seseorang yang ku percaya, seseorang yang aku yakini bisa memberikanku support. Yah, memang harus dikeluarkan, jangan dipendam atau bahkan dipelihara. Meskipun sakitnya hanya bisa dirasakan sendiri, setidaknya apa yang dirasakan itu dapat terbuang semua.
Sekarang, aku tinggal memilih. Bangkit, atau diam. Tetapi, diam hanya akan membuatku merasakan sakit yang lama.
Hanya ada satu cara agar kondisi ini tidak memaksa kita untuk terus diam dalam kondisi jatuh, yaitu berdamai dengan perasaanku sendiri. Pertama, mintalah hati untuk mau menerima kondisi ini. Unconditional positive regard, kata Carl Rogers—menerima kondisi ini tanpa syarat, ikhlas. Sadari, dan rasakan semua yang sedang terjadi.
Keluarkan semua emosi marah, sedih, atas kecewa itu. Rasakan sedalam-dalamnya, habiskan. Dan ucapkan kata-kata yang bisa membuat kita tenang, misalnya zikir. Ucapkan sambil dirasakan. Seketika aku mendapatkan insight di sini, tentang siapa aku, apa tujuan hidupku, dan betapa banyak nikmat yang selama ini aku dapatkan lalu hanya karena satu harapan tidak tercapai kenapa harus menjadi jatuh.
Bukankah ini adalah ujian? Yang menentukan kita bisa lolos ke level berikutnya atau tidak, dan grade kita akan menjadi lebih tinggi lagi? Setelah kita bisa menyelesaikannya dengan baik, bukankah kekuatan kita akan semakin bertambah? Kita dipersiapkan agar lebih mampu menghadapi ujian-ujian selanjutnya. Yang lalu biarlah berlalu, aku akan menjadikannya sebagai pelajaran yang berharga. Pengalaman ini akan menjadikanku lebih baik lagi dari sebelumnya, terutama lebih dewasa dan bijaksana.
Tidak hanya sampai di sini. Setelah aku menyadari dan menerima kondisi itu dengan sepenuh hati, selanjutnya adalah memaafkan. Kalau aku belum mau memaafkan, artinya aku masih berfokus pada perasaan sakit yang aku rasakan. Memaafkan bukan hanya untuk kebaikan dia yang telah membuatku kecewa, tetapi lebih pada ketentraman dan kedamaian dalam diriku sendiri. Bukankah Allah Maha Pemaaf? Bukankah Allah begitu setia kepadaku? Walaupun aku sering mengecewakan-Nya? Lalu ketika aku kecewa kepada orang, apa hak ku untuk membencinya?
Yah. Apa salahnya memaafkan?
Karena Allah, aku maafkan dia. Aku maafkan atas kekecewaan yang aku rasakan, aku maafkan semua kesalahan yang telah dilakukannya kepadaku.
Apa yang kita pikirkan akan berdampak pada apa yang kita rasakan, akan berdampak pula pada apa yang kita lakukan, begitu juga sebaliknya. Ini karena kognitif, motorik dan afektif saling berkaitan. Untuk itu, tidak cukup maaf itu hanya diucapkan di dalam hati, tetapi perlu untuk diucapkan secara lisan. Setelah aku menyadari posisiku, menyadari apa yang sedang aku rasakan, dan aku mulai menerima kondisi yang ada dalam diriku saat itu dengan sepenuh hati. Lalu secara lisan aku bicara pada diriku sendiri
“Ya Allah Yang Maha Pengasih. Tidak ada yang Maha Suci selain Engkau, ampuni aku yang khilaf ini. Berikan aku kekuatan untuk menghapus noda dalam hati ini, kekecewaan yang sempat memberikan noda dalam hati ini. Aku maafkan dia, atas apa yang telah dilakukannya terhadapku. Engkau Yang Maha Penyayang, damaikanlah hatiku. Tidak ada daya dan upaya selain dari pertolongan-Mu. Berikan ia kenyamanan, hindarkan ia dari kekecewaan seperti apa yang aku rasakan. Aku maafkan dia Ya Allah”.
Setiap kali kekecewaan itu muncul lagi, aku mengucapkannya secara lisan. Ini membuatku tenang, tentram, dan indah. Rasakanlah apa yang diucapkan, rasakan sedalam-dalamnya. Rasakan ketenangan atas ketulusan respon positif itu. Kalau feel-nya sudah dapat, bersyukurlah. Nikmat Tuhan Manakah yang kau dustakan?
Penting bagiku ketika berada dalam kondisi ini untuk memperbanyak stimulus positif, misalnya mendengar lagu-lagu semangat (NO lagu galau!), melakukan hobi yang disukai, dsb. Aku menghindari stimulus-stimulus negatif yang mungkin akan membuatku semakin terjerumus, semakin membuatku jatuh.
Akhirnya, tidak ada lagi kesedihan atau pun kemarahan yang tersisa atas kecewa itu. Cukup, hanya dua hari saja kondisi itu mewarnai hariku. Aku tidak punya banyak waktu untuk meladeni emosi ini. Mungkin hanya perlu waktu untuk beradaptasi jika memori masa lalu tidak sengaja di-recall kembali, tentang cerita yang pernah terjadi, tentang suka dan duka yang telah dilalui bersama. Tapi ini tidak akan membuatku terluka, karena hakikatnya hidup penuh dengan warna. Ada makna dibalik proses yang terjadi, bersyukur dan ikhlas itu kuncinya.
Rasa sayang Allah lebih besar, banyak hal yang tidak aku ketahui tapi Allah tahu. Allah memberikanku apa yang aku butuhkan, bukan apa yang aku inginkan. Pun banyak dari orang-orang di luar sana yang pernah merasa kecewa seperti apa yang aku rasakan, bahkan dengan stimulus yang lebih besar dari ini. Apa alasanku untuk tidak bersyukur?
Stimulus itu sifatnya netral. Selanjutnya, interpretasi kitalah yang berperan penting terhadap respon kita. Entah kita akan memilih mempersepsikannya negatif atau positif tergantung pilihan kita. Dan aku menjadikan ini sebagai proses untuk meningkatkan kualitas diriku, menjadikanku lebih baik lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H