Mohon tunggu...
Lulu Sukma Wardani
Lulu Sukma Wardani Mohon Tunggu... Ilmuwan - A Student

Tentang kehidupan, dari sudut pandang Psikologi

Selanjutnya

Tutup

Money

Move on, secepat itu?

26 April 2017   21:49 Diperbarui: 16 November 2018   09:24 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Yah. Apa salahnya memaafkan?

Karena Allah, aku maafkan dia. Aku maafkan atas kekecewaan yang aku rasakan, aku maafkan semua kesalahan yang telah dilakukannya kepadaku.

Apa yang kita pikirkan akan berdampak pada apa yang kita rasakan, akan berdampak pula pada apa yang kita lakukan, begitu juga sebaliknya. Ini karena kognitif, motorik dan afektif saling berkaitan. Untuk itu, tidak cukup maaf itu hanya diucapkan di dalam hati, tetapi perlu untuk diucapkan secara lisan. Setelah aku menyadari posisiku, menyadari apa yang sedang aku rasakan, dan aku mulai menerima kondisi yang ada dalam diriku saat itu dengan sepenuh hati. Lalu secara lisan aku bicara pada diriku sendiri

Ya Allah Yang Maha Pengasih. Tidak ada yang Maha Suci selain Engkau, ampuni aku yang khilaf ini. Berikan aku kekuatan untuk menghapus noda dalam hati ini, kekecewaan yang sempat memberikan noda dalam hati ini. Aku maafkan dia, atas apa yang telah dilakukannya terhadapku. Engkau Yang Maha Penyayang, damaikanlah hatiku. Tidak ada daya dan upaya selain dari pertolongan-Mu. Berikan ia kenyamanan, hindarkan ia dari kekecewaan seperti apa yang aku rasakan. Aku maafkan dia Ya Allah”.

Setiap kali kekecewaan itu muncul lagi, aku mengucapkannya secara lisan. Ini membuatku tenang, tentram, dan indah. Rasakanlah apa yang diucapkan, rasakan sedalam-dalamnya. Rasakan ketenangan atas ketulusan respon positif itu. Kalau feel-nya sudah dapat, bersyukurlah. Nikmat Tuhan Manakah yang kau dustakan?

Penting bagiku ketika berada dalam kondisi ini untuk memperbanyak stimulus positif, misalnya mendengar lagu-lagu semangat (NO lagu galau!), melakukan hobi yang disukai, dsb. Aku menghindari stimulus-stimulus negatif yang mungkin akan membuatku semakin terjerumus, semakin membuatku jatuh.

Akhirnya, tidak ada lagi kesedihan atau pun kemarahan yang tersisa atas kecewa itu. Cukup, hanya dua hari saja kondisi itu mewarnai hariku. Aku tidak punya banyak waktu untuk meladeni emosi ini. Mungkin hanya perlu waktu untuk beradaptasi jika memori masa lalu tidak sengaja di-recall kembali, tentang cerita yang pernah terjadi, tentang suka dan duka yang telah dilalui bersama. Tapi ini tidak akan membuatku terluka, karena hakikatnya hidup penuh dengan warna. Ada makna dibalik proses yang terjadi, bersyukur dan ikhlas itu kuncinya.

Rasa sayang Allah lebih besar, banyak hal yang tidak aku ketahui tapi Allah tahu. Allah memberikanku apa yang aku butuhkan, bukan apa yang aku inginkan. Pun banyak dari orang-orang di luar sana yang pernah merasa kecewa seperti apa yang aku rasakan, bahkan dengan stimulus yang lebih besar dari ini. Apa alasanku untuk tidak bersyukur? 

Stimulus itu sifatnya netral. Selanjutnya, interpretasi kitalah yang berperan penting terhadap respon kita. Entah kita akan memilih mempersepsikannya negatif atau positif tergantung pilihan kita. Dan aku menjadikan ini sebagai proses untuk meningkatkan kualitas diriku, menjadikanku lebih baik lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun