Mohon tunggu...
Lulu Sukma Wardani
Lulu Sukma Wardani Mohon Tunggu... Ilmuwan - A Student

Tentang kehidupan, dari sudut pandang Psikologi

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

INI SEDIKIT INFORMASI TENTANG BELAJAR

7 Mei 2015   07:43 Diperbarui: 18 Juni 2015   09:34 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

KALAU TERPAKSA, JANGAN BELAJAR

Perubahan diperoleh melalui belajar. Orang yang belajar tentunya akan berubah. Seseorang tidak dapat dikatakan belajar apabila ia tidak mengalami perubahan. C.T Morga, dalam Introduction to Psychology (1961)merumuskan belajar sebagai “suatu perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku sebagai akibat atau hasil dari pengalaman yang lalu”. Pengertian belajar memang selalu berkaitan dengan perubahan, baik yang meliputi keseluruhan tingkah laku individu maupun yang hanya terjadi pada beberapa aspek dari kepribadian individu. (Sobur, 2010)

Pada masa lalu, ada ahli yang percaya bahwa peristiwa belajar semata-mata merupakan proses kimia yang terjadi dalam sel-sel terutama dalam sel dan saraf otak (Sobur, 2010) sehingga orang tidak akan bisa belajar jika fungsi otaknya terganggu, seperti yang sering dialami, misalnya pusing, sakit kepala dan lain sebagainya. Maka, dituntut untuk balajar tanpa dilandasi dengan paksaan.

Lalu bagaimanakah dengan tugas-tugas yang diberikan guru selama masih dalam jenjang sekolah ataupun dari dosen semasa kita kuliah? Secara umum memang terlihat sangatlah memaksa, namun jika lebih dikhususkan lagi ternyata memiliki makna yang sangat medalam. Memang, perlu dipaksa agar bisa terbiasa nantinya. Tapi, perlu diingat, setiap paksaan harus dilandasi dengan perasaan tulus, bukan karena terpaksa.

Seperti yang telah saya jabarkan sebelumnya bahwa jika otak dalam kondisi kurang baik, tentu tidak akan mampu menerima informasi dan pembelajaran baru. Begitu pun jika dalam kadaan terpaksa, tentunya otak berada pada fase kurang baik. Sebuah faktor yang dapat mempengaruhi kegagalan penyandian adalah faktor stress (Solso, 2007,p.217). Hukum Yarkes-Dodson (Yarkes & Dodson dalam Solso, 2007) mendalilkan bahwa tingkat arousal yang sangat rendah atau sangat tinggi menghambat kinerja memori dan proses-proses kognitif yang lain. Untuk itulah diperlukan adaya kesadaran penuh akan pentingnya kenyamanan otak.

Sekali lagi, otak akan berfungsi dengan semestinya jika dalam kondisi tenang. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa keterpaksaan itu diciptakan oleh diri sendiri. Jadi, dalam kondisi apa pun, bahkan dipaksa sekali pun, asalkan otak tidak terpaksa, pasti pembelajaran itu mudah dilakukan.

Proses yang terjadi dalam lembaga akademis seperti halnya sekolah dan perguruan tinggi merupakan sebuah proses yang diharapkan dapat membawa perubahan nantinya. Hal ini hanya bisa berarti bagi orang-orang yang mau mengartikannya. Sedangkan bagi orang-orang yang tak ingin berusaha mengartikannya, perlahan demi perlahan pasti akan mundur.

Paksaan, yang diduga menjadi makanan sehari-hari dalam proses akademik dijadikan sebuah ajang untuk berpasrah diri. Kebanyakan orang senantiasa hanya menjalani tanpa menginterpretasikan maknanya dengan penuh arti. Inilah yang seringkali dihadapi kebanyakan orang. Perlu ditegaskan lagi, bahwasanya jika paksaan itu tidak dilandasi atas keterpaksaan tentunya akan membuahkan hasil yang manis.

Setiap orang memiliki kacamata yang sama dalam hal ini, tetapi yang menjadi permasalahannya apakah kacamata itu mereka pergunakan sesuai fungsiya ataukah hanya menjadi simpanan saja. Orang yang menggunakan kacamata itu ketika mengikuti langkah awal ini, tentunya akan merasakan suatu kekuatan yang sangat dahsyat. Ia pasti akan menikmati setiap perjalannya dengan perasaan bahagia.

Kacamata ini adalah kacamata “positive thinking”, ia bisa digunakan kapan saja dan di mana saja, justru ia sangat dituntut untuk dipergunakan dalam setiap langkah yang ditempuh setiap orang. Khususnya, untuk mempersiapkan pemuda-pemuda bangsa yang hebatlah yang sepatutnya mempergunakan perannya secara tepat dan menggunakan kacamata “positive thinking” tadi.

 

PROGRAM AKSELERASI, MEDIA PEMBELAJARAN EFEKTIF BAGI SISWA TERPILIH

Indonesia saat ini sedang dilanda bencana sistem pendidikan yang begitu rumit. Belum adanya jawaban atas ketidakjelasan sistem pendidikan yang terdahulu kini muncul fatamorgana yang membuka permasalahan baru bagi masyarakat Indonesia khususnya kalangan civitas akademika. Aroma yang lebih hangat berbicara masalah kurikulum baru yang belum sempat tenar di kalangan pendidikan, namun beredar isu akan dihilangkan karena alasan tertentu. Beberapa waktu sebelum itu justru telah beredar isu mengenai sebuah program yang selama ini telah digunakan di berbagai sekolah di Indonesia untuk memfasilitasi anak yang berbakat, yaitu melalui program akselerasi (percepatan).

Adanya kelas akselerasi ini didasari oleh teori perbedaan individu yang menjelaskan bahwa kemampuan anak memang berbeda, hal ini lah yang kemudian dapat membedakan masa atau waktu belajar. Program ini sebenarnya memiliki tujuan khusus yang dapat memberikan manfaat yang besar bagi bangsa Indonesia sendiri dan juga sebagai salah satu usaha perbaikan pembelajaran di Indonesia yang bertujuan meningkatkan mutu pendidikan.

Program akselerasi (percepatan) merupakan sebuah program yang memberikan fasilitas khusus kepada anak-anak yang berbakat berupa masa belajar yang lebih singkat dari masa belajar pada umumnya.  Program ini merupakan pemberian layanan pendidikan sesuai potensi anak yang memiliki kecerdasan dan kemampuan belajar yang tinggi. Hal ini sesuai Undang-Undang no 20 pasal 5 ayat 4 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menegaskan bahwa "Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus", dan Permendiknas no. 34/2006 tentang Pembinaan Prestasi Peserta Didik yang memiliki Potensi Kecerdasan dan / atau Bakat istimewa.

Anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa perlu mendapatkan penanganan dan program khusus, sehingga potensi kecerdasan dapat berkembang secara optimal. Apabila anak-anak berbakat tersebut diberi layanan sesuai dengan keadaan masing-masing, tentunya tidak akan memperoleh hasil yang luar biasa dan tidak berbeda dengan yang lain (monoton). Namun perlu diingat kembali, program akselerasi ini hanya diberikan kepada anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa untuk dapat menyelesaikan masa belajarnya lebih cepat dari anak yang lain (program regular). Akan tetapi, hal ini tentunya memunculkan pro dan kontra di kalangan akademis dan juga non-akademis.

Permasalahannya, kelas akselerasi dapat mempertajam kesenjangan sosial dengan anak yang berada di kelas reguler. Ketika anak-anak berbakat itu difasilitasi dan tumbuh dalam kelas tersendiri, mereka terbiasa menjalin hubungan dalam lingkungan kelas homogen. Padahal, dalam sekolah tersebut ada kelas reguler atau non akselerasi. Terkadang anak  juga memiliki anggapan diri mereka istimewa dan lebih pintar dari teman-teman lainnya. Ada juga yang berpendapat bahwa anak di kelas akselerasi terlihat kurang komunikasi, kurang bergaul, selain itu anak mengalami stress, tegang, dan tidak suka pelajaran olahraga atau kontra terhadap pelaksanaan akselerasi.

Hal ini memang sesuai juga dengan beberapa pengalaman yang penulis temukan. Banyak dari teman-teman penulis yang mengikuti kelas akselerasi dan mereka kemudian mengeluhkan pengalaman yang dialami selama mengikuti kelas tersebut. Mereka mengatakan bahwa mengikuti program akselerasi tersebut telah menguras banyak waktu dan pikiran sehingga mereka hanya memiliki waktu yang sedikit untuk mengembangkan potensi lain dalam bidang ekstrakurikuler. Mereka juga mengatakan bahwa mereka kurang mampu menyesuaikan diri terlalu jauh dengan sistem fullday yang diberikan, ditambah lagi padatnya informasi yang masuk ke otak dalam waktu yang singkat terkadang membuat mereka kewalahan. Selain itu, mereka mengakui adanya kesenjangan sosial yang terjadi antara mereka dengan  teman-teman pada kelas lain atau kelas reguler.

Akan tetapi, tidaklah tepat jika program akselerasi ini dihapuskan. Walaupun hanya seperti angin lewat yang bahkan sebatas fatamorgana, permasalahan mengenai isu penghapusan program akselerasi ini sedikit tidak telah menguras pikiran sebagian dari ahli pendidikan. Ketidakkonsistenan pemerintah jika penghapusan ini benar dilakukan dan tidak ada solusi khusus untuk menggantikannya justru akan membuka peluang baru munculnya permasalahan besar bagi bangsa Indonesia karena hal ini berkaitan langsung dengan masa depan bangsa beserta calon penerusnya.

Penghapusan program akselerasi bukan merupakan pilihan yang tepat karena akan menghapus hak anak itu sendiri, khususnya bagi anak-anak yang berbakat. Padahal, mengenai hal ini program akselerasi juga memiliki payung hukum tersendiri, seperti yang telah dijabarkan diawal tadi yaitu Undang-Undang no 20 pasal 5 ayat 4 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Permendiknas no. 34/2006 tentang Pembinaan Prestasi Peserta Didik yang memiliki Potensi Kecerdasan dan / atau Bakat istimewa. Selain itu juga terdapat dalamPeraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan, Pasal 134 (ayat 1) : “Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berfungsi mengembangkan potensi keunggulan peserta didik menjadi prestasi nyata sesuai dengan karakteristik keistimewaannya”.

Namun sebenarnya, permasalahan-permasalahan seperti di atas dan perselisihan yang terjadi dalam masyarakat mengenai pro dan kontra dari program akselerasi ini sebenarnya dapat terjawabkan dengan menelusuri tujuan awal dari terbentuknya program akselerasi itu sendiri. Adanya program pengganti akselerasi yang terdapat dalam kurikulum 2013 juga harus perlu ditelaah lagi dengan baik agar tidak terjadi kejanggalan dan kesalahan yang dapat mengancam keselamatan dunia pendidikan di Indonesia.Permasalahan-permasalahan tersebut tidak akan terjadi atau paling tidak dapat diminimalisir jika:

  1. Seleksi yang dilakukan benar-benar sesuai dengan persyaratan yang seharusnya dipenuhi oleh anak-anak yang ingin mengikuti program akselerasi.
  2. Selain seleksi persyaratan, perlu adanya seleksi khusus berupa tes kemampuan dan beberapa tes psikologi yang diperlukan
  3. Pihak sekolah telah memiliki izin untuk membuka program akselerasi dan telah menyiapkan hal-hal yang dibutuhkan untuk mengadakan program ini
  4. Guru-guru yang mengajar di kelas akselerasi juga harus dipersiapkan dan dibekali kemampuan khusus agar mampu melaksanakan pembelajaran sesuai dengan acuan yang berlaku untuk kelas akselerasi
  5. Anak-anak yang mengikuti program ini diberikan kesempatan untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sehingga mereka dapat menjalin hubungan sosial dengan kelas non-akselerasi atau kelas reguler

Adanya program pengganti akselerasi yang terdapat dalam kurikulum 2013 juga harus perlu ditelaah lagi dengan baik agar tidak terjadi kejanggalan dan kesalahan yang dapat mengancam keselamatan dunia pendidikan di Indonesia. Dengan demikian, diharapkan program ini terus dilanjutkan dengan mempertimbangkan hal-hal seperti di atas. Program akselerasi bisa menjadi sebuah inspirasi yang menakjubkan bagi anak-anak yang belum memiliki kemampuan di atas rata-rata dan juga bagi kemajuan pelaksanaan program pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun