Tulisan ini saya dedikasikan untuk pesantren tercintaku, yakni Pesantren KH. Zainal Musthafa Sukamanah yang berada di Kab. Tasikmalaya. Selain itu, saya ingin mengabadikan kenangan saya selama menjadi santri di sana sampai sekarang. Kenapa saya katakan sampai sekarang? Karena sampai kapan pun identitas saya sebagai santri Sukamanah akan terus melekat sampai hari kiamat (itu yang saya harapkan agar saya bisa tetap menyambung tali keberkahan ilmu dan berkumpul bersama guru-guru juga para mujahid Sukamanah di surga kelak, aamiin).
Boleh dikatakan jikalau saya dahulu tidak mondok, mungkin ntah bagaimana kehidupan saya sekarang. Antara terapung di tengah lautan tanpa tujuan ataupun tenggelam di dalamnya. Untung saja skenario Allah begitu indah bagi seluruh hamba-Nya. Sehingga satu kenikmatan yang begitu agung dapat merasakan bagaimana menjadi seorang santri.
Selepas lulus dari sekolah dasar, Ibu saya langsung menempatkan saya di Pesantren Sukamanah. Dengan harapan dapat menimba ilmu agama yang bermanfaat dunia dan akhirat. Awal mula masuk pesantren, tentu sebagai santri baru akan mengalami fase dimana kehidupan berubah total. Tanpa pengurusan orang tua kandung secara langsung adalah hal yang memerlukan adaptasi yang relatif panjang. Tidak betah, banyak masalah dengan diri sendiri dan orang lain, ingin pulang ke rumah, dan lain sebagainya. Setahun berlalu sudah, di tahun kedua (yakni kelas 8 MTs) sempat memutuskan untuk keluar dari pesantren dan hanya ngaji di kampung halaman (modusnya mah wkwkwk) yang padahal belum tentu akan mendapatkan kurikulum terbaik sebagaimana di pesantren dan belum tentu hadir di pengajiannya juga wkwkwkwk....
Namun, untung saja Ibu saya memberikan kelonggaran dan pilihan terhadap keputusan yang akan saya ambil tersebut. Karena seperti itu, saya jadi mikir dua kali dong. Kalau saya keluar, toh nanti pun teman seangkatan saya umurnya masih sama tapi mungkin dalam hal keilmuan pasti berbeda. So, saya pun mengurungkan kembali rencana keluar dari pesantren dan menjalani pendidikan kembali.
Di kelas 8, saya pernah bercermin lama dan mengajak diri sendiri. Lalu bertanya "apa rencanamu selanjutnya di tahun kedua ini? Fase kelas 7 sudah terlewati dan kamu masih tetap hidup bahkan bertumbuh". Akhirnya saya menulis semua rencana dan cita-cita yang saya inginkan di kelas 8 tersebut. Dulu mungkin prestasi sederhana yang dapat memacu untuk semangat belajar adalah juara kelas (di sekolah) dan juara marhalah (di pesantren). Akhirnya jiwa-jiwa ambisius itu membara.
Namun, lagi dan lagi.... melihat orang lain lebih hebat dari kita itu beuh hantaman mentalnya bukan main wkwkw (mungkin sekarang kita mengenal istilah insecure).
Dipikir-pikir... apa yang hal yang membuat kita itu bisa lebih unggul dari yang lain? Kalau hanya juara kelas dan marhalah yang jadi tujuan, hal itu kiranya terlalu sempit. Karena belum tentu yang juara itu adalah yang terbaik. Mereka hanya terbaik dalam segi nilai pelajaran. Meskipun tentu usaha mereka yang juara itu dalam belajarnya habis-habisan.
Akhirnya disela-sela ambisius saya dalam meraih juara pun saya iringi dengan mencoba memerhatikan bagaimana cara berpikir seseorang dalam belajar. Alhasil, saya sempat mendapat kesimpulan bahwa ada sebagian siswa yang dia itu tidak mengejar nilai pelajaran. Namun, dia mengambil banyak hikmah, dasar-dasar teori, dan hal unik yang tidak dapatkan oleh orang lain. Meskipun dia tidak tampil sebagai juara tapi dia tampil sebagai ahli dalam memiliki softskill.Â
Karena masih bingung mau jadi apa? So, saya hanya bisa berusaha memaksimalkan apa yang sedang menjadi kurikulum di pesantren dan sekolah. Pada akhirnya, satu yang menjadi nilai lebih dari yang lain yaitu punya ketertarikan dan aksi yang lebih dalam tahfizh al-Qur'an. Meskipun dalam kurikulum pendidikannya Pesantren Sukamanah itu adalah pondok salaf (yang cenderung mengkaji kitab kuning atau lebih dikenal pesantren alat).
Namun, karena dulu saya teringat pernah bertanya pada Ibu saya "bu kalau nanti udah hafal al-Qur'an harus ngafal artinya juga dong? Atuh pasti lebih banyak, berarti enak jadi orang arab ya...mereka ngafal al-Qur'an otomatis tau artinya?". Akhirnya di Pesantren Sukamanah lah saya menemukan alat atau kuncinya agar ketika menghafal al-Qur'an otomatis tahu juga artinya bahkan paham bagaimana maknanya. Yaitu ilmu alat tadi, pelajaran nahwu-shorof-balagah adalah kunci dasar dalam memahami bahasa arab dan bahasa al-Qur'an yang turun ke bumi adalah bahasa Arab.
Setahun berlalu di kelas 8, atas rahmat-Nya yang luas saya pun ditakdirkan untuk mengikuti lomba dalam bidang keagamaan khususnya tahfizh al-Qur'an. Walaupun jujur saja hafalan waktu itu pun belum terlalu banyak dan kuat. Tapi karena sering latihan dan dibimbing guru-guru alhasil kemenangan pun dapat diraih. Sehingga dengan hal itu pun membuat cap saya sebagai hafizh al-Qur'an. Ketika itu saya masih polos-polos saja dan hanya bisa berharap kepada-Nya semoga cap tersebut bisa menjadi do'a. Hal inilah yang perlu sebenarnya perlu saya waspadai lebih intensif. Karena di cap sebagai santri yang baik itu bukan main ujiannya. Setan dari arah mana pun membisikkan untuk riya, sombong, merasa paling pintarlah, dan lain sebagainya.
Singkat cerita, semakin betah saja rasanya menghafal al-Qur'an diiringin dengan belajar ilmu alat dan tafsirnya. Sebagai penutup, saya hanya ingin menghimbau kepada orang tua dan teman-teman semua yang sedang menempuh pendidikan di pesantren bahwa kehidupan menjadi santri banyak memberikan perubahan yang signifikan khususnya dalam bidang agama.
Maka dari itu, hati-hatilah dengan tanah sejarah Sukamanah. Jika kamu bersungguh-sungguh di dalamnya maka bersiaplah dianggap menjadi seorang tokoh dan akan digemari para santri, khususnya santri al-Muna wkwkwkw (jika kita sebagai laki-laki). Itu hanya candaan, tidak perlu tujuan utama. Nanti saya akan bahas di artikel lain tentang lika-liku hubungan asrama dan kelucuan santri dah wkwkw.
Tentu banyak kegagalan yang saya alami dan juga ingin saya sesalkan. Salah satunya sampai saat ini belum bisa menjadi hafizh al-Qur'an yang sesungguhnya. Sedangkan cap tersebut sudah menyebar luas di kalangan masyarakat, apa dan bagaimana pertanggung-jawabannya? Terlebih lagi di hadapan Tuhan yang Maha Kuasa
Namun, untung dan untung lagi... di perjalanan pendidikan saya ini bisa melanjutkan di al-Azhar asy-Syarif yang menjadi pusat pendidikan agama Islam dengan ajarannya yang moderat. Andaikan saja saya tidak mondok Pesantren Sukamanah tentu belajar di tanah air lebih bagi saya. Karena untuk mengarungi lautan ilmu di Mesir harus memiliki dasar-dasarnya, yang paling krusial adalah bahasa Arab. Terima kasih Sukamanah, tanah sejarah yang penuh berkah. Tanpa jasamu mungkin saya akan banyak lengah. Pokoknya mondon di pesantren adalah hal wajib kalian alami selama hidup di dunia ini.
Sekali lagi saya tegaskan bahwa tulisan ini bukan untuk mendeskripsikan siapa saya, bukan untuk mengklasifikasi mana santri yang baik dan kurang baik ataupun dugaan negatif lainnya. Melainkan semata-mata untuk menceritakan sedikit kenangan saya selama di pesantren dan ada harus yang di harus diwaspadai oleh semua santri yang sedang berada di posisi naik daun bahwa popularitas manusia itu tidak begitu penting dan tidak harus menjadi tujuan.Â
Maka dari itulah berhati-hati terhadap diri sendiri. Begitu pula saran kepada teman-teman yang sedang mondok di pesantren jangan sia-siakan fase tersebut karena waktu tidak bisa terulang walaupun nol koma detik. Yang terpenting bagi santri itu adalah ridho gurunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H