Mohon tunggu...
A. Sukma Asar
A. Sukma Asar Mohon Tunggu... Penulis - Telah menulis beberapa cerpen dan buku fiksi.

Seorang ibu rumah tangga yang menyukai dunia literasi. Hobi ini terus ia cintai sampai sekarang. Beberapa cerpen telah tayang di media Fajar dan telah menelurkan buku fiksi dan cerita anak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Demi Ibu

10 Juli 2024   10:03 Diperbarui: 10 Juli 2024   10:06 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

DEMI IBU

Cerpen A. Sukma Asar

Sebuah foto berbingkai kayu berukir dan berukuran besar diletakkan persis di dekat kepalamu.

Fotomu itu memakai seragam putih sebagaimana profesimu sebagai tenaga medis profesional. Kamu tersenyum seolah-olah mengabarkan kepada semua orang yang datang pada hari ini bahwa kamu benar-benar telah bebas dari aktifitas duniawimu. Purna tugas pun telah kamu jalani, tepat setahun lebih dua bulan sebelum kepergianmu. Pada fotomu bagian bawah tertulis namamu: Maria Angkasa.

Kepergianmu hanya formalitas menuju alam keabadian sebagai keharusan mengikuti suratan takdir. Kepergianmu hanya sebuah momen penanda bahwa semua yang hidup di dunia akan pergi menghadap Sang Pencipta. Tanpa tarik ulur, tanpa ganggu gugat.

Acara melayat di hari ini terbilang sangat ramai. Tenda lebar yang memenuhi separuh jalanan depan rumahmu, cukuplah menampung orang-orang yang sebentar lagi akan mengiringimu ke liang lahat.

Para pelayat silih berganti datang memberi belasungkawa dan doa. Wajah-wajah mereka bermuram-durja, berlumur sedih. Itu artinya kamu adalah orang baik di mata mereka.

Tubuhmu yang terbujur kaku, sebenarnya telah meninggalkan beberapa paragraf nelangsa kepada Sinta dan Tuti. Seharusnya jauh sebelum kamu pergi, tirai maaf di antara kalian sudah luruh serendah-rendahnya.

*

"Kalau kalian tidak suka keputusan Ibu menikah, kamu boleh keluar dari rumah ini!"

Sungguh! Kamu seperti tidak menyadari bahwa ucapan-ucapanmu itu meruntuhkan rasa hormat anak-anakmu kepadamu. Kamu mencambuk rasa kasihnya kepadamu lalu meninggalkan lubang perih di palung hati mereka. Kamu selalu memaksakan kepentingan atas anak-anakmu. Dan puncak egoismu itu saat kamu memutuskan menikah tanpa meminta persetujuan mereka. Kamu lebih senang akan kedatangan dua anak perempuan yang katamu kecantikannya mirip bidadari, yang nyata-nyata mereka bukan lahir dari rahimmu. Mereka anak-anak dari lelaki yang akan menikahi kamu. Kamu itu sungguh terlalu, Maria!

Sungguh kamu telah menyakiti anak-anak yang menyayangimu, patuh, rajin dan senantiasa menurut apa katamu. Bahkan yang sulung sebentar lagi akan menyandang gelar dokter. Tapi kamu abaikan semuanya itu. Hanya sekali ini saja keduanya menentangmu, lalu kamu tega mendirikan tembok ketidakadilan. Sebab cinta telah membuatmu buta, buta, Maria!

Sinta dan Tuti adalah mutiaramu. Mereka sudah dewasa. Kamu memutuskan menikah lalu memaksa mereka menerima pilihanmu. Kalau pun mereka merasa tidak setuju dengan pilihanmu, itu karena calon suamimu tidak sepadan dengan usiamu yang hanya setahun di atas usia Sinta. 

Dua hari acara resepsimu berlalu, terjadilah puncak perdebatan hebat kamu dengan Sinta dan Tuti. Mereka telah memutuskan pergi. Dan kamu tidak menghalangi. Benar-benar logikamu sudah runtuh berantakan!

*

Setahun Sinta dan Tuti menjauh darimu, kamu mengejutkan keduanya dengan kondisimu yang sudah parah. Dua bulan terakhir, kamu memang tidak pernah mengabari mereka keadaan kesehatanmu. Padahal sakitmu itu telah dihapal oleh Sinta dan Tuti. Tapi setiap mereka bertamu ke rumahmu, dua orang bidadarimu itu menyambut mereka dengan wajah yang tak sedap. Sejak saat itu, Sinta dan Tuti sudah jarang ke rumahmu.

Tetapi ketika kamu dirawat di rumah sakit, hanya Sinta dan Tuti yang bolak-balik menemanimu. Mereka sungguh sangat menghawatirkanmu.

Sinta dan Tuti menangis sejadi-jadinya. Sinta sampai cuti kuliah dan Tuti beberapa kali minta izin di sekolahnya untuk menungguimu di rumah sakit. 

Sebagai calon dokter, Sinta sangat paham kondisimu. Ia merasa hidupmu tak lama lagi. Ya, kamu sudah sangat lemah. Alat-alat medis yang menempel di tubuhmu tak banyak membantu lagi. Selang-selang kecil yang membantumu bernapas dan memasukkan berbagai jenis obat seolah-olah angkat tangan. Menyadari itu, Sinta dan Tuti tidak pernah lagi menjauh darimu. Mereka tak pernah mau melepaskan genggamannya di jari-jarimu sambil melafazkan doa-doa untukmu. Air mata mereka menganak sungai di kedua pipinya selama beberapa malam. Pandangan mereka tidak mau lepas pada elektrokardiograf di samping kepalamu. 

Keesokan harinya, ketika azan subuh berkumandang, kamu sudah sangat lemah, pandanganmu kosong dan semua tubuhmu sudah tak berdaya menghadapi dunia. Kamu sudah pasrah, berserah diri pada Penciptamu. Hanya Sinta dan Tuti yang membersamai embuskan napas terakhirmu dengan kalimat syahadat. 

Sebagai anak, seluruh rasa sakit hatinya selama ini tergerus sudah. Mereka menangis sejadi-jadinya di sisi tubuhmu yang sudah ditinggal napas. Sementara kedua anak bidadarimu di rumah tidak peduli, hanya senyum-senyum mendengar kepergianmu.

***

Setelah salat azar, jenazahmu akan disalatkan di masjid. Di samping kanan dan kirimu hanya ada Sinta dan Tuti yang sedari tadi meluberkan air mata, mengaji, berzikir dan melafazkan doa-doa untukmu. Mereka sungguh ikhlas memaafkanmu, Maria.

***

https://bit.ly/KONGSIVolume1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun