Sungguh kamu telah menyakiti anak-anak yang menyayangimu, patuh, rajin dan senantiasa menurut apa katamu. Bahkan yang sulung sebentar lagi akan menyandang gelar dokter. Tapi kamu abaikan semuanya itu. Hanya sekali ini saja keduanya menentangmu, lalu kamu tega mendirikan tembok ketidakadilan. Sebab cinta telah membuatmu buta, buta, Maria!
Sinta dan Tuti adalah mutiaramu. Mereka sudah dewasa. Kamu memutuskan menikah lalu memaksa mereka menerima pilihanmu. Kalau pun mereka merasa tidak setuju dengan pilihanmu, itu karena calon suamimu tidak sepadan dengan usiamu yang hanya setahun di atas usia Sinta.Â
Dua hari acara resepsimu berlalu, terjadilah puncak perdebatan hebat kamu dengan Sinta dan Tuti. Mereka telah memutuskan pergi. Dan kamu tidak menghalangi. Benar-benar logikamu sudah runtuh berantakan!
*
Setahun Sinta dan Tuti menjauh darimu, kamu mengejutkan keduanya dengan kondisimu yang sudah parah. Dua bulan terakhir, kamu memang tidak pernah mengabari mereka keadaan kesehatanmu. Padahal sakitmu itu telah dihapal oleh Sinta dan Tuti. Tapi setiap mereka bertamu ke rumahmu, dua orang bidadarimu itu menyambut mereka dengan wajah yang tak sedap. Sejak saat itu, Sinta dan Tuti sudah jarang ke rumahmu.
Tetapi ketika kamu dirawat di rumah sakit, hanya Sinta dan Tuti yang bolak-balik menemanimu. Mereka sungguh sangat menghawatirkanmu.
Sinta dan Tuti menangis sejadi-jadinya. Sinta sampai cuti kuliah dan Tuti beberapa kali minta izin di sekolahnya untuk menungguimu di rumah sakit.Â
Sebagai calon dokter, Sinta sangat paham kondisimu. Ia merasa hidupmu tak lama lagi. Ya, kamu sudah sangat lemah. Alat-alat medis yang menempel di tubuhmu tak banyak membantu lagi. Selang-selang kecil yang membantumu bernapas dan memasukkan berbagai jenis obat seolah-olah angkat tangan. Menyadari itu, Sinta dan Tuti tidak pernah lagi menjauh darimu. Mereka tak pernah mau melepaskan genggamannya di jari-jarimu sambil melafazkan doa-doa untukmu. Air mata mereka menganak sungai di kedua pipinya selama beberapa malam. Pandangan mereka tidak mau lepas pada elektrokardiograf di samping kepalamu.Â
Keesokan harinya, ketika azan subuh berkumandang, kamu sudah sangat lemah, pandanganmu kosong dan semua tubuhmu sudah tak berdaya menghadapi dunia. Kamu sudah pasrah, berserah diri pada Penciptamu. Hanya Sinta dan Tuti yang membersamai embuskan napas terakhirmu dengan kalimat syahadat.Â
Sebagai anak, seluruh rasa sakit hatinya selama ini tergerus sudah. Mereka menangis sejadi-jadinya di sisi tubuhmu yang sudah ditinggal napas. Sementara kedua anak bidadarimu di rumah tidak peduli, hanya senyum-senyum mendengar kepergianmu.
***