Sembilan tahun kemudian.
Tirta dan Bulan sudah menjadi siswa SMP Panca Sakti. Mereka adalah anak-anak yang cerdas dan rendah hati. Keterampilan yang diajarkan ibunya sejak balita mengantar keduanya menjadi anak-anak hebat yang berprestasi.
Tirta terus mengasah kemampuannya menjadi seorang pelukis dan Bulan pun kini telah menjelma menjadi seorang penulis buku di usianya yang masih belia.
Ketika ada kompetisi nasional, keduanya sangat berambisi ikut serta. Mariana hanya bisa memberi doa bagi kedua anaknya. Alhasil, Tirta dan Bulan menjadi juara dan mewakili sekolah mereka untuk berkompetisi di ajang internasional.
Air mata Mariana serupa hujan, jika ia tidak menerima takdir Tuhan atas keberadaan Tirta dan Bulan, mungkin ia akan menjadi orang yang kufur nikmat.
Tetapi beruntunglah di kamar perawatannya dulu seorang wanita mau mengajak dirinya menjemput semua takdir Tuhan dengan hati lapang.
"Terima kasih orang baik," ucap Mariana sekali lagi.
*
Tiba di rumah, Mariana tak dapat menahan diri. Ia bergegas membawa Tirta dan Bulan ke dinding di depan kamarnya. Air matanya berserak tak ia peduli.
"Daeng! Anak-anak kita telah memberiku kebahagiaan. Ini piala mereka." Sepuluh jemarinya mengusap foto buram Darming, suaminya.
***