Mohon tunggu...
Sukma WijayaHasibuan
Sukma WijayaHasibuan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum UIN Jakarta

Saya merupakan mahasiswa hukum dari program studi Hukum Pidana Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, saya mahasiswa yang tertarik dengan dunia organisasi, juga senang dibidang riset, atau mendraf khsusnya dibidang hukum, disamping itu sebagai mahasiswa, saya juga mengagumi permainan musik seperti gitar, di dalam didunia pendidikan saya senang mempelajari hal-hal baru dan menuliskan ide-ide diberbagai platform, terlepas dari pada itu saya juga selalu meng up-grade keterampilan komunikasi sehingga menjadi lebih baik lagi. Dengan demikian saya ingin merepresentasikan keilmuan saya khususnya dibidang hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Eksistensi Undang-Undang Cipta Kerja Pasca Putusan MK

19 Maret 2022   11:37 Diperbarui: 19 Maret 2022   11:46 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

EKSISTENSI UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA PASCA PUTUSAN MK NOMOR 91/PUU-XVIII/2020

Pada hakikatnya problematika hukum undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang cipta kerja yang sangat akrab di telinga kalangan masyarakat umum dengan sebutan omnibus law banyak menuai polemik di berbagai sivitas akademik diantaranya adanya problematika terkait instrumen hukum yang dibangun dinilai tidak sejalan dengan konstitusi tertinggi atau bersifat inkonstitusional terhadap UUD Tahun 1945.

Di samping itu terkait proses pembentukannya sangat minim terhadap partisipasi publik atau rendahnya kualitas partisipasi publik terkait proses pembahasan undang-undang cipta kerja, yang demikian sejatinya prinsip dasar dalam menerapkan suatu produk undang-undang agar mendapatkan legitimasi dari masyarakat setempat sehingga dia lahir atas proses institusionalisasi dari volkgeist atau jiwa bangsa masyarakat.

Kendatipun undang-undang cipta kerja ini banyak menuai penolakan dari kalangan  para sivitas akademika dan masyarakat, tetap tidak dapat membendung motivasi pemerintah untuk tetap membentuk undang-undang cipta kerja ini meskipun di undangkannya pada tahun 2020 silam bersamaan ditengah-tengah masa pandemi covid-19 yang banyak memakan korban dan menjadikan status negara sebagai tanggap darurat

Namun hal demikian tidak menutup semangat dari kalangan masyarakat untuk menegakkan keadilan sebagai panglima hukum tertinggi di suatu negara hukum.  Berbagai tindakan telah di lalui barbagai diskusi publik telah di laksanakan dan berbegai mobilisasi gerakan massa untuk turun kejalan telah usai di lakukan namun belum menuai hasil yang maksimal, hal ini sejalan dengan filosofi adagium when injustice becomes law resistance becomes duty bahwa ketika ketidak adilan menjadi hukum, perlawanan adalah kewajiban.

secara praktek terkait metode penyusunan omnibuslaw jika ditinjau dari prinsip hukum yang ada didalam sistem hukum negara Indonesia sebagai penganut civil law system  pada prakteknya tidak di atur secara komprehensif mengenai mekanisme pembentukan dengan metode omnibuslaw khususnya di dalam norma hukum undang-undang nomor 15 tahun 2019 tentang perubahan atas undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai undang-undang rujukan dalam membentuk sebuah undang-undang dalam perspektif dari kamus Black’s Law Dictionary bawa omnibus law  adalah “relating to or dealing with numerous objects or items at once; including many things or having various purposes” yang dapat diartikan sebagai menggabungkan beberapa hal menjadi satu.

adapun persoalan adanya judicial riview terkait UU Cipta Kerja ini bahwa sejatinya  Mahkamah Konstitusi merupakan pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin konstitusi sebagai hukum tertinggi agar dapat ditegakkan, sehingga Mahkamah Konstitusi adalah pengawal konstitusi ( the guardian of the constitution), sehingga lembaga inilah yang memiliki kedudukan sebagai penafsir terakhir konstitusi ( the final interpreter of the constitution). Dimana salah satu fungsi dari mahkamah konstitusi adalah untuk melindungi hak konstitusional warga negara.[1]

Adapun sejumlah pemohon yang telah terdaftara di Mahkamah Konstitusi pasca pengundangan undang-undang cipta kerja adalah sebanyak 12 pemohon. Dari sejumlah pihak yang mengajukan permohonan uji materil maupun formil yaitu dari dua belas (12) jumlah pemohon terdapat sebelas (11) pemohon dalam gugatannya tidak dapat diterima karena kehilangna objek dan tidak memiliki legal standing atau di anggap N.O. oleh Mahkamah Konstitusi dan hanya ada satu permohonan yang dikabulkan untuk sebagian terhadap uji formil dari undang-undang cipta kerja.

Adapun Putusan MK yang menyatakan bahwa undang-undang nomor 11 tahun 2020 adalah bersifat inskonstitusional bersyarat atau conditionally constitutional yaitu suatu undang-undang atau bagiannya menjadi konstitusional atau tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945  sepanjang memenuhi syarat yang ditetapkan MK, sebaliknya jika syaratnya tidak dipenuhi menjadi inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD Tahun 1945

Tindakan ini secara konsepsi yuridis menjelaskan kepada publik bahwa hadirnya putusan ini adalah pertama kalinya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi terkait adanya suatu undang-undang secara formil bersifat inkonstituisioal, atas dasar hal tersebut patut untuk di apresiasi. Namun, putusan ini menuai kritikan karena pada prinsipnya secara praktek bahwa MK disini memisahkan antara proses dengan hasil. Jikalau kita amati secara teori bahwa suatu produk hukum apabila telah dinyatakan cacat secara prosedur atau cacat formil maka secara mutatis-mutandis akan mengakibatkan “batal demi hukum.” Makna dari hal ini adalah bahwa proses yang dilakukan sejak awal dia telah cacat hukum atau bertentangan maka segala sesuatu yang dihasilkan atas proses yang inkonstitusional itu akan salah juga kareana dia tidak melalui proes inkonstitusionalisasi dari masyarakat untuk mendapatkan sebuah legitimasi. [2]

 

Dengan demikian terhadap putusan mahkamah konstitusi atas akibat uji formil secara mutatis-mutandis seharusnya batal secara keseluruhan hal ini berbeda dengan uji materil yang yang mencakup khusus norma tertentu.  Sehingga dari rumusan ini terkait eksistensi sebuah undang-undang cipta kerja khususnya putusan ini sesungguhnya bersifat multitafsir karena satu sisi, isi amar dari putusan ini memberikan penafsiran secara gramatikal bahwa undang-undang di satu sisi menyatakan bertentangan dengan konstitusi (amar 3), di sisi lain masih diberlakukan maksimal dua tahun (amar 4) kemudian selanjutnya di satu sisi berlaku dua tahun (amar 4), disisi lain ditangguhkan untuk tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas (amar 7) hal ini lah yang menjadikan sangat sulit dijustifikasi secara hukum.

Makna dari putusan MK adalah  bahwa Pembentukan UU 11/2020 bertentangan dengan UUD 1945, namun jika diperbaiki dalam waktu maksimal 2 (dua) tahun, dapat menjadi tidak bertentangan lagi (inkonstitusional bersyarat atau conditionally unconstitutional). Jika tidak diperbaiki dalam tenggat waktu tersebut, maka menjadi inkonstitusional permanen, dan undang-undang atau materi undang-undang yang sebelumnya dicabut oleh undang-undang 11/2020, menjadi berlaku Kembali. Selama tenggat waktu 2 (dua) tahun masa perbaikan tersebut, undang-undang 11/2020 tetap berlaku, namun terbatas hanya untuk Tindakan dan kebijakan yang tidak strategis dan tidak berdampak luas.

Dari putusan ini kita melihat eksistensi atau keberadaan amar putusan yang cenderung saling bertolak belakang, satu sisi menyatakan masih berlaku tetapi sisi lain memerintahkan penangguhan pelaksanaan tersebut justru berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum yang dapat mengganggu iklim bisnis dan berbagai aksi korporasi.[3] Putusan MK yang dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, justru setelah selesai dibacakan menghadirkan pembelahan pandangan yang tajam tentang bagaimana keberlakuan dan pelaksanaan undang-undang cipta kerja setelah putusan tersebut. Dalam kesempatan ini kita akan di hadapkan dengan ketidakpastian. 

Atas hal tersebut perlu sekiranya  DPR dan DPD harus segera mengambil langkah cepat untuk memberi landasan hukum bagi proses baku pembuatan undang-undang  cipta kerja dengan metode omnibus law, yang menjadi dasar MK menyatakan pembuatan UU Cipta Kerja bertentangan bersyarat dengan konstitusi, dan diberi masa perbaikan selama 2 (dua) tahun.[4] Sehingga eksistensi udang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang cipta kerja akan tertap berlaku jka semua syarakat dipenuhi dan akan batal demik hukum jika syarat yang ditetapkan tidak dilaksanakan dan terpenuhi. 

Kemudian persoalan apakah undang – undang nomor 11 tahun 2020 tentang cipta kerja telah memenuhi rasa keadilan atau  sense of justice ? Dalam hal ini perlu dipahami sejak undang-undang ini dalam proses rancangan dalam hal ini  RUU Cipta Kerja bahwa telah terjadi pengabaian salah satu yang menjadi basis penting dalam pembentukan suatu perundang-undangan yang mana hal ini dibuktikan bahwa rendahnya kualitas partisipasi publik dalam pembahasan serta banyaknya norma-norma yang dinilai bertentangan dengan prinsip hukum. Hal ini juga di pertegas oleh putusan MK selain menggunakan aturan legal formal berupa peraturan perundang-undangan, partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation) sehingga tercipta/terwujud partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh diantaranya masyarakat berhak pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard) kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas[5] 

Disamping itu dari sisis keadilannya Mahkamah Konstitusi dapat memahami persoalan “obesitas regulasi” dan tumpang tindih antar Undang-Undang yang menjadi alasan pemerintah menggunakan metode omnibus law yang bertujuan untuk mengakselerasi investasi dan memperluas lapangan kerja di Indonesia. Namun demikian, bukan berarti demi mencapai tujuan tersebut kemudian dapat mengesampingkan tata cara atau pedoman baku yang berlaku karena antara tujuan dan cara pada prinsipnya tidak dapat dipisahkan dalam meneguhkan prinsip negara hukum demokratis yang konstitusional. Atas hal tersebut undang-undang cipta kerja berdasarkan prinsip keadilan atau  sense of justice  belum memenuhi atau dapat dikatakan bahwa hal ini tidak dapat dijadikan sebagai kristalisasi dari kebutuhan masyarakat karena yang mengenyampingkan partisipasi publik yang pada esensinya sebagai negara hukum bahwa negara berkewajiban untuk mampu melindungi (to protect), menghormati (to respect), dan memenuhi (to fulfill) dari hak-hak warga negaranya.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun