Dengan demikian terhadap putusan mahkamah konstitusi atas akibat uji formil secara mutatis-mutandis seharusnya batal secara keseluruhan hal ini berbeda dengan uji materil yang yang mencakup khusus norma tertentu. Sehingga dari rumusan ini terkait eksistensi sebuah undang-undang cipta kerja khususnya putusan ini sesungguhnya bersifat multitafsir karena satu sisi, isi amar dari putusan ini memberikan penafsiran secara gramatikal bahwa undang-undang di satu sisi menyatakan bertentangan dengan konstitusi (amar 3), di sisi lain masih diberlakukan maksimal dua tahun (amar 4) kemudian selanjutnya di satu sisi berlaku dua tahun (amar 4), disisi lain ditangguhkan untuk tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas (amar 7) hal ini lah yang menjadikan sangat sulit dijustifikasi secara hukum.
Makna dari putusan MK adalah bahwa Pembentukan UU 11/2020 bertentangan dengan UUD 1945, namun jika diperbaiki dalam waktu maksimal 2 (dua) tahun, dapat menjadi tidak bertentangan lagi (inkonstitusional bersyarat atau conditionally unconstitutional). Jika tidak diperbaiki dalam tenggat waktu tersebut, maka menjadi inkonstitusional permanen, dan undang-undang atau materi undang-undang yang sebelumnya dicabut oleh undang-undang 11/2020, menjadi berlaku Kembali. Selama tenggat waktu 2 (dua) tahun masa perbaikan tersebut, undang-undang 11/2020 tetap berlaku, namun terbatas hanya untuk Tindakan dan kebijakan yang tidak strategis dan tidak berdampak luas.
Dari putusan ini kita melihat eksistensi atau keberadaan amar putusan yang cenderung saling bertolak belakang, satu sisi menyatakan masih berlaku tetapi sisi lain memerintahkan penangguhan pelaksanaan tersebut justru berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum yang dapat mengganggu iklim bisnis dan berbagai aksi korporasi.[3] Putusan MK yang dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, justru setelah selesai dibacakan menghadirkan pembelahan pandangan yang tajam tentang bagaimana keberlakuan dan pelaksanaan undang-undang cipta kerja setelah putusan tersebut. Dalam kesempatan ini kita akan di hadapkan dengan ketidakpastian.
Atas hal tersebut perlu sekiranya DPR dan DPD harus segera mengambil langkah cepat untuk memberi landasan hukum bagi proses baku pembuatan undang-undang cipta kerja dengan metode omnibus law, yang menjadi dasar MK menyatakan pembuatan UU Cipta Kerja bertentangan bersyarat dengan konstitusi, dan diberi masa perbaikan selama 2 (dua) tahun.[4] Sehingga eksistensi udang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang cipta kerja akan tertap berlaku jka semua syarakat dipenuhi dan akan batal demik hukum jika syarat yang ditetapkan tidak dilaksanakan dan terpenuhi.
Kemudian persoalan apakah undang – undang nomor 11 tahun 2020 tentang cipta kerja telah memenuhi rasa keadilan atau sense of justice ? Dalam hal ini perlu dipahami sejak undang-undang ini dalam proses rancangan dalam hal ini RUU Cipta Kerja bahwa telah terjadi pengabaian salah satu yang menjadi basis penting dalam pembentukan suatu perundang-undangan yang mana hal ini dibuktikan bahwa rendahnya kualitas partisipasi publik dalam pembahasan serta banyaknya norma-norma yang dinilai bertentangan dengan prinsip hukum. Hal ini juga di pertegas oleh putusan MK selain menggunakan aturan legal formal berupa peraturan perundang-undangan, partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation) sehingga tercipta/terwujud partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh diantaranya masyarakat berhak pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard) kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas[5]
Disamping itu dari sisis keadilannya Mahkamah Konstitusi dapat memahami persoalan “obesitas regulasi” dan tumpang tindih antar Undang-Undang yang menjadi alasan pemerintah menggunakan metode omnibus law yang bertujuan untuk mengakselerasi investasi dan memperluas lapangan kerja di Indonesia. Namun demikian, bukan berarti demi mencapai tujuan tersebut kemudian dapat mengesampingkan tata cara atau pedoman baku yang berlaku karena antara tujuan dan cara pada prinsipnya tidak dapat dipisahkan dalam meneguhkan prinsip negara hukum demokratis yang konstitusional. Atas hal tersebut undang-undang cipta kerja berdasarkan prinsip keadilan atau sense of justice belum memenuhi atau dapat dikatakan bahwa hal ini tidak dapat dijadikan sebagai kristalisasi dari kebutuhan masyarakat karena yang mengenyampingkan partisipasi publik yang pada esensinya sebagai negara hukum bahwa negara berkewajiban untuk mampu melindungi (to protect), menghormati (to respect), dan memenuhi (to fulfill) dari hak-hak warga negaranya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H