Mohon tunggu...
Sukir Santoso
Sukir Santoso Mohon Tunggu... Penulis - pensiunan guru yang suka menulis

Peduli pada bidang psikologi, sosiologi, pendidikan, seni, dan budaya. Saya merasa tertarik untuk memahami manusia, bagaimana mereka belajar, serta bagaimana pengalaman budaya dan seni dapat memengaruhi mereka. Saya sangat peduli dengan kesejahteraan sosial dan keadilan, dan mencari cara untuk menerapkan pemahaman tentang psikologi, sosiologi, pendidikan, seni, dan budaya untuk membuat perubahan positif dalam dunia ini.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Peristiwa Unik yang Terjadi di Sanden pada Masa Agresi II Belanda di Yogyakarta

18 Agustus 2022   11:07 Diperbarui: 18 Agustus 2022   11:12 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PERISTIWA UNIK DI SANDEN DI MASA AGRESI MILITER KE II BELANDA

Pada tanggal 8 Desember 1947 hingga 17 Januari 1948, terjadilah  perundingan antara wakil pemerintah Republik Indonesia dengan wakil pemerintah Kerajaan Belanda. Perundingan itu dilaksanakan  di atas geladak  kapal Angkatan Laut Amerika yang bernama USS Renville yang pada saat itu sedang berlabuh pelabuhandi Tanjung Priok. Dan selanjutnya perundingan terkenal dengan nama Perjanjian Renville

Perundingan itu dihadiri oleh wakil dari Indonesia dan Belanda. Delegasi indonesia pada perundingan itu Amir Syarifudin,  Haji Agus Salim, Ali Sastroamijoyo, Dr. J. Leimena, Dr. Coatik Len dan Nasrun, dan  Sedang wakil dari Belanda adalah Raden Abdul Kadir Wijoyo Atmojo, Dr. P.J. Koets, H.A.I van Vredenburg, dan Dr. Chr. Soumokil.

Namun hasil Perjanjian Renville itu sangat merugikan Indonesia. Bila menurut istilah Bung Karno wilayah Indoneia tinggal selebar payung, karena wilayah Indonesia yang diakui semakin sempit. Yakni tinggal Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Sumatra,

Disamping itu  Belanda mendirikan negara bagian di wilayah yang masih dianggap sebagai kekuasaannya sebagai negara bonekanya. Bahkan wakil mahkota Belanda Dr. Beel menyatakan dalam siaran radionya, bahwa pemerintah Belanda tidak perlu lagi untuk mentaati isi Perjanjian Renvile.

Dan pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda menyerang Yogyakarta yang saat itu sebagai Ibukota Republik Indonesia dengan pasukan yang sangat besar yang dipimpin oleh Letnan Jendral Spoor. Serangan  ini yang kita catat sebagai Agresi Militer ke II Belanda. Meskipun pihak Belanda sendiri menyebutnya dengan Aksi Polisionil.

Yogyakarta jatuh ditangan Belanda. Bung Karno, Bung Hatta, dan Sutan Syahrir ditangkap.

 Jendral Soedirman sebagai Panglima TNI memutuskan untuk meneruskan perlawanan menghadapi Belanda dengan perang gerilya.

Disamping dengan taktik perang gerilya,  untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda ini juga dilakukan taktik scorched-earth atau taktik bumi hangus. Taktik ini dilakukan dengan menghancurkan fasilitas penting agar tidak dapat digunakan oleh musuh, seperti menghancurkan atau membakar bangunan gedung, kantor, pabrik dan sebagainya.

Taktik Bumi Hangus di Sanden

Di Sanden, yang masih termasuk wilayah Kabupaten Bantul Provinsi Yogyakarta pada saat itu ada bangunan penting di samping kantor kapanewon ada bangunan Asrama peninggalan tentara Jepang dan rumah sakit. Bangunan asrama tentara itu terletak di tanah yang sekarang di tempati untuk SMP Negeri 1 Sanden, kantor Kalurahan Murtigading, Puskesmas Sanden, serta kantor Koramil Sanden.

Atas perintah pimpinan perang gerilya Jendral Soedirman, semua wilayah harus melakukan pembakaran atau penghancuran fasilitas fasilitas penting agar tidak diduduki dan digunakan oleh Belanda.

Di Wilayah Sanden pada saat itu, Penewu Projo Suyoso bersama komandan Komando Onder Distrik Militer (KODM) sersan Palil dan para lurah beserta unsur dari masyarakat mengadakan rapat untuk melaksanakan penghancuran kantor kecamatan, asrama tentara dan rumah sakit.

Tiang tiang pendopo kapanewon sudah di ikat dengan berkas blarak kering (daun kelapa) yang disiram dengan minyak tanah sementara beberapa bom Tarik (Trek Bomb) telah disiapkan di asrama tentara dan rumah sakit. Hanya tinggal menunggu aba dari pak penewu. Tiba-tiba beberapa orang dari unsur masyarakat antara lain Rabun, Sangidu, dan Abdul Manab mengusulkan, agar fasilitas itu tidak dihancurkan dengan dibakar atau diledakkan namun biar dibongkar oleh masyarakat saja supaya bahan-bahan bangunan seperti kayu dan genting dapat dimanfaatkan masyarakat.

Pada awalnya sersan Sakiman dan Sersan Palil tidak setuju dengan alasan bahwa akan terlalu lama dan akan ada kemungkinan serangan Belanda sebelum pembongkaran selesai. Namun setelah perdebatan alot akhirnya baik dari unsur militer maupun pemerintah kapanewon setuju. Namun dengan persyaratan bahwa baik dari militer, punggawa pemerintahan, maupun tokoh masyarakat tidak boleh mengambil barang secuilpun dari fasilitas-fasilitas tersebut. Biar masyarakat umum yang memanfaatkannya.

Setelah kesepakatan itu masyarakat berbondong dengan sukarela membongkar kantor kapanewon, rumah sakit, dan asrama tentara, dengan peralatannya masing-masing.

Dan dalam dua hari pembongkaran selesai dan tinggal beberapa tembok saja yang tersisa. Maka pada saat itu muncul istilah baru bukan bumi hangus tapi BUMI ANGKUT.

Ada yang mendapatkan pintu, jendela, tiang, balungan, tempat tidur, kursi atau meja. Ada pula yang mengambil peralatan dapur dan rumah tangga. 

Ada kejadian yang lucu, karena tidak tahu pispot itu untuk apa, orang yang mendapatkannya mengira itu baskom atau wadah untuk makanan. Sehingga orang itu mengunakannya untuk tempat nasi.

Yogyakarta, Agustus 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun