Teringat puluhan tahun silam. Ortuku tidak mampu membiayaiku untuk melanjutkan sekolah. Akhirnya setelah lulus SMP saya berhenti sekolah. Saya menangis saat itu. Kenapa kami orang miskin tidak diberi kesempatan yang sama untuk lebih terpelajar.
Keinginanku untuk melanjutkan sekolah sangat kuat. Tapi apa daya saya harus bersabar. Setelah lulus SMP saya merantau ke Solo. Saya bekerja sebagai pekerja kasar, penjual susu segar dan profesi berikutnya saya sebagai penjual koran dan loper koran. Saat itu aku menjadi tukang koran, aku mempertimbangkan ulang untuk bersekolah lagi. Akhirnya kuputuskan untuk melanjutkan sekolah di SMA suasta. Di awalnya sebenarnya agak rikuh juga, karena aku termasuk siswa yang tertua.
Sebetulnya, kami sebagai keluarga miskin merasa sedih, ingin melanjutkan sekolah tapi tidak punya biaya. Tapi Alhamdulillah kami diberi kemampuan oleh gusti Allah akhirnya bisa melanjutkan ke sekolah dan mampu kuliah di PTN sampai lulus, dengan biaya sendiri
Berdasarkan kebijakan pemerintah saat ini pembiayaan pendidikan SD sampai SMA Negeri digratiskan. Kebijakan ini jelas sangat menguntungkan bagi keluarga miskin seperti keluarga saya, saat puluhan tahun yang lalu.
Biaya pendidikan gratis menguntungkan bagi kalangan orang miskin. Tapi menurutku bagi orang kaya perlu dilibatkan untuk andil dalam pembiayaan Pendidikan.
Melalui tulisan ini kita bisa refleksi dan saling berbagi pemikiran. Tujuan kita tentu sama, yaitu untuk mencapai kebaikan. Melalui pendidikan kita saling berbagi dan menguatkan terutama masalah pembiayaan. Jadi subsidi silang perlu diterapkan.
Jumlah sekolah negeri yang menerapkan “ free charge for school” atau biaya sekolah gratis semakin bertambah. Sekolah tanpa melakukan pungutan sepeserpun dari siswa untuk keperluan biaya pendidikan.
Keperluan semua jenis buku mengandalkan perpustakaan. Demikian juga tentang seragam. Seragam sekolah atau pun seragam olahraga, juga tidak disediakan di sekolah. Orang Tua siswa harus berusaha sendiri. Sekali lagi ini ada sisi positifnya, mereka bebas memilih kulaitas kain seragam. Jadi tidak memberatkan.
Sebagai refleksi, sisi positif perlu dipertahankan. Namun sisi negatif dari program pendidikan gratis, kita perlu Solusi terbaik, dengan alasan antara lain:
Pertama
Karena biaya pendidikan anaknya gratis, wali siswa atau orang tua kurang berani menuntut banyak tentang perkembangan atau kemajuan kognitif, afektif dan psikomotorik siswa, karena orang tua sadar sekolah gratis kok minta "neko-neko". Kami yakin di antara beberapa orang tua ragu-ragu setelah melihat nilai yang tercantum di rapor.
Wali siswa pasti ada yang bertanya -tanya apakah nilai rapor itu sebagai gambaran sebenarnya dari kondisi kemampuan siswa atau cuma nilai "kepalsuan". Karena kami pernah menanyakan ke salah satu orang tua bahwa putranya tidak pernah belajar sama sekali di rumah. Kalau malam pasti keluar malam, dan terkadang pagi hari mengantuk, lalu mohon izin tidak masuk sekolah. Eeh ternyata nilai di rapor bagus-bagus semua, tidak ada nilai di bawah 70.
Kedua
Prestasi siswa sangat tergantung dengan literasi. Sekolah memiliki jumlah, kualitas dan variasi jenis buku yang sangat terbatas. Wali siswa sebaiknya diberi kesempatan ikut andil secara maksimal tentang pengadaan buku. Buku yang selama ini disediakan hanya mengandalkan anggaran minim dari BOS dan BOP. Padahal biaya tersebut tersedot ke bagian yang lain. Akhirnya program literasi sekolah kurang bisa berjalan optimal.
Ketiga
Jenis seragam diserahkan ke orang tua siswa. Sekolah tidak memungut biaya seragam sama sekali. Akhirnya jenis seragam bervariasi dan terkesan tidak rapi alias "ting celoneh". Apalagi seragam olah raga. Seragam olah raga saat di SMP masih dipakai para siswa, juga ukurannya tidak pas, maka terkesan "ting pecotot".
Keempat
Program kunjungan ke kampus dan studi lapangan ke kampus dan ke tempat bersejarah tidak terlaksana. Padahal tahun-tahun sebelumnya para siswa sekolah kami sering berkunjung ke kampus-kampus, ke musium sangiran, monumen pers, mangkunegaran dsb. Setelah ada program tanpa pungutan di dunia pendidikan , kegiatan positif tersebut tidak berjalan.
Kelima
Partisipasi dalam kegiatan lomba semakin tidak optimal. Persiapan lomba jelas butuh biaya. Biaya tersebut meliputi biaya konsumsi peserta lomba, guru pembimbing dan biaya perlengkapan, bahan, dan materi pendukung. Keikutsertaan lomba bisa berjalan sukses kalau siswanya dipersiapkan secara matang. Kegiatan lomba sebenarnya kurang bisa berjalan sukses jika biaya perlengkapan sangat minim.
Sebagai penutup tulisan ini. Bahwa pembiayaan Pendidikan tanpa pungutan jelas ada kelemahannya dan kelebihannya. Namun, kita rakyat awam diajarkan mengambil sisi positifnya saja . Pemerintah sudah berusaha mengambil kebijakan dengan perhitungan. Pro kontra pasti ada. Pasti tidak mungkin semua kebijakan pemerintah menguntungkan semua pihak. Kita diajak legowo dalam menghadapi kelemahan dan kelebihan. Pemerintah sudah mempertimbangkan, maka diambil “win-win solution”, demi kebaikan bersama. Pokoknya kita harus semangat untuk turut andil mencerdaskan bangsa kita. Tanggung jawab untuk mencerdaskan anak bangsa bukan hanya dibebankan segelintir orang atau pemerintah saja . Kita rakyat biasa harus berpartisipasi, berkontribusi untuk meraih kesuksesan generasi masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H