“Muhammadkan hamba ya Rabbi….. disetiap tarikan nafas dan langkah kaki…”
Potongan syair musikalisasi pusi Emha Ainun Nadjib ini, bermakna sangat dalam, nyaris tak bisa tergapai untuk seorang sepertiku. Sair ini juga yang dilantunkan oleh Ketua Yayasan Muthahhari, Bapak Iqbal Fauzi Rakhmat ketika peringatan mawlid Yayasan Sabtu, 23 Oktober 2021 lalu. Secara subjektif saya tafsirkan sebagai doa. Doa dari seorang pemimpin Yayasan untuk seluruh komponen dibawahnya. Agar dapat dipermudah dalam “meMuhammadkan” dirinya, seperti bumi dan matahari yang patuh dan setia. Seperti siang dan malam-Nya yang bekerja sama
Bumi dan matahari, adalah bagian dari makrocosmos terindah, didalamnya tersusun rapi yang selalu berjalan dengan perhatian, dan tak pernah luput dari sentuh-Nya.
Berbicara bumi takkan bisa dinafikkan bahwa kita harus berbicara (baca: memperhatikan) yang ada di dalamnya. Minimal disekitar kita. Di situ ada tumbuhan, ada hewan/binatang, ada alam yang indah, terkhusus ada manusia dengan berbagai karakteristiknya ragam budaya dan etnisnya.
Inilah (mungkin) yang diaharapkan oleh Ketua Yayasan ketika memulih melantunkan syair itu. Harapannya agar dianugerahi keadilan untuk semua yang berada dalam tanggungannya dan dapat menempatkan setiap komponen sesuai dengan kodratnya. Muhammad hamba ya Rabbi…!?
Kemasan yang “multiple intelegens” dan untuk Semua
Yayasan Muthahhari yang sejak awal, dalam pendirian sekolahnya bertujuan hendak membekali peserta didiknya memperoleh pengetahuan, bukan hanya ilmu sesui dengan jenjang SD-SMP-SMA, seperti aturan kurikulum
Dinas Pendidikan yang harus disampaikan, tetapi juga berharap setiap muridnya memperoleh pengetahuan, bahkan pengalaman bagaimana menjalankan agama.
Agama yang teritegrasikan dalam pendidikan disini adalah agama praktik pada lini kehidupan. Mereka menggumulkan dengan satu sebutan “empati”.
Bila seorang murid telah terbiasa dalam melakukan karakter empati ini, bisa dikatakan telah menjalankan tetesan misi Nabi Saw, rahmatan lil alamin, dan berusaha selalu bermanfaat untuk orang banyak. Orang banyak di sini jelas bukan hanya untuk kelomponya tetatpi untuk seluruh manusia. Itu kira-kira tafsir sederhananya.
Pembaca bisa menggali lebih dalam tafsiran itu, sesuai dengan bidang yang hendak diketahui. Yang jelas mawlid sekolah ini, syarat dengan sentuhan multiple intelegens.
Saya mencermati bahwa kemasan mawlid di sekolah ini ternyata mengakomodasi semua komponen kecerdasan yang ada: musical, natural, logis, yang kemudian dikemas dengan TPACK (Technological Pedagogical Content Knowledge).
Mirip dengan seorang guru dalam kelas yang selalu wajib memeperhatikan perkembangan psikologi murid, kecerdasan murid dalam menyampaikan konten materi ajar untuk murid yang diajarnya.
Ada natural yang menyertakan kegiatan keseharian dalam bersenandung shalawatnya. Musikal bagian dominan, yang ditandai dengan usaha mengemas suguhan dengan keindahan rasa, sehingga membuat hati semakin lembut ketika mengikuti dengan seksama.
Ada juga ajakan untuk mengemas kata. Menyusun tebakan kata teratur muncul dalam sebuah rangkaian hikmah untuk setiap tingkatan jenjang pendidikan. Ini dapat bermanfaat untuk melatih olah fikir dalam merangkan makna, mengasah kejelian susunan, kesesuaian literasi. Dan mengambil sebuah ulasan maknawi. Belum lagi sentuhan teknologi yang berupa desain grafis dan art yang begitu indah untuk dinikmati. Membuat suguhan mawlid ini, menyasar olah piker dan rasa.
Niatan mengakomodasi semua komponen dan keterlibatan semua yang ada sangat terasa dalam suguhan ini: tua-muda, pemain-pemirsa, guru-murid, pimpinan-terpimpin, semuanya dapat merasakan bahwa dirinya penting adanya.
Tidak ada dikotomi. Konteks kemasan mawlid ini, terasa seakan masing-masing mereka berkata: Bagian mana yang bisa aku berikan untuk anugerah ini? Bergerak bersama, bergembira bersama, berpikir bersama. Kemitraan ini terasa serasi, mengalir seperti ada pertalian komando dalam jiwa nan suci.
Kemasannya menyatu dalam kerangka payung anugerah sejati. Yang aku maknai bahwa, kedatangan Nabi adalah kebahagiaan yang tak tertandingi sebab setiap Nabi memiliki misi untuk membuat tatanan kehidupan menjadi serasii penuh keadilan dan tidak ada yang saling mencaci dan mempersekusi.
Lalu.. apa yang bisa kita jalani setelah hari-hari bahagia ini? Bukankan setiap moment tidaklah harus berhenti setelah seremoni? Betul, inilah kewajibannya untuk menggali potensi apa yang tersimpan dalam diri ini.
Misi abadi yang ingin bermanfaat untuk orang banyak bisa terjadi di setiap lini: pendidik, petani, pedagang, politisi, pemimpin, ibu rumah tangga, dan seluruh aktivitas yang kita jalani.
Dengan polesan ikhlas, hati-hati, tidak menjalimi, dan ingin maju bersama disetiap irisan aktifitasnya, bisa dikatakan: inilah misi ruhani yang dapat mengaitkan hikmah seremoni dengan makna kehidupan ini.
Muhammadkan hamba ya Rabbi…. Agar aku bisa --kendatipun belum mampu memberi rahmat (baca: kesejahteraan dan ketentraman) untuk alam--(baik untuk manusia dengan berbagai etnis dan agamanya) paling tidak semoga Engkau berkenan untuk menempatkan aku pada posisi yang tepat, sehingga aku berjalan sesuai fungsinya, tanpa ada yang terjalimi, tanpa ada yang tersakiti, karena kehadiranku di bumi ini. Aaamiin
Bandung, 17 Rabiul awal 1443 H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H