Mohon tunggu...
Suka Ngeblog
Suka Ngeblog Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis buku, terkadang menjadi Pekerja Teks Komersial

Blogger, writer, content creator, publisher. Penggemar Liga Inggris (dan timnas Inggris), penikmat sci-fi dan spionase, salah satu penghuni Rumah Kayu, punya 'alter ego' Alien Indo , salah satu penulis kisah intelejen Operasi Garuda Hitam, cersil Padepokan Rumah Kayu dan Bajra Superhero .Terkadang suka menulis di www.faryoroh.com dan http://www.writerpreneurindonesia.com/

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Menakar Potensi Bisnis Buku Digital di Indonesia

19 April 2017   10:38 Diperbarui: 19 April 2017   14:10 1610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin saya mendapat email dari Google. Google menginformasikan telah mengirim hasil penjualan buku digital di Google Play ke rekening. Ini email kedua dari Google yang saya terima tahun ini. Bulan Maret lalu, saya juga menerima email yang isinya senada.

email dari Google (dok. pribadi)
email dari Google (dok. pribadi)
Saya menerbitkan buku digital di Google Play sejak November tahun 2016 lalu dan langsung menerima royalti penjualan tiga bulan kemudian. Hasil penjualan memang belum tergolong besar. Artinya, saya belum menjadi kaya raya dengan menjual buku digital di Google Play, hehehe. 

Tapi mendapat uang hasil menjual buku, walau masih tergolong recehan (hanya 60-an dolar atau 800-an ribuan rupiah), rasanya cukup menyenangkan. Apalagi Google mengirim uang langsung ke rekening. Beda dengan Amazon yang mengirim royalti melalui cek, yang baru diterima sebulan setelah dikirim, dan proses pencairan di bank yang bisa sebulan.

Bisnis buku digital kini mulai marak. Namun bagaimana sebenarnya potensi bisnis buku digital di Indonesia? Bisakah buku digital bersaing dengan buku cetak hasil produksi penerbit raksasa? Ada beberapa hal menarik yang ingin saya bahas.

1. Orang Indonesia mulai membeli buku digital

Ada falsafah unik orang Indonesia terkait produk. Produk apa saja. Falsafah itu berbunyi: "kalau bisa gratis ngapain beli?" Falsafah ini dulu lekat dengan yang namanya buku digital atau ebook. Bahwa buku digital itu seharusnya bisa didapat secara gratis, dan bukannya beli.

Untunglah, dengan berlalunya waktu, falsafah ini mulai ditinggalkan. Orang Indonesia mulai suka membeli buku digital. Apa buktinya? Buktinya ada pada royalti yang dikirimkan Google. Royalti itu tak mungkin ada jika tak ada yang membeli buku saya bukan?

Lalu, faktor apa yang menjadi pemicu sehingga warga Indonesia kini mulai suka membeli buku digital? Salah satu pemicu adalah maraknya ponsel cerdas. Kini, rata-rata orang Indonesia punya ponsel. Bahkan ada yang lebih dari satu. Rata-rata ponsel cerdas saat ini punya fasilitas e-reader. Sebagian besar pengguna ponsel (android) juga akrab dengan Google Play. Kini mulai banyak pemilik ponsel yang tahu kalau Google Play tak hanya menyediakan beragam game dan aplikasi, namun juga film, berita dan... buku.

Proses pembelian buku di Google Play juga tergolong mudah. Buku bisa dibeli dengan pulsa, kartu debit atau kartu kredit.

2. Buku digital mulai jadi alternatif

Hingga sepuluh tahun lalu, yang namanya buku adalah produk dari kertas yang bisa diraba dan dicium. Kini buku bisa dalam bentuk digital yang lebih praktis. Sebagai contoh, saat ini di ponsel saya ada puluhan file digital cerita silat karya Kho Ping Ho (KPH) dan belasan novel serta majalah. Puluhan buku itu bisa saya bawa ke mana saja, kapan saja.

Bayangkan jika buku itu dalam bentuk cetakan. Satu judul cersil KPH bisa puluhan jilid yang bisa mengisi satu tas punggung. Untuk puluhan judul, saya mungkin perlu lima sampai enam koper untuk membawanya. Repot bukan?

Dengan teknologi, kini seseorang bisa membawa "perpustakaan berjalan" ke mana saja. Seseorang bisa mengoleksi ribuan judul novel tanpa perlu lemari untuk menyimpan. Selain di ponsel, buku digital bisa disimpan di cloud dan dapat diakses kapan saja.

Dewasa ini, kesadaran bahwa buku itu tak hanya cetakan sudah mulai terasa.

3. Peluang terbuka untuk pengarang indie

Hingga sepuluh tahun lalu, dunia penerbitan buku dipegang dan dikuasai penerbit raksasa. Penerbit ini yang memutuskan pengarang mana yang karyanya bisa diterbitkan dan mana yang tidak. Para penulis dan pengarang pemula harus menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan kesempatan, yang terkadang tak pernah datang.

Semua berubah dengan hadirnya buku digital. Kini semua orang bisa membuat buku digital. Sarana penjualan juga tersedia. Buku digital berbahasa Indonesia kini bisa dijual di Google Play, Apple iTunes, Scribd, Kobo. Sementara buku berbahasa Inggris, juga bisa dijual di Amazon serta Barnes & Noble.

Pasar buku digital juga bisa lintas negara dan benua. Buku berbahasa Indonesia yang saya jual di Google Play, selain dibeli konsumen di Indonesia, juga dibeli pelanggan yang berdomisili di Jepang, Australia, Inggris, Amerika Serikat dan sejumlah negara lain. (Saya menduga pembeli adalah warga Indonesia yang tinggal di luar negeri).

Pengarang buku digital juga tak perlu gudang untuk menyimpan buku digital. Naskah hanya perlu disimpan di hardisk komputer. Setelah diupload ke Google Play atau iTunes atau Amazon, file buku digital itu akan tersimpan pada server mereka dan akan tetap tersimpan selamanya, kecuali jika si pemilik buku memutuskan untuk menarik bukunya. Buku digital itu tetap siap jual dan bisa dibeli konsumen hingga belasan atau puluhan tahun mendatang.

4. Buku cetak tetap favorit

Di Indonesia, setidaknya hingga sepuluh tahun mendatang, kelihatannya buku cetak masih menjadi favorit. Buku cetak tetap jadi primadona. Namun, seiring perkembangan zaman dan teknologi, buku digital juga kelak akan berperan sangat signifikan, tak hanya dari sisi bisnis penerbitan buku, namun juga pada upaya "mencerdaskan bangsa" melalui tulisan.

Itu sebabnya, penerbitan buku digital bisa menjadi bisnis yang menggiurkan, terutama bagi Anda yang senang dan hobi menulis, dan ingin mendapatkan passive income dari hobi itu.

Setidaknya itu yang saya lakukan, hehe. Saya senang menulis, senang bereksperimen dengan genre. Saya menulis novel dengan genre kombinasi fiksi ilmiah, cerita silat dan roman sejarah dalam kisah Gajah Mada Rebirth, menulis novel aksi plus super hero dalam novel Lyra Gadis Perkasa, dan kisah bernuansa ehem ehem berjudul Aku Berselingkuh dan Ini Catatannya (untuk judul yang terakhir saya menggunakan nama pena. Buku selingkuh ini lumayan laris di Google Play, hehe).

Sebagai bagian dari proyek eksperimen plus iseng, kualitas novel yang saya buat memang masih seadanya. Masih jauh jika dibandingkan dengan pengarang ternama di Indonesia. Tapi setidaknya saya telah memulai.

Kualitas, memang menjadi tantangan yang harus dibenahi para penulis indie. Karena semua bisa bikin buku digital, maka terkadang produk yang dijual kualitasnya jauh di bawah standar buku cetakan. Apalagi tak ada filter terkait kualitas konten.

Jika para penulis buku digital bisa membuktikan bahwa kualitas buku digital setara atau bahkan melebihi buku cetakan, maka prospek buku digital, terutama dari sisi bisnis, akan sangat menggiurkan.

Semoga, dengan berlalunya waktu, kualitas buku digital, termasuk yang saya buat, bisa makin meningkat, seiring dengan makin populernya buku digital di Tanah Air.

Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun