Sigit lalu memegang telinga kanannya. "Kawan-kawan, Oo, kamu ketahuan," kata Sigit dengan irama sebuah lagu lama. "Mereka aman. Kita kembali ke markas..."
Nyaris serempak, para penjual palsu yang semula nampak tegang itu langsung mencair. Sambil tersenyum mereka mendorong gerobak yang dibawa ke sebuah mobil kontainer besar yang diparkir tak jauh dari situ.
"Sial Dosifa, mereka hebat," terdengar suara di alat pendengar mini di telinga kanan Sigit. "Aku senang mereka di pihak yang sama dengan kita..."
"Tentu Dolare, tentu mereka hebat," bisik Sigit dalam bahasa Indonesia sambil menaiki mobil. Sigit duduk di depan di samping sopir. Shlomo dan Aleesha duduk di belakang.
Uh. Callysta 7. Kenapa juga si Pavel sialan itu menjadikan Indonesia sebagai lokasi untuk melelang senjata pemusnah massal mematikan itu? Sigit mendesah. Banyak hal telah terjadi. Kasus pembunuhan yang dia tangani belum juga menemukan titik terang. Dan kini ada kasus mendesak. Kasus yang berpotensi terjadinya bencana kemanusiaan terdahsyat sepanjang sejarah!!!
Di belakang, Aleesha dan Shlomo terdengar seperti sedang berdebat. Mereka bicara sambil berbisik.
"Ada masalah?" tanya Sigit.
"Ah tidak," kata Shlomo. "Sudah sejak beberapa hari lalu kami berdebat soal itu. Tentang film terbaru James Bond. Aku menganggap itu film Bond terjelek yang pernah ada. Aleesha justru menganggapnya sebagai film Bond terbaik. Sudah berhari-hari kami adu argumentasi soal itu. Eh, saudara Sigit sudah menontonnya kan? Bagaimana menurut Anda?"
Sigit menggeleng kepala tak percaya. Astaga. Menghadapi situasi seperti ini kedua agen itu justru berdebat soal film James Bond?
"Hei, kami memang agen rahasia. Namun kami juga manusia," kata Aleesha sambil tertawa. Ketiganya tertawa. Tawa mereka lenyap ditelan kepulan debu jalanan...
CatatanKisah ini merupakan bagian dari 'novel' berjudul Operasi Garuda Hitam, yang dibuat mencicil dengan pendekatan cerpen.... Cerita ini merupakan lanjutan dari 'cerpen' berjudul Spionase itu seperti anggur kematian dan Ada agen Mossad dan CIA di sini