Mohon tunggu...
Ikke Amalia
Ikke Amalia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mahasiswi Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Transformasi Dakwah di Era Digital: Bagaimana Media Sosial Mengubah Cara Beragama Masyarakat Indonesia

21 Desember 2024   05:32 Diperbarui: 21 Desember 2024   10:17 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh: Syeillah Ikke Amalia (23105040065)

Di era digital yang semakin berkembang pesat, transformasi dakwah Islam di Indonesia telah mengalami perubahan signifikan. Kehadiran media sosial tidak hanya mengubah cara berkomunikasi masyarakat, tetapi juga telah merevolusi metode penyampaian pesan-pesan keagamaan. Fenomena ini menciptakan paradigma baru dalam dakwah Islam yang lebih adaptif, interaktif, dan sesuai dengan kebutuhan zaman. Dalam konteks ini, teori spiritual marketplace yang dikemukakan oleh Wade Clark Roof memberikan kerangka analisis yang menarik untuk memahami transformasi dakwah di era digital.

 Transformasi dari dakwah tradisional ke modern dapat dipahami melalui konsep spiritual marketplace yang dikemukakan Roof, di mana agama dipandang sebagai komoditas yang beredar dalam pasar spiritual yang kompetitif. Dalam konteks ini, media sosial telah menciptakan pasar spiritual virtual yang memungkinkan umat Islam untuk memilih dan mengonsumsi konten keagamaan sesuai dengan preferensi mereka. Sebagaimana dijelaskan Roof dalam karyanya "Spiritual Marketplace: Baby Boomers and the Remaking of American Religion", masyarakat modern cenderung menjadi "pencari spiritual" yang aktif memilih dan mengevaluasi berbagai tawaran keagamaan yang tersedia (Roof, 2001: 49-66).

 Bisa dilihat bagaimana media sosial telah menciptakan "demokratisasi dakwah". Dulu, untuk menjadi seorang dai yang didengar banyak orang, seseorang harus melewati jalur tradisional yang panjang mulai dari belajar di pesantren, mendapat ijazah dari ulama senior, atau memiliki jaringan dengan organisasi keagamaan besar. Sekarang, siapa pun yang memiliki pengetahuan agama dan kemampuan berkomunikasi yang baik bisa menjangkau jutaan orang melalui media sosial (Campbell: 2021: 1-15).

 Terlihat jelas dari lanskap dakwah digital di Indonesia, Di mana berbagai pendakwah berlomba-lomba menghadirkan konten yang menarik dan relevan bagi audiens mereka. Media sosial telah menciptakan apa yang Roof sebut sebagai seeking and shopping culture dalam konteks keagamaan, di mana umat bebas memilih dan mengikuti dai yang sesuai dengan preferensi spiritual mereka (Fakhruroji, 2019: 201-215).

 Fenomena ini membawa dampak menarik yang disebut Roof sebagai "personalisasi otoritas keagamaan". Dalam konteks Indonesia, kita bisa lihat bagaimana dai-dai muda seperti Ustaz Kadam Sidiq tidak hanya membagikan ilmu agama, tapi juga membangun personal branding yang kuat. Mereka menjadi semacam "religious influencer" yang menggabungkan pesan dakwah dengan gaya hidup modern. Misalnya, mereka bisa membahas hukum Islam sambil ngevlog di mal, atau mendiskusikan hadits sambil membuat konten challenge di TikTok (Hoover, 2020: 45-62).

 Ustaz Kadam Sidiq, telah berhasil memanfaatkan dinamika spiritual marketplace ini dengan menghadirkan konten dakwah yang sesuai dengan kebutuhan generasi digital. Pendekatan beliau mencerminkan apa yang Roof identifikasi sebagai adaptasi institusi keagamaan terhadap perubahan preferensi konsumen spiritual. Melalui platform media sosialnya, beliau mengemas pesan-pesan keagamaan dalam format yang mudah dicerna, interaktif, dan sesuai dengan gaya hidup audiens modern (Sidiq, 2023).

 Yang lebih menarik lagi, muncul fenomena yang disebut "dakwah kolaboratif". Para ustaz mulai berkolaborasi dengan content creator, musisi, atau bahkan selebgram untuk menciptakan konten dakwah yang lebih menarik. Ini seperti yang dikatakan Roof tentang religious marketplace yang semakin kreatif dalam mengemas pesan spiritual. Contohnya, beberapa ustaz populer mulai membuat podcast bersama artis, membahas isu-isu kehidupan dari perspektif Islam dengan cara yang santai tapi mendalam (Hutchings, 2022: 89-104).

Tapi ada sisi lain yang perlu diperhatikan. Fenomena snackable content dalam dakwah digital membawa tantangan tersendiri. Ketika pesan-pesan agama dikemas dalam format singkat 15-60 detik untuk TikTok atau Instagram Reels, ada risiko oversimplifikasi ajaran agama. Bayangkan mencoba menjelaskan konsep rumit seperti qada dan qadar dalam video 30 detik. Di sinilah pentingnya keseimbangan antara aksesibilitas dan kedalaman materi (Tuerner, 2021: 156-171)

 Dalam perspektif spiritual marketplace, transformasi dakwah digital juga telah menciptakan fenomena yang Roof sebut sebagai seekers and dwellers. Para pencari spiritual (seekers) kini memiliki akses yang lebih luas untuk mengeksplorasi berbagai interpretasi dan pemahaman keagamaan melalui platform digital, sementara para penghuni tetap (dwellers) dapat mempertahankan afiliasi tradisional mereka sambil tetap terhubung dengan komunitas keagamaan mereka secara virtual (Einstein, 2008).

 Paradigma pasar spiritual Roof juga membantu menjelaskan munculnya berbagai inovasi dalam dakwah digital, seperti podcast keagamaan, live streaming kajian, dan konten multimedia interaktif. Inovasi-inovasi ini dapat dipandang sebagai respons terhadap tuntutan "konsumen spiritual" yang semakin sophisticated dan menginginkan pengalaman keagamaan yang personal dan bermakna. Sebagaimana dijelaskan Roof, pasar spiritual modern ditandai oleh meningkatnya permintaan akan pengalaman keagamaan yang autentik dan personal (Hoover, 2006)

 Analisis transformasi dakwah digital melalui lensa spiritual marketplace Roof menunjukkan bagaimana media sosial telah menciptakan pasar spiritual virtual yang dinamis di Indonesia. Fenomena ini tidak hanya mengubah cara dakwah disampaikan, tetapi juga bagaimana umat Islam mengonsumsi dan berinteraksi dengan konten keagamaan. Meski demikian, penting untuk tetap memperhatikan keseimbangan antara aspek spiritualitas dan komersialisasi dalam dakwah digital, sebagaimana diingatkan Roof tentang potensi dampak negatif dari marketisasi agama (Possamai, 2018: 3-21). Penting diingat, transformasi dakwah digital ini bukan sekadar tentang teknologi atau metode penyampaian. Ini adalah cerminan dari perubahan fundamental dalam cara masyarakat kita berinteraksi dengan agama. Di tengah semua perubahan ini, tantangan terbesarnya adalah memastikan bahwa esensi dakwah bisa mengajak kepada kebaikan dan pencerahan spiritual tetap terjaga, bahkan ketika formatnya terus berevolusi mengikuti zaman.

Referensi

Roof, W. C. (1999). Spiritual Marketplace: Baby Boomers and the Remaking of American Religion. Princeton University Press.

Roof, W. C. (2001). Spiritual Seeking in the United States: Report on a Panel Study. Archives de Sciences Sociales des Religions, 46 (2), 49-66.

Fakhruroji, M. (2019). Digitalizing Islamic lectures: Islamic apps and religious engagement in contemporary Indonesia. Contemporary Islam, 201-215.

Sidiq, K. (2023). Dakwah Digital di Era Milenial. Artikel pada Portal Republika Online.

Einstein, M. (2008). Brands of Faith: Marketing Religion in a Commercial Age. Routledge.

Hoover, S. M. (2006). Religion in the Media Age. Routledge.

Possamai, A. (2018). Religious Consumerism and the Future of Religion. Journal for the Academic Study of Religion, 31(1), 3-21.

Campbell, H. A. (2021). Digital Religion: Understanding Religious Practice in Digital Media. Journal of Media and Religion, 20(1), 1-15.

Hoover, S. M. (2020). The Media and Religious Authority in a Digital Age. Religion in the Digital Age, 15(2), 45-62.

Hutchings, T. (2022). Creating the Sacred in Digital Spaces. Digital Religion Studies, 8(3), 89-104.

Turner, B. S. (2021). Religious Authority and Social Media. Journal of Religious Studies, 42(2), 156-171.

Possamai, A. (2018). Religious Consumerism and the Future of Religion. Journal for the Academic Study of Religion, 31(1), 3-21.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun