Mohon tunggu...
sujono haikal
sujono haikal Mohon Tunggu... Freelancer - 114brokenradio

Kadang nulis hobi bikin playlist

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Rokok, dari Benci Jadi Cinta

18 Mei 2020   16:18 Diperbarui: 18 Mei 2020   16:20 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengutip caption-caption seputar percintaan yang ada di akun-akun Instagram seperti @pathdaily dan teman-temannya "jangan terlalu benci, nanti jadi cinta" atau "benci dan cinta itu bedanya tipis" yang mana dulunya tidak pernah saya gubris, kini saya merasakan dahsyatnya dua kalimat tersebut, bersama rokok.

Saya ini pemuda desa yang dulunya memegang teguh segala omongan orang tua saya, salah satunya yakni untuk menghindari rokok. Akibat doktrin-doktrin buruk seputar rokok yang diberikan oleh seorang mantan perokok aktif yang tidak lain adalah ayah saya sendiri, saya sempat menjadi manusia yang betul-betul membenci rokok.

Bagaimana tidak? Di setiap kesempatan dimana saya memandang seseorang merokok dalam kondisi saya sedang bersama ayah saya, beliau selalu menunjukkan keburukan-keburukan yang diakibatkan oleh rokok. Seperti misalnya, bibir menghitam, nafas memendek, bau rokok yang menempel di badan dan yang lain-lain. Tidak cukup sampai disitu, ayah saya juga selalu memberikan statement-statement yang sangat menghakimi rokok kepada saya, semisal "ngerokok itu buang-buang duit. Udah dibeli mahal-mahal, dibakar, asapnya dibuang lagi. Gak jelas." Ya, bapak saya memang biasa mendeskripsikan kebiasaannya di masa lampau.

Akibat dari doktrin-doktrin ini, saya sempat sangat membenci rokok. Selalu memandang rendah perokok. Selalu menyayangkan orang-orang yang merokok sembari bergumam "healah, jarene pinter, kok ngerokok." Bahkan beberapa tindakan saya untuk memerangi rokok ini beberapa diantaranya ada yang tidak sopan bahkan ada yang tidak bermutu. Saya pernah menginjak-injak sebatang rokok milik teman saya dihadapan teman saya secara langsung dengan merasa yakin dan percaya diri berharap dia sadar bahwa derajat perokok itu serendah rokok yang saya injak-injak tadi. Saya pernah sempat sedikit menjauhi teman saya yang merokok, bahkan saya juga pernah menggunakan nomor tidak dikenal untuk meng-sms kakak sepupu saya (yang saya anggap paling keren karena dia tinggal di Jakarta) dan mengiriminya ancaman-ancaman kesehatan yang bisa didapat dari kegiatan merokok. Selain tidak keren, sangat tidak sopan, dan tidak elegan apa yang saya lakukan pun tidak memberikan pengaruh kepada mereka-mereka ini.

Job-desc saya setiap kali ikutan nongkrong dengan teman-teman yang merokok ya cuma diem anteng sambil menyeruput kopi, dan menghisap sisa asap rokok yang mereka buang itu. Saya nggak bisa melakukan apapun karena kebetulan juga tongkrongan saya ini kebanyakan memang perokok aktif dan cukup bebal. Jadi selain jumlah mereka yang jelas lebih banyak, mental saya juga ndak sekuat itu untuk terus melawan.

Sampai setelah sekitar satu setengah tahunan saya bertahan dengan idealisme saya terhadap rokok, perlahan keyakinan saya mulai luntur terbuai oleh godaan-godaan setan yang terus menerjang. Godaan ini bentuknya beragam dan variatif. Dari yang penyampaiannya melalui sistem ketok tular atau biasa kita kenal dengan istilah 'mulut ke mulut'. Yaitu para perokok ini membagikan cerita pengalamannya selama merokok. Kemudian ada juga yang melalui fitur story dan juga unggahan di Instagram. Para perokok ini biasanya mengunggah foto atau video kegiatan mereka merokok dengan pose atau gaya yang sekeren mungkin. Yang terakhir, yang paling menyebalkan, yaitu teknik sales marketing atau menawarkan secara halus dan terus menerus di setiap pertemuan.

Godaan yang terakhir ini kerap dilakukan para perokok yang cuma butuh teman merokok tetapi dalam proses penghasutannya itu nothing to lose. Biasanya mereka memulai operasi ini dengan menyodorkan rokok kepada yang tidak merokok, kemudian berkata "udah cobain aja dulu" Jika si non-perokok ini sudah mengiyakan permintaan si perokok, maka dia sudah masuk perangkap tahap pertama. Tahapan selanjutnya adalah si perokok akan menyuruh korbannya melakukan teknik nge-ses atau narik. Yaitu suatu ritual wajib para perokok dalam menikmati rokoknya demi mendapatkan sensasi yang sesungguhnya dalam merokok dengan menghisap rokok lebih dalam sampai benar-benar masuk ke pernafasan bukan hanya sekedear di mulut saja. Jika si korban lagi-lagi menuruti perintah si perokok, maka dia sudah terjebak perangkap tahap dua. Tahapan terakhir yaitu ketika korban sudah menuruti dua tahapan sebelumnya, si perokok akan menyoraki korban dengan ceria guna memberikan pemahaman bahwa merokok itu menyenangkan. Mampuslah si perokok baru ini. Selain sudah menikmati sensasi yang dapat diberikan sebatang rokok, dan mungkin sudah memenuhi hasrat penasarannya, dia juga kini memiliki beban moral kepada si perokok yang mengajarinya merokok dan juga teman-teman di tongkrongan untuk terus melanjutkan aktifitas barunya tersebut.

Menurut apa yang saya perhatikan, hal itu sangat wajar terjadi di dalam suatu lingkup pertemanan terutama pada pertemanan laki-laki. Dan saya rasa ini adalah salah satu alasan kenapa penjualan rokok di Indonesia sangat massif dan tinggi. Apalagi adanya suatu anggapan di kalangan laki-laki bahwa merokok itu keren. Padahal bagi saya pribadi merokok itu bisa keren bisa norak tergantung pada personalianya, bukan rokoknya.

Saya sendiri pernah merasakan fase-fase diatas. Pertama kali saya merokok adalah karena setelah sekian lama bergumbul dengan teman-teman perokok, saya mulai penasaran bagaimana sebenarnya rasanya merokok. Karena pernah dalam beberapa kali nonkrong, teman-teman saya ini membahas preferensi mereka soal rokok dan beberapa kali mengunggah konten merokok di media sosial mereka. Saya juga sudah cukup lama kerap menerima tawaran-tawaran untuk merokok yang bahkan di beberapa kesempatan sudah bukan lagi menawarkan tetapi menyuruh sembari melontarkan penilaian "masak ga ngerokok si huu gak asik". Sempat saya bertahan tetapi rupanya bukan Cuma saya yang bertahan tetapi keinginan teman-teman saya agar saya ikutan merokok.

Hisapan rokok pertama saya terjadi pada saat saya masih menjadi santri kelas dua SMA di Jogjakarta. Tepatnya yaitu pada 29 September 2018 di acara Malioboro Night Coffee yang saya hadiri secara diam-diam dan melanggar jam malam asrama. Saya kesana bersama teman saya yang dulunya seorang perokok bernama Achmad Ilham, yang kebetulan juga sama-sama sedang terobsesi dengan kopi akibat menonton film Filosofi Kopi. Ilham ini termasuk perokok yang cuek. Dia bukan tipe perokok yang mengajak orang yang belum merokok untuk ikutan merokok. Dia lebih memilih merokok sendirian kalau kalau memang sedang tidak ada teman untuk merokok bareng.

Selama di acara pun Ilham tidak pernah sekalipun menawari saya rokok. Tetapi, sekitar jam 10 malam di pinggiran trotoar Malioboro saat itu, saya memberanikan diri meminta rokok dari Ilham guna memuaskan rasa penasaran saya terhadap rokok. Kenapa saya akhirnya berani melanggar keyakinan saya, ya karena banyak yang bilang kalau kopi tanpa rokok itu nggak mantep, ada yang kurang.

Ilham pun memberikan rokoknya tanpa berkata-kata dan dengan wajah yang datar-datar saja. Rokok pertama dalam hidup saya adalah rokok putih yang tergolong murah, magnum mild. Saya cukup bangga dengan hisapan pertama dalam hidup saya, karena saya langsung nge-ses dan saya tidak tersedak sama sekali. Saya hembuskan asapmya ke udara, dan langsung menyeruput secangkir kopi Arabica gratisan yang kami dapatkan dari salah satu booth di acara tersebut.

Malam itu saya menghabiskan 2 batang magnum mild milik Ilham dan satu batang Gudang Garam Surya yang saya beli eceran di sekitaran kopi jos. Batang kedua saya habiskan guna memuaskan rasa penasaran pada anggapan bahwa setelah makan paling enak ditutup dengan sebatang kopi. Saya pun mengamini anggapan tersebut setelah menghantam habis satu porsi nasi goreng yang saya beli dari penjual kaki lima di kawasan malioboro dan menutupnya dengan sebatang rokok milik Ilham. Batang ke tiga saya eksekusi demi meng-iyakan perkataan teman saya, seorang warga Lamongan, yang bilang kalau rokok paling enak adalah yang filternya kuning. Rokok Surya ditangan kiri, kopi jos di tangan kanan. Alhasil saya sedikit oleng oleh kandungan yang diberikan rokok tersebut. Maklum, pemula.

Mulanya saya hanya ingin memuaskan rasa penasaran saya terhadap rokok. Tetapi ternyata sensasi-sensasi yang saya dapatkan membuat saya ketagihan. Saya pun melanjutkan kegiatan ini secara diam-diam layaknya dakwah Nabi di awal-awal perjuangannya. Kenapa demikian? Ya jelas, karena saya malu di jadikan bahan candaan oleh teman-teman di tongkrongan yang tau kalau Sujono si pembenci rokok akhirnya tunduk dan takluk pada pesonoa rokok.

Melanjutkan aktifitas baru yang saya senangi ini, saya mulai membeli eceran rokok Surya di angkringan-angkringan terdekat. Demi menjaga kerahasiaan aktifitas ini teman-teman yang saya ajak untuk menemani saya merokok pun hanya mereka orang-orang terdekat. Tapi nyatanya, ndak sampai seminggu saya sudah ndak tahan ingin merasakan euphoria dari merokok bersama kawan-kawan satu tongkrongan sambil saling lempar candaan sampai larut malam. Rasa gengsi saya tinggal pergi. Ndak papa dibercandain, lama-lama juga pada lupa.

Sebagai perokok pemula pada saat itu, saya juga sempat merasakan ejekan-ejekan dari sesama perokok. Dari cara memegang rokok, perkara rokok yang saya bawa, bahkan sampai yang paling tidak penting, minuman yang saya pesan guna menemani rokok yang saya hisap. Aneh!

Seiring berjalannya waktu, saya pun mulai asik menjelajahi rasa dari beragam merk rokok yang berbeda. Dari yang biasa ada di pasaran, sampai yang sudah langka keberadaannya. Saya juga sudah sempat merasakan rokok klobot dan sudah belajar bagaimana caranya merokok tingwe atau linting dewe. Bahkan saya sempat juga belajar nyethe atau melukis diatas sebatang rokok menggunakan ampas kopi yang dioleskan menggunakan (biasanya) tusuk gigi. Ya walaupun gambar saya gak bisa dibilang gambar juga karena saking amburadulnya, setidaknya saya sudah paham langkah-langkah dasarnya.

Yang cukup memalukan bagi saya adalah masa-masa menjadi snob rokok yang fanatik. Perokok yang selalu membela rokok dihadapan pernyataan-pernyataan medis dengan lantang, tegas, gagah berani, tapi sering kelewat batas. Biasanya argumen yang saya keluarkan waktu itu adalah seputar konspirasi perokok pihak ke dua dan ketiga yang kabarnya hanya permainan industry farmasi saja. Atau kalau tidak ya palingan kalau sudah mentok dengan tema seputar dunia medis, biasanya ya saya banting stir ganti tema membahas pajak rokok yang menutupi deficit bpjs. Gak nyambung gak masalah, sing penting wani!

Kini saya hanyalah perokok surya professional merah biasa-biasa saja yang merasa cukup menjadikan aktifitas merokok sekedar kegiatan yang disenangi saja. Menjadikan rokok sebagai teman menulis, teman ngopi, penutup setelah makan berat, dan sarana penyambung komunikasi sosial antara manusia saja. Tidak lebih dan tidak kurang, InsyaAllah.

Terakhir dari saya, merokok ataupun tidak itu pilihan masing-masing. Kalau anda perokok, maka merokoklah dengan santun. Kalau anda tidak merokok, cobain saja dulu satu, siapa tau cocok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun